37 Sedih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ji! Gue lihat dari awal pelajaran lo kok nggak semangat gitu sih!" tegur Fiki, teman sebangku sekaligus sahabat Fajri.

Fajri melirik sekilas ke arah Fiki. Ia pun memilih untuk tak menjawab, lalu menyandarkan kepala di atas meja. Kedua tangan digunakan sebagai bantalan menahan kepala.

"Aish! Aji mah di ajak bicara malah tidur!" Fiki kesal.

"Padahal gue sudah kangen banget sama lo dan Soni. Kemarin gue nggak ada kalian terasa hampa," ucap Fiki curhat.

Zweitson menatap malas Fiki penuh drama. Padahal ia senang nggak ketemu Fiki seharian kemarin.

"Bidi imit!" sahut Zweitson menjulurkan lidah seakan mengejek.

"Dih! Si Bayi sudah mulai berani sama gue ya!" Fiki melotot ke arah Fiki.

Zweitson menghela napas kecil. "Daripada Soni berdebat nggak penting sama Fiki mending Soni ke perpustakaan baca novel."

"Ehh! Kok gitu sih?! Ahh... sumpah kalian berdua nggak asik!" Fiki cemberut. Bibirnya sudah maju lima centimeter ke depan mirip Bebek.

Brak!!

"Berisik!" Fajri memukul meja keras.

Fiki sampai terjatuh dari bangku di buatnya. Zweitson yang sudah di depan kelas juga terkejut.

"Sorry... Aji mau ke kamar mandi dulu," ucap Fajri pelan.

Sosok Fajri langsung berlari meninggalkan kelas. Kedua iris mata Fajri terlihat menahan kesedihan mendalam.

Fiki terbangun dari jatuhnya. Ia menatap kepergian sahabat satunya itu penuh tanda tanya.

"Son," panggil Fiki.

"Soni gatau sumpah Fik, seriusan dah," balas Zweitson mengangkat kedua tangan ke atas.

Fiki mengusap wajahnya penuh kekesalan. Mengapa ia mempunyai kedua sahabat yang sangat membuat emosinya menguap.

"Sabar Fik... sabar," ucap Fiki mengelus dada pelan.

Pemuda bertubuh tinggi itu membenarkan posisi bangkunya. Ia pun berjalan menuju ke tempat Zweitson masih berdiri.

"Sebaiknya kita cari Aji sekarang," bisik Fiki sambil merangkul.

"Iya Fik. Soni berpikiran negatif melihat Aji kaya gitu tadi jadinya," balas Zweitson sedih.

Kedua sahabat itu pun mencari keberadaan Fajri. Mereka tak mau sampai di cap sebagai sahabat tak berperikemanusiaan dan juga mencemaskan keadaan seorang Fajri Maulana.
.
.
.
.

Fajri berada di atas atap sekolah atau biasa disebut rooftop. Remaja berdarah Sunda ini menatap langit yang cukup panas sampai menembus ke kulit.

"Aji capek sama semua ini.

Aji kangen sama hal-hal bahagia bersama Bang Farhan.

Aji kangen bermain bersama Bang Ricky.

Aji kangen dengan Soni dan Fiki.

Aji benci semua keadaan ini!"

Akhirnya Fajri melepaskan semua beban kesedihan dan masalah yang ia hadapi sejak sebulan ini. Fajri merasa tak lagi bebas dan salah untuk berbuat apapun.

Air mata Fajri yang sudah ia tahan sejak menginjakkan kaki di sekolah ini tumpah. Fajri membiarkan air matanya sampai membasahi seragam sekolah.

"Umi... Abi... Aji kangen sama kalian. Aji bingung harus bercerita kepada siapa lagi. Bang Farhan sudah berbeda tidak seperti dulu lagi. Bang Iky juga semakin jauh sama Aji sejak mereka bertengkar hebat.

Aji merasa saat ini Aji tak memiliki siapapun yang bisa memahami Aji sepenuhnya. Aji lelah dengan semua ini."

Air mata bercampur dengan ingus tetap ia abaikan. Sosok Fajri yang terlihat polos dan kuat, sebenarnya sangat rapuh di dalamnya.

Fajri mengingat kembali harus berpisah dengan Ricky, tetangga sekaligus sahabat Abangnya sejak SMA. Jika, Farhan tengah sibuk akan ada sosok Ricky yang akan bermain dan menemaninya seperti Adik kandung sendiri.

Sosok Farhan yang kemarin memarahi dirinya di rumah sakit. Padahal Fajri tak melakukan kesalahan apapun, tetapi ia tetap seakan pelaku utama di mata sang Abang.

Tiba-tiba dua sosok remaja lainnya sudah berdiri di belakang Fajri. Fajri tak menyadari sama sekali kehadiran mereka.

"Ji, masih ada kita di sini," ucap Zweitson yang sudah menangis sejak tadi.

"Iya Ji. Gue sama Soni akan selalu ada buat sahabat yang membutuhkan kita." Fiki menatap Fajri sedih.

Kedua sahabat itu langsung memeluk tubuh rapuh Fajri. Mereka saling merasakan satu sama lain kesedihan yang dialami Fajri, seakan batin yang menyatukannya.

"Son... Fik... maafin Aji ya," ucap Fajri akhirnya.

"Ji... kalau ada masalah ya cerita-cerita," balas Zweitson.

"Kita pasti akan mendengarkan semua cerita lo. Ingat kita ini sahabar loh," lanjut Fiki.

Fajri tersenyum kecil. Ia membersihkan bekas ingus menggunakan punggung tangan.

"Makasih ya. Maaf kalau Aji kaya tadi. Aji nggak bermaksud seperti itu. Aji cuma lelah dan sedih dengan keadaan semua ini."

Fajri merasa bahagia memiliki kehadiran kedua sosok sahabat di depannya ini. Mulai sekarang Fajri takkan bersedih seorang diri lagi.

Bel masuk telah berbunyi. Ketiganya memutuskan untuk menghabiskan waktu di rooftop. Biarkan kali ini mereka membolos pelajaran.

Fajri pun mulai menceritakan semua masalahnya. Zweitson serta Fiki mendengarkan curahan isi hati Fajri dengan seksama.

.....RZ.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro