8 - Killer Bunny

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Malam itu, Gavin memandang jalanan kota melalui jendela apartemen C6 Kota Zavandria. Gemerlap lampu memenuhi seluruh kota setiap malam. Manusia-manusia yang sibuk beraktivitas itu tidak mengetahui apa-apa soal dunia lain yang bersinggungan dengan kota ini. Sepasang mata manik hitam milik Bunny juga mengarah ke jalanan kota. Bocah lelaki itu masih betah mengusap telinga panjangnya yang lembut.

"Jika kau memperlakukan sebuah benda dengan baik, maka kau juga akan diperlakukan baik. Sebaliknya, jika kau memperlakukan sebuah benda secara buruk, maka keburukan akan menimpamu. Contohnya, perlakuan Michelle terhadap Bunny."

Lova melepaskan pelukan Darel. Pandangannya kini beralih kepada Gavin. Ia mendekat ke arah tempat tidurnya.

"Miss Lova lihat, kan? Betapa tersiksanya Bunny!"

Gavin makin mendekatkan boneka kelinci itu pada Lova hingga membuat gadis itu makin ketakutan. Ia kembali ke pelukan Darel.

"Gavin, bisa tolong singkirkan boneka itu?" Darel memohon padanya.

Gavin langsung menolak, "Tidak."

"Kumohon, Gavin! Kau tidak lihat, Lova sedang ketakutan."

"Tidak." Gavin tetap kukuh di tempatnya. "Kita harus memberi pelajaran kepada orang-orang yang tidak pernah percaya hantu, seperti Miss Lova. Dia harus melihat sendiri apa yang disebut 'hantu'."

Sorot mata Gavin langsung berubah. Dua bola mata hazel itu tampak membulat.

"Lihatlah, Miss Lova! Bukan cuma manusia yang bisa tersiksa. Bahkan hantu pun juga merasakan siksaan." Gavin menggoyang-goyangkan boneka yang dipenuhi bekas jahitan itu.

Lova menarik kemeja Darel makin kuat. Kepalanya ditenggelamkan pada bidang dada pria itu.

"Cukup, Gavin!" seru Darel tak terima gadis di pelukannya makin tersiksa batin. Aliran darahnya terasa mengalir makin cepat. Ingin sekali ia berdiri dan menampar pipi bocah lelaki di hadapannya. Namun, erangan kecil gadis itu mampu membuatnya tak berkutik.

"Jangan pergi! Tolong jangan pergi! Aku takut sendirian."

Darel menghela nafasnya, pasrah. Salah satu tangannya menggenggam tangan Lova yang terasa dingin. Terpaksa malam ini dirinya dan Gavin harus bermalam di rumah Lova.

"Baiklah, kami akan menemanimu di sini."

Darel juga bingung, entah sampai ia terjebak dalam posisi seperti sekarang ini. Bagaimana kalau tiba-tiba ia ingin buang air kecil?

"Oh, cepat sekali dia tertidur!" ucap Gavin.

"Gawat, Lova belum gosok gigi!"

"Memangnya kenapa kalau Miss Lova belum gosok gigi?"

"Nanti giginya bisa berlubang," ujar Darel.

Gavin sambil merogoh tas ransel milik Darel. Ia menemukan 2 cup mi instan. Mungkin dia lapar.

"Bunny, apakah kau lapar?"

***

Pukul 12 tengah malam, seorang gadis kecil berambut pendek dengan poni yang menutupi seluruh dahi, terbangun dari tidurnya. Masih menggunakan piyama merah jambu, ia turun dari ranjang, kemudian membuka pintu. Sepasang kaki kecilnya melangkah keluar kamar tanpa menimbulkan bunyi apapun. Pelan-pelan ia melangkah menuju pintu terluar, mengingat seluruh lampu rumah ini sudah dimatikan. Ia memutar kunci pintu, lantas membuka knop pintu. Pemandangan luar pun tampak di depan mata. Pintu ditutup.

Langit hijau, bulan berukuran besar, kabut merah tipis, dan peti-peti mati tampak jelas terlihat baginya. Namun, bukan perasaan takut yang muncul, melainkan rasa penasaran akan aroma manis yang merayu indera penciumannya. Langkahnya menuruni anak tanggan menuju ke halaman. Ia terus berjalan tanpa mempedulikan keadaan, bahkan anjing menggonggong dan kucing yang berkejar-kejaran sekalipun. Aroma manis ini sungguh memikat. Air liurnya mulai keluar karena tak tahan.

Tepat di tengah jalan, seorang makhluk berjubah biru turun dari kuda pucatnya. Makhluk itu memegang kunci, lantas membuka salah satu peti mati yang terdekat dengan anak itu. Di dalam peti itu tak tampak apapun, gelap. Semakin mendekat, aroma manis itu makin kuat.

Si gadis kecil yang dipanggil 'Michelle' itu merentangkan tangan kanannya ke depan. Tangannya menginginkan sesuatu yang berada di dalam peti itu. Belum sampai ke tujuan, ia terjatuh. Kakinya menginjak sesuatu yang berbulu. Rupanya ada boneka kelinci biru yang menghalangi jalannya. Michelle memungutnya, hendak dilempar ke suatu tempat. Namun, tiba-tiba boneka itu mengatakan sesuatu.

Jangan mendekat ke sana!

Gadis itu terdiam, kemudian menatap boneka itu dengan saksama.

"Kau bisa bicara?"

Tentu saja, Nona Kecil. Aku sedang memperingatkanmu.

"Tapi, di sana baunya enak sekali. Pasti paman itu menyediakan kudapan manis untukku," katanya sambil menunjuk si jubah biru.

Dia akan membunuhmu.

"Tidak, kau pasti bohong!" sangkal Michelle.

Ia menjatuhkan boneka itu di kakinya. Terus melangkah tanpa henti. Sebentar lagi ia akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Si jubah biru terus melambaikan tangan agar ia segera masuk ke dalam.

Tanpa diduga, mata boneka itu berubah menjadi merah menyala. Mulutnya terbuka, menampakkan gigi-giginya yang runcing. Boneka itu berlari ke arah si gadis, alu menggigit rambutnya. Michelle berjalan mundur, mengerang kesakitan dan meanrik rambutnya agar terlepas. Gigitan itu terasa makin kuat hingga ia terjatuh. Si jubah biru ingin menghentikan tingkah si boneka. Namun, dia malah terkena gigitan di tangannya.

Pergi kau, Si Jubah Biru Terkutuk! gertak si boneka kelinci.

Si jubah biru meronta-ronta ingin melepaskan gigitan. Terpaksa ia robek kain yang menutup lengannya. Si boneka kelinci itu tersungkur. Sialnya, si jubah biru tidak berhasil merayu gadis kecil itu akibat gangguan boneka kelinci. Akhirnya, makhluk itu menunggangi kudanya kembali, lalu pergi mencari mangsa lain.

Menjelang matahari terbit, sepasang suami istri menemukan anak gadis mereka tergeletak di jalan raya dengan memeluk boneka kelinci biru.

"Terima kasih, ya, Bunny! Kau telah menyelamatkan nyawaku," ucap Michelle setelah keadaannya membaik.

Bunny?

"Ya. Aku akan memanggilmu 'Bunny'. Apakah kau punya nama lain?" tanya Michelle.

Tidak. Aku belum memiliki nama.

"Oh, baiklah! Jadi, mulai sekarang namamu 'Bunny'." Michelle mengangkat bonekanya tinggi-tinggi.

Wah, baru kali ini ada yang memberiku nama! Kalau begitu, kita berteman, ya!

Tentu saja, Bunny." Michelle tersenyum riang.

"Nak, kau bicara dengan siapa?" tanya wanita paruh baya yang sedang menjahit baju tak jauh dari tempatnya duduk.

"Boneka ini bisa bicara, Ibu."

Tentu saja, ibunya terkejut. Beliau menganggap pasti itu cuma imajinasi anaknya perempuannya.

"Mana mungkin boneka bisa bicara, Sayang."

Michelle mendekati ibu, lalu mendekatkan boneka itu ke arahnya. "Kalau ibu tidak percaya, coba bercakap dengannya."

Ibu menghentikan aktivitasnya sejenak, ingin melihat rupa boneka itu dari dekat. Makin mendekat, entah kenapa justru tampak menyeramkan. Warna mata boneka itu bersemu merah, terus menatap ibu penuh kengerian. Dengan refleks, beliau melemparnya hingga membentur dinding.

"Apa yang ibu lakukan? Kenapa melemparnya?" tanya Michelle hampir menangis.

"Ibu tidak suka boneka itu. Cepat buang!" perintah ibu tanpa basa-basi.

"Tapi, kalau dibuang, nanti dia kesepian, Ibu!" Air mata Michelle pun mengalir di pipi.

"Ibu tidak peduli. Cepat buang!"

"Tapi ..." Gadis kecil itu masih merasa bimbang tak karuan.

"Kalau kau tidak mau, biar ibu saja yang buang."

Buru-buru ibu merebut boneka itu dari tangan Michelle. Anak itu memaksa agar ibu mengurungkan niat buruknya. Namun, semuanya sudah terlanjur. Ibu melemparnya ke tempat sampah.

"Maafkan aku, Bunny." Michelle menangis di kamar sambil membawa Bunny yang tampak kotor.

Ibumu jahat sekali. Aku tidak mau berteman dengannya.

Michelle mengusap air matanya berkali-kali. Hidungnya masih sesenggukan menahan tangisan.

"Sebenarnya, ibuku adalah orang yang baik. Aku tidak tahu alasannya kenapa ibu melakukan hal itu padamu. Ibuku tidak mau memberitahu," tuturnya.

Kalau begitu, bolehkah aku membunuhnya?

Mata Michelle langsung membulat. Gadis berponi itu terkejut bukan main. Ia memegang tangan kiri Bunny. Tubuh boneka itu dibenturkan berkali-kali ke dinding.

"Pantas saja ibuku tidak menyukaimu. Bunny, kau jahat sekali!"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro