Bab 3 - Pria Bernama Cleo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Benarkah aku hanya bermimpi?

Olimpiade sudah usai dua hari yang lalu dan sekarang mereka akan menerima pengumuman juara sekaligus pemberian medali kejuaraan. Seperti biasa Lexa diantar ayah angkatnya ke tempat olimpiade berlangsung. Sementara menunggu teman-temannya datang, Lexa merenungi semua kejadian yang ia alami beberapa waktu belakangan ini.

Terkadang ia berpikir mungkin saja semua itu bukan hanya mimpi belaka. Sebagian dirinya meyakini bahwa mimpi itu memiliki keterkaitan langsung dengan dirinya. Ada maksud tersembunyi yang sulit ia pahami. Dan seiring banyaknya mimpi yang ia alami, semakin kuat pula kerinduannya untuk bertemu orang tuanya.

Terkadang, Lexa menghayalkan wajah mereka. Rambut hitam lebat ibunya yang digulung membentuk sanggul dan rambut pendek ayahnya yang dipotong rapi. Mata cokelat ibunya akan menatapnya saat ia bangun tidur dan tersenyum lembut. Atau barangkali ayahnya yang akan melakukan itu.

Dari siapa aku mewarisi mata ini? Mungkin dari ayah atau mungkin juga ibu. Apakah mereka memiliki warna mata yang sama?Mungkin saja. Apakah mereka bertubuh langsing sepertiku? Kurasa begitu. Di mana mereka sekarang? Barangkali di suatu tempat. Apakah mereka masih hidup? Benaknya terdiam. Tidak ada jawaban dan Lexa enggan untuk memikirkan kemungkinan terbaik untuk menjawabnya. Ia tidak ingin mengetahui bahwa orang tuanya sudah tiada. Tidak. Lexa ingin melihat mereka.

"Hai, Xa," sapa Chris. Anak laki-laki itu duduk di kursi di samping Lexa. "Baru nyampe?"

Lexa menoleh sekilas kemudian mengalihkan pandangan ke depan. "Ya, Chris. Aku baru duduk di sini."

Chris mengangguk-angguk. "Kamu udah sarapan? Kebetulan aku bawa dua roti, nih. Tadi aku gak sempat sarapan."

Chris merogoh tasnya, kemudian mengeluarkan dua roti. Ia menyodorkan salah satunya pada Lexa. Gadis itu menoleh, tetapi tidak mengambil roti dari tangan Chris. Sebenarnya ia ingin menolak karena sudah sarapan, tetapi Lexa merasa tidak enak karena sering menolak tawaran Chris untuk mengantarnya pulang atau tawaran mentraktirnya makan bakso sepulang sekolah.

"Oh, maunya dibukain?" Chris meletakkan satu roti di kursi. "Baiklah, aku bukain, ya."

Lexa mengerjap kemudian menggeleng. "Enggak. Enggak usah." Ia menyambar roti dari tangan Chris lalu membukanya sendiri.

"Lho, kenapa, Xa?"

"Gak apa-apa, Chris. Aku bisa buka sendiri, kok," ucapnya gugup. Dalam hati Lexa berharap tidak ada Lena atau Reka di sekitar sana dan melihat kelakuan Chris yang bisa membuat siswi mana pun tergila-gila. Tidak hanya wajah yang tampan dan kulit putih bersih atau tubuh atletisnya, Chris juga perhatian dan sangat tidak terduga.

Chris mengedikkan bahu, kemudian mengambil roti di sampingnya.

Lexa memandangi roti di tangannya. Ia ingin membuka plastik pembungkusnya tetapi perutnya menolak untuk menerima makanan untuk saat ini.

Tiba-tiba Reka datang dan menyambar roti dari tangan Lexa. Cowok langsung memasukkannya ke mulut.

"Reka, apa-apan, sih?" ucap Chris jengkel.

"Ya, lagian rotinya dilihatin doang," ujar Reka seolah tak bersalah. "Buat aku ya, Xa."

Lexa mengangguk seraya memaksakan senyum.

"Ya, makan aja."

Lexa sedikit kesal dengan sikap Reka yang sembrono. Namun, di sisi lain ia berterima kasih karena ia tidak perlu merasa canggung karena duduk berdua dengan Chris. Meski mereka sudah berteman sejak masuk SMA, tetap saja duduk berdua dengan Chris membuat Lexa merasa gugup.

"Lena kok belum datang, ya?" Lexa mengamati sekitar, berusaha menemukan sosok yang ia cari. Berada di antara dua cowok itu mulai membuatnya tak nyaman. Reka bukan orang yang tepat untuk ia ajak mengobrol, dan Chris hanya akan membuat Lexa kelihatan gugup.

Reka turut memandang ke sekitar, kemudian kembali fokus pada roti di tangannya. Ia duduk tepat di sebelah Lexa, nyaris menempel dengan gadis itu.

"Duduknya jauhan dikit bisa gak, sih?" Chris melirik tajam pada Reka. Orang yang dituju tampak cuek.

"Emang gak boleh?" balas Reka heran. "Lexa kan teman kita. Gak masalah dong kalau duduk dekat sama dia. Lagian Lexa, kan, masih jomlo, gak bakal ada juga yang marah."

Reka melirik Lexa. "Bener kan, Xa?"

Lexa memaksakan senyum. "Ia, Ka. Gak bakal ada yang marah, kok."

Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Reka menghabiskan rotinya dan berjalan beberapa langkah menuju tong sampah di dekat sana. Chris mengunyah roti di tangannya sembari mengamati siswa yang berlalu-lalang.

"Gak mau, Xa?" Chris tiba-tiba menyodorkan roti ke depan Lexa.

Gadis itu menoleh. "Masa aku harus makan bekas gigitanmu?"

Chris mencubit roti bekas gigitannya dan melahapnya, lalu menyodorkan kembali roti itu dengan alis naik turun.

Lexa mencubit roti dengan terpaksa untuk menghargai Chris. "Thanks."

Chris tersenyum sebagai jawaban. Sesaat kemudian, keheningan menusuk-nusuk dada Lexa. Meski banyak orang di sekitar, rasanya ia hanya duduk seorang diri di sana. Belakangan ini, ia sering melamun dan merasa sangat kosong. Gadis itu meremas-remas tangannya, sembari mengamati orang-orang yang berlalu lalang.

"Oh, ya, Xa, gue mau nanya sesuatu." Chris tiba-tiba bertanya.

Lexa bergumam sebagai jawaban. Matanya tertuju pada Reka yang mengobrol dengan beberapa siswi dari sekolah lain. Andai ia punya jiwa sosial yang tinggi, mungkin ia tidak akan merasa kesepian di tengah keramaian ini.

"Mau tanya apa?"

Chris menarik napas panjang. "Kamu sebenarnya kenapa?"

Lexa menoleh, dahinya mengerut. "Maksud kamu?"

"Ya, belakangan ini aku perhatikan kamu suka melamun," ucap Chris. "Sekeras itu kamu belajar buat menang olimpiade ini?"

Lexa diam sejenak. Benaknya berterima kasih karena Chris tidak berpikir aneh tentang perubahan sikapnya.

"Olimpiade ini berarti banget buat aku, Chris. Kamu tahu, kan, ibuku gak akan pernah suka kalau aku gagal? Aku juga gak mau kecewain ayahku yang sudah membesarkan aku. Dia selalu jadi tameng saat ibu mulai bersikap tidak baik."

Chris melipat kedua tangan, punggungnya disandarkan ke tembok. Pandangannya tertuju ke wajah Lexa yang membuat gadis itu merasa tak nyaman.

"Semoga suatu hari kamu ketemu orang tua kandungmu, ya."

Lexa tersentak. "Kok kamu tahu aku anak angkat?"

Chris mendesah. Ia mengibaskan tangan untuk membersihkan remahan roti di celananya.

"Itu gak penting," jawab Chris. Ia bangkit berdiri. "Aku gak tahu lebih dari itu, kok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat cerita ke aku. Ingat, kita teman."

Dalam hati Lexa mengulang kata itu. Teman.

***

"Bener, kan, yang aku bilang. Kita pasti juara," ujar Reka sembari menyalami ketiga temannya. Di lehernya tergantung medali emas, begitu juga dengan ketiga temannya. Lexa memandangi medali di lehernya, mengusap permukaan benda berkilau itu untuk sesaat. Ayahnya pasti akan sangat senang melihatnya.

"Gimana kalau nanti malam kita kumpul bareng buat ngerayain kemenangan kita?" Lena mengusulkan pendapat.

Lexa tidak menanggapi. Ia tahu, pergi keluar malam hari bersama teman-temannya adalah ide yang buruk. Namun, ia sangat ingin menghabiskan waktu bersenang-senang dengan mereka. Hidup di antara rumah dan sekolah membuatnya jenuh. Sekali lagi ia memandang medali itu, dan berharap kali ini ayahnya bisa membantunya.

Setelah beberapa saat berembuk, tiba-tiba seorang pria datang menghampiri. Tubuhnya tegap berisi dan tingginya melebihi rata-rata orang pada umumnya. Wajahnya tampak kaku, tetapi saat ia mendekat dan bibirnya tertarik ke atas, kengerian dalam dirinya menguap.

"Permisi, boleh ikut aku sebentar?"

Suaranya rendah dan tegas. Mereka berempat sontak menoleh. Kemudian, mereka saling memandang bingung.

"Kalian berempat," ucapnya melihat kebingungan di wajah keempat siswa itu.

Lexa mengamati penampilan pria itu. Kemeja cokelat ketat membalut tubuhnya yang kekar, membentuk otot-ototnya yang menonjol. Kakinya yang jenjang terbungkus celana kain dan ia mengenakan sepatu pantofel yang membuatnya terlihat sangat formal. Di lehernya tergantung kartu identitas yang menunjukkan ia panitia olimpiade.

Mereka berempat berjalan tepat di belakang pria itu. Lena menggandeng tangan Lexa dan berjalan di depan sementara Reka dan Chris mengekor di belakangnya.

Reka menyelipkan tangan kanannya ke sela lengan Chris.

Chris menepis tangan Reka. "Ih, kamu ngapain, sih, Ka?"

"Biar kayak mereka," ucapnya menunjuk Lena dan Lexa dengan lirikan mata.

Chris bergidik. "Idih, najis!"

Chris setengah berlari mengejar Lexa yang sudah jauh di depan, sementara Reka terbahak-bahak sembari mengikuti di belakang.

"Ayang, tungguin!"

Mereka dibawa ke sebuah ruangan yang tidak begitu luas. Seluruh ruangan berwarna putih, kecuali perabot yang didominasi warna coklat tua. Pria itu duduk di kursi di balik sebuah meja kayu. Awalnya Lexa mengira akan bertemu banyak orang di sana. Namun, hanya ada mereka berlima.

"Boleh tutup pintunya?" Pria itu menoleh pada Reka yang baru masuk. Siswa itu menarik pintu hingga menutup, kemudian bergabung dengan teman-temannya yang berdiri mengitari meja.

Pria itu mendongak, kemudian berdeham. Kedua sikunya ditopangkan ke meja.

"Sebelumnya aku ucapkan selamat untuk kalian berempat," ucapnya. Senyuman tersungging di bibirnya yang kemerahan. "Atas kemenangan ini, kalian berkesempatan untuk mengikuti olimpiade di tingkat yang lebih tinggi. Untuk itulah kalian aku bawa kemari, agar kalian bisa mempersiapkan diri untuk keberangkatan kita nanti malam."

Mereka berempat saling berpandangan. Tak satu pun yang menyangka mereka akan dibawa kembali untuk berkompetisi setelah mereka baru saja mendapat penghargaan.

"Apakah secepat itu, Pak?" Chris memprotes. Ketiga temannya mengangguk setuju. "Kenapa pemberitahuannya sangat mendadak? Bukankah seharusnya pihak sekolah memberitahu kami jauh sebelum kompetisi ini dimulai?"

Pria itu mendesah, kemudian bangkit berdiri. Tubuhnya seakan-akan mengintimidasi mereka berempat. Namun, mereka berusaha tetap tegak.

"Sebelumnya jangan panggil aku, Pak. Namaku, Cleo. Kalian bisa memanggilku dengan nama itu," ucapnya kemudian tersenyum. "Untuk informasi itu, seharusnya pihak sekolah sudah memberitahu kalian. Jika kalian tidak mendapat informasinya, kemungkinan pihak sekolah lalai atau barangkali tidak berekspektasi kalian akan menjuarai olimpiade kali ini."

Chris menatap tajam pada Cleo. Itu sama saja ia meremehkan kemampuan mereka.

"Tapi itu tidak mungkin," bantah Lexa. "Kami menghabiskan waktu berjam-jam di sekolah untuk mengerjakan soal bersama Pak Sam. Mustahil beliau tidak tahu sejauh mana kemampuan kami."

Cleo tampak tenang menghadapi serangan itu. "Tapi kenyataannya begitu, kan?"

Cleo berjalan keluar dari mejanya. Mereka berempat sontak mundur beberapa langkah.

"Jangan takut," ujar Cleo. Ia tertawa kecil melihat wajah keempat siswa itu menegang. "Aku akan membawa kalian mengikuti olimpiade itu sekaligus bertanggungjawab atas semua keperluan dan keselamatan kalian." Ia memandangi wajah mereka satu per satu.

Mereka berpandangan, saling mencari jawaban dari mata orang lain.

"Kurasa itu artinya sepakat." Cleo memutuskan. "Kita bertemu di sini nanti malam pukul delapan. Jangan sampai terlambat."

Mereka keluar tanpa mengatakan apa pun. Terlalu banyak tanda tanya yang muncul di benak mereka. Siapa Cleo sebenarnya dan mengapa mereka tidak tahu bahwa mereka akan mengikuti olimpiade di tingkat yang lebih tinggi?

Sepanjang jalan menuju parkiran, Lexa berusaha menemukan jawaban. Ia berharap ia tahu. Namun, sampai tiba di sana--menunggu ayahnya datang--Lexa tidak tahu apa-apa. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Lexa merasa bodoh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro