Bab 18 - Kitab Pasteyes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mimpi itu kembali datang. Kali ini, Lexa berada di sebuah perpustakaan besar penuh dengan buku yang tersusun rapi di rak. Beberapa buku tampak kusam dan menguning. Beberapa rak di sudut menjulang tinggi sampai harus menggunakan tangga untuk mengambil buku di rak teratas. Gadis itu berjalan mengitari beberapa rak sampai ia tak sengaja mendengar pembicaraan di antara rak-rak buku di sana.

"Mungkin sebaiknya kitab ini dimusnahkan saja." Seorang pria berambut putih menimbang-nimbang sebuah buku tebal bersegel di tangannya. Buku itu mengganggu pikirannya selama beberapa bulan terakhir. Terlebih karena usianya yang tak lagi muda, ia tidak mau meninggalkan sesuatu yang mungkin berpotensi menimbulkan kekacauan. Lagi pula, ia tidak yakin akan ada orang yang mewarisi kemampuannya sebagai Videre.

Lexa mendekati sumber suara, kemudian mengintip dari balik rak. Matanya terbuka lebar saat melihat salah satu wajah dari kedua orang itu. Mereka berdiri berhadapan dalam posisi menyamping dari sudut pandang Lexa. Salah satunya terlihat sangat familier, tetapi Lexa sedikit kesulitan untuk mengingat siapa orang itu. Akhirnya ia mengenyahkan sejenak pikiran itu dan kembali menyimak apa yang mereka bicarakan.

"Tapi kenapa harus dimusnahkan? Simpan saja di perpustakaan." Pria yang satu terlihat kurang setuju dengan ide itu. Ia melirik kitab di tangan si pria beruban kemudian kembali menatap wajahnya. "Aku tahu kamu khawatir, tapi kamu tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak pasti. Buku ini tidak akan mencelakai siapa pun."

Pria tua itu mendesah panjang. Kepalanya tertunduk. Selama berbulan-bulan kitab itu membebaninya. Ia tidak bisa tidur tenang, sangat khawatir bila suatu hari di masa yang tidak terduga ia meninggal dunia.

"Kau tidak mengerti, Bill. Jika sampai kitab ini dibaca oleh orang yang salah, dia bisa menggunakannya untuk kejahatan."

Bill? Lexa mengerjap saat nama itu kemudian terkoneksi dengan sosok wajah yang ia kenal. Mungkinkah itu Bill yang ia temui di hutan? Mungkin saja, tetapi yang ini terlihat jauh lebih muda dan sehat. Jika itu memang Bill yang ditemuinya di hutan, lalu siapa orang yang bersama Bill sekarang? Lexa berusaha mengingat wajah pria itu, tetapi ia sulit mencocokkannya dengan seseorang yang mungkin pernah ditemuinya.

"Memangnya siapa yang akan membukanya? Bukankah buku itu hanya bisa dibuka oleh penyihir yang memiliki bakat sepertimu?"

Pria tua itu mengangguk. "Kau benar. Tetapi seperti yang kita pahami bersama, pengetahuan tak selalu membawa kedamaian dan kebaikan. Di tangan yang salah, pengetahuan justru bisa menjadi senjata yang mematikan. Baik untuk orang sekitar maupun untuk dirinya sendiri."

Bill mengedikkan bahu. Pria tua itu sepertinya sudah mengambil keputusan bulat untuk memusnahkan buku itu daripada menyimpannya untuk generasi berikutnya.

Pria tua itu menyodorkan kitab itu ke dada Bill. "Lakukanlah segera. Jangan sampai ada yang tahu."

Bill mengernyit, matanya terbuka lebar. Ia tidak menduga kalau pria itu akan menyerahkan tugas itu padanya. Bill sangat menghargai buku dan ilmu di dalamnya. Ia tidak akan sanggup menghanguskan buku yang sangat berharga itu.

"Kenapa bukan kamu saja?"

Pria tua itu menggeleng. "Aku tidak bisa menghapus ingatan yang ada di kepalaku, Bill. Ingatan dan pengetahuan di kepalaku abadi. Hanya akan tiada jika aku mati."

Bill menarik napas panjang. "Baiklah," katanya berat hati. "Akan kulakukan untukmu."

Pria tua itu tersenyum, kemudian menepuk bahu Bill. "Aku percaya padamu, Bill. Melebihi rasa percayaku pada anakku sendiri. Suatu saat jika aku tidak ada lagi, aku harap kau mau menjaga anakku dan membimbingnya membesarkan akademi ini."

Meski dipercaya, Bill tidak lantas bangga. Kepercayaan adalah beban yang berat untuk dipikul. Bagaimana pun, orang yang harus ia jaga bukan orang sembarangan. Anak pria tua itu sedikit berbeda dengan ayahnya. Lebih seperti ibunya, sedikit ambisius dan kurang percaya akan kemampuannya sendiri.

Setelah perbincangan itu, Bill meninggalkan perpustakaan. Pria tua itu duduk di kursi di balik meja kayu di dekat pintu. Ia memijat-mijat kepalanya. Lexa keluar mengikuti Bill. Pria itu berjalan di jalanan berbatu seperti yang Lexa lihat di Akademi Laetus sehari-hari, hanya saja jamur di taman jauh lebih subur dan warnanya lebih bervariasi.

Awalnya Lexa berpikir Bill akan membakar buku itu atau memusnahkannya dengan sihir. Namun, ternyata Bill kembali ke kamarnya dan menyembunyikan buku itu di sebuah kotak kayu yang dimantrai dengan mantra segel yang kuat. Kemudian kotak itu dimasukkan ke lemari.

"Kitab ini tidak boleh dimusnahkan," katanya pada diri sendiri. "Aku yakin, suatu hari nanti, Kitab Pasteyes ini akan berguna untukku. Aku hanya perlu menunggu seorang penyihir berbakat untuk membuka segel itu dan mempelajarinya."

Lexa terkesiap. Kedua tangannya menutup mulut. Apa yang sebenarnya Bill lakukan? Ketika bertemu di rumah di tengah hutan, Bill terlihat sangat baik, meskipun penuh dengan rahasia yang membuat Lexa penasaran. Namun, Lexa teringat bahwa ia sedang bermimpi. Mungkin saja ia terlalu khawatir akan banyak hal sampai ia mengalami mimpi yang tidak masuk akal.

Setelah Bill keluar, Lexa tidak mengikutinya. Ia kembali ke perpustakaan dan mendapati pria tua itu sedang sibuk dengan pena dan kertas di meja. Ia tampak sedang menulis sesuatu di sana. Namun, Lexa tidak mengerti apa yang ditulis pria itu. Tulisannya seperti menggunakan aksara kuno. Mungkinkah itu mantra?

Tak lama kemudian, seseorang masuk. Ternyata itu Bill. Pria tua itu mendongak, kemudian meletakkan pena di meja.

"Sudah kau musnahkan?"

Bill tersenyum,"Sudah."

Lexa memelotot, mulutnya nyaris terbuka untuk protes sebelum ia kembali teringat mereka tidak akan bisa mendengarnya. Ia sedang bermimpi dan ia tidak bisa mengubah apa-apa di sana.

"Aku sangat berterima kasih. Kau sangat banyak membantuku semenjak kematian Armilla."

Mata pria tua itu berubah sendu, berkaca-kaca karena sekelebat ingatan melintas di benaknya. Armilla meninggal tepat setelah anak mereka satu-satunya lulus dari kelas lanjutan. Pria tua itu melanjutkan hidupnya dalam kemurungan selama bertahun-tahun. Namun, ia menyembunyikan semua itu dengan baik. Ada tanggung jawab besar yang menantinya. Namun, sekarang usianya semakin renta dan ia semakin dekat dengan kematian.

"Mau kubuatkan teh, Tuan Gineo?"

Pria itu mengangguk. Iamengusap mata dengan tangan, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Bill pergi darisana. Lexa menunggu sejenak, tetapi pria itu hanya menulis dan terus menulis.Lexa akhirnya pergi dari sana. Saat keluar dari ruangan, ia tak sengajamenembus seseorang yang berjalan terburu-buru ke ruangan Gineo. Meski ia hanyaserupa

bayangan di sana, tetap saja Lexa merasa ngilu. Saat Lexa berbalik, priaitu sudah masuk. Ia ingin masuk lagi, tetapi seseorang menepuk bahunya dengankeras, sampai ia tersentak dan terbangun di ranjangnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro