Bab 16 - Penyihir Jahat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekalipun pria itu tersenyum, Lexa masih saja berpikir ia penyihir jahat yang dibicarakan Berta tempo hari. Tangannya yang penuh kerutan terjulur ke hadapan Lexa saat menyodorkan segelas teh kemerahan di dalam cangkir kayu. Lexa memandangi uap panas yang menguap cangkir. Ia sama sekali tidak tertarik mencoba sekalipun aromanya sangat enak.

Bill mengajak Lexa masuk setelah beberapa saat Lexa enggan menerima tawaran itu. Namun, Lexa akhirnya masuk karena ia tidak tahu harus pergi ke arah mana. Jika nekat pergi sendirian, ia bisa saja masuk semakin jauh ke dalam hutan dan tersesat. Hal paling mengerikan ia mungkin bertemu binatang buas dan tidak akan ada yang menolongnya.

"Kenapa kau bisa sampai ke tengah hutan sendirian?"

Bill kembali bertanya setelah sejenak menimbang-nimbang topik apa yang harus mereka bahas. Ia sudah menantikan momen pertemuan dengan Lexa, tetapi tidak menduga mereka akan bertemu dengan cara seperti ini. Bill tidak mungkin mengutarakan maksudnya secara langsung pada Lexa. Ia bahkan belum sepenuhnya yakin bahwa Lexa adalah orang yang ia tunggu, sekalipun Bill sempat melihat tanda lahir berupa bercak merah di leher gadis itu.

Lexa ragu apakah ia harus jujur pada pria itu. Bayangan sosok penyihir jahat masih melekat pada sosok pria tua di depannya. Bisakah ia dipercaya?

"Aku bersama teman-temanku mencari tanaman untuk membuat ramuan," kata Lexa. Ia tidak punya pilihan lain. Barangkali pria itu hanya seorang warga yang memang tinggal di hutan ini, meskipun keberadaan satu rumah di tengah hutan sangat sulit untuk diterima akal. "Aku kehilangan mereka saat mencari tanaman itu."

Bill mengangguk paham.

"Kau tidak perlu khawatir, Nak," ucap Bill. Ia tersenyum, sorot matanya teduh. "Aku akan meminta Ney mengantarmu pulang. Tapi sebelumnya minum dulu tehnya."

Lexa memandang teh dalam cangkir di meja. Ia ragu meminumnya. Siapa yang bisa percaya teh itu tidak diberi ramuan? Lexa tidak ingin mati konyol di tempat ini. Namun, pria tua itu terlihat tulus dan Lexa tidak enak hati jika menolak pemberiannya. Ia disambut dengan baik dan ditawarkan pengantaran pulang. Dalam hati Lexa berdoa semoga ia tidak mati atau pingsan jika meminumnya.

Saat mengangkat gelas, aroma herba tercium pekat. Aromanya begitu menyegarkan. Lexa menyeruput sedikit, kemudian meletakkan cangkir ke meja. Rasanya manis dan sedikit kecut. Namun, saat ramuan mulai merambati pencernaannya, Lexa merasa lebih tenang dan bertenaga. Ramuan itu seakan-akan menyerap semua kekhawatiran dalam dirinya.

Bukannya merasa lebih baik, benaknya malah berpikir mungkin saja itu semacam hipnotis. Lexa berusaha sekuat tenaga menjaga pikirannya agar tidak hilang kendali.

"Jangan khawatir, Nak. Aku tidak mungkin meracunimu," ucap Bill. Ia terkekeh pelan dengan suara serak. "Jika aku berniat membunuhmu, aku sudah melakukannya sejak tadi. Aku masih cukup kuat untuk memukulmu dengan balok kayu."

Dalam hati Lexa membenarkan. Saat ia berbalik tadi, seharusnya Bill punya kesempatan untuk memukulnya dengan kayu atau batu. Namun, pria itu tidak melakukannya.

"Maaf aku tidak bermaksud menyinggung, tapi aku tidak bisa percaya begitu saja pada orang yang baru kutemui," ucap Lexa. Ia memandang sekitar. "Terlebih di tengah hutan seperti ini."

Bill mengangguk paham. Ia mengerti kekhawatiran Lexa sehingga tidak memaksa gadis itu memercayainya. Hal itu pula yang membangkitkan kembali harapannya. Kehati-hatian Lexa dalam menilai sesuatu memberinya peluang untuk masuk lebih dalam dan memanfaatkan kepercayaan itu saat ia berhasil masuk.

"Boleh tahu tanaman apa yang kalian cari?"

Lexa diam sejenak. Ia tidak begitu familier dengan nama tanaman itu sehingga sulit mengingatnya dengan baik.

"Em, cecil—"

"Cecilafus." Seseorang menginterupsi.

Lexa mendongak, ia mengenal suara itu. Bill juga ikut memutar tubuh ke jendela yang terbuka. Ney bertengger di kusen jendela dengan tanaman rambat di cakarnya. Lexa senang bercampur bingung saat mendapati burung kecil itu ada di sana. Kemudian ia teringat percakapan mereka di taman. Mungkinkah ini Bill yang dimaksud?

"Kau tinggal di sini?" tanya Lexa.

"Ya, namaku Ney dan ini Bill," ucap Ney lalu terbang ke meja. Ia meletakkan tanaman itu di sana lalu terbang ke pundak Bill.

"Bagaimana kau bisa tahu aku mencari tanaman itu?"

"Aku melihat kalian masuk ke hutan tadi," kata Ney menjelaskan. "Aku sedang mencari makanan. Aku memperhatikan kalian mencari cecilafus sampai kau terpisah dari teman-temanmu."

Lexa menaikkan alis, wajahnya terlihat kesal.

"Kenapa tidak memberitahuku?"

"Aku melihatmu mendekati rumah ini," kata Ney. "Jadi kubiarkan saja. Aku pergi mencari cecilafus untukmu."

Lexa mengembuskan napas. Ia sedikit menyesali sikapnya yang berlebihan saat bertemu Bill. Semoga pria itu tidak memberitahu Ney yang terjadi tadi sebelum burung itu datang.

"Apa kau melihat teman-temanku?"

Ney mengangguk. "Mereka sudah kembali ke akademi. Mungkin mereka akan melaporkannya pada Cleo agar membantu mencarimu."

Bill gusar di kursinya. Lexa menyadari perubahan sikap pria itu.

"Ini bukan hal yang baik," kata Bill. "Ney, cepat antarkan Lexa kembali ke akademi. Mereka tidak boleh sampai menemukan tempat ini."

Lexa kembali meragukan ketulusan pria itu dan juga Ney. Kenapa mereka begitu khawatir jika orang-orang di akademi mengetahui keberadaan mereka? Benarkah mereka penyihir jahat yang disebut Berta?

"Lexa bawa tanaman cecilafus itu. Aku akan mengantarmu pulang," kata Ney.

Lexa mengambil tanaman di meja. Ia penasaran, tetapi rasa takut memaksanya untuk segera meninggalkan tempat itu. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Bill sehingga ia tidak mau ada orang yang mengetahui keberadaannya.

"Nak, setelah kau kembali ke akademi, jangan beritahu siapa pun kalau kau bertemu denganku," kata Bill. Ucapannya sarat akan permohonan dan rasa takut. Sejenak Lexa merasa iba padanya. "Katakan saja kau mencari tanaman itu sampai ke tengah hutan dan tersesat. Kau berhasil kembali karena menemukan jejak kaki di tanah."

Lexa mengangguk, kemudian Ney terbang lebih dulu. Lexa bergegas pergi meninggalkan rumah itu. Mereka menyusuri hutan semakin jauh meninggalkan rumah Bill. Setelah berjalan cukup jauh, Lexa mendengar orang-orang berbicara. Ney berhenti.

"Ada orang di depan sana," katanya. Ia berbalik menghadap Lexa. "Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Aku percaya padamu. Kau tidak akan memberitahu siapa pun tentang aku dan Bill."

Lexa mengangguk, kepercayaan Ney menjadi beban yang menggelayut di pundaknya. Ia akan memikirkan itu lagi nanti, setelah ia berhasil menguak semua misteri yang ada di akademi ini. Jika ternyata benar Bill mencoba bermaksud jahat, Lexa tidak akan segan-segan menghajar pria tua itu dan menjadikan Ney sebagai lauk.

Lexa menarik napas beberapa kali sebelum melangkah dari balik pepohonan. Ia memasang wajah takut sembari terus berjalan seolah-olah tidak tahu ada orang di dekat sana.

"Neo!" panggilnya.

"Lexa!" Seseorang menyahut. Ia kenal suara itu, bukan Neo. Itu suara Cleo.

Gadis itu berlari menghampiri orang-orang yang datang mencarinya. Cleo menghambur memeluk Lexa. Dari balik kacamatanya, ia meneteskan air mata. Saat Neo kembali ke akademi dan memberitahu kalau Lexa hilang, Cleo langsung berlari dari ruangannya. Dadanya bergemuruh, penuh kekhawatiran dan rasa takut.

"Syukurlah kau selamat," katanya lirih seraya mengusap kepala Lexa.

Gadis itu ikut menangis. Cleo benar-benar peduli padanya. Meski terkadang menyebalkan, Lexa yakin Cleo tulus menyayanginya. Lexa merasa tenang setiap kali berada dekat dengan Cleo. Ia seolah mendapat perlindungan ekstra dari seorang kakak laki-laki.

"Maaf aku buat kalian khawatir," ucap Lexa setelah Cleo melepas rangkulannya. Mata pria itu sembab, tetapi ia tetap tersenyum. "Aku mencari tanaman ini sampai tidak memperhatikan arah."

"Tidak apa-apa," kata Cleo. "Yang penting sekarang kamu sudah bersama kami."

"Maaf, ya, Lexa. Aku gak bisa jagain kamu tadi," kata Neo saat mereka kembali ke akademi.

"Gak apa-apa, kok. Itu bukan salah kamu," jawab Lexa. "Kamu ke hutan, kan, buat nyari cecilafus, bukan buat jagain aku."

Pipi Neo merona karena malu. Ia memalingkan wajah dan menarik napas dalam-dalam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro