Demolished

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang penulis, yang akun media sosialnya diam-diam kubaca walau tidak kuikuti, mengatakan bahwa buku harian bisa meredakan cukup banyak stres dan kemarahan. Mengungkapkan pikiran lewat tulisan yang menjadi konsumsi sendiri membuat sesuatu di dalam diri kita jadi merasa lebih lega katanya. Aku tidak yakin, tapi aku tidak menolak untuk mencobanya.

Aku melihat orang-orang membuat jurnal dengan bolpoin warna-warni, washitape, dan berbagai macam stiker. Sepertinya seru sekali membayangkan aku bisa membuat berbagai macam tulisan sambil menutup kuping dengan headset, menyetel musik dengan volume keras, dan minum es kopi yang manis dan sangat dingin. Mungkin, aku bisa menghabiskan waktu di apartemenku. Aku bisa mengajak Andro atau Berry tinggal di sana selama beberapa hari.

Setelah menonton video di Instagram selama dua jam malam itu, aku memutuskan untuk memulai hobi baru. Begitu Yudhistira melepasku dengan ciuman keesokan paginya, aku langsung mengepak baju yang tidak banyak, lalu mengendarai mobil ke toko buku besar. Aku merasa sangat boros setelah menghabiskan lebih dari dua juta untuk membeli peralatan tulis dan kotak penyimpanannya. Kasir toko buku itu tersenyum padaku. Setelah menyapa, dia berkata, "beliin keponakan, Mbak?"

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum seperti biasa. Aku Sienna Shelby, artis sombong, cantik, dan kaya. Untuk melepas kacamata hitam saja aku malas, apalagi untuk menitipkan tas Hermes Birkin ini ke penjaga keamanan. Membalas sapaan orang  bukan gayaku.

Seseorang menghampiriku, meminta tanda tanganku di buku agendanya. Aku memberikan tanda tangan dengan tangan kanan dan memindahkan belanjaanku ke tangan kiri. Aku mendengkus bosan dengan suara keras saat dia mengarahkan kamera ponsel untuk mengambil gambar kami. Untung saja dia hanya meminta tanda tangan, tidak memintaku menuliskan ucapan. Kalau harus menuliskan ucapan, aku akan menulis: Semoga cepat mati. Baumu kayak kaos kaki yang dipakai sebulan penuh.

Beberapa orang mengenaliku dan menyapaku, tapi aku hanya memberi mereka cengiran terpaksa sebelum akhirnya mencapai mobil dan merasa aman dengan hidupku sendiri.

Sudah banyak orang yang mengeluhkan kesombonganku di media sosial. Ada yang terang-terangan menyebut namaku agar aku melihat mereka dan ada yang hanya berani menyebutku di hashtag saja. Mereka pikir karena aku public figure yang terkenal karena dukungan mereka lantas aku harus menyembah dan mengikuti semua keinginan mereka? Kalau kuturuti, tidak akan habis 24 jamku untuk memuaskan mereka. Kalau bukan karena jasa asistenku, media sosialku sudah tidak mungkin tersentuh. Tim media sosial yang mengatur segalanya agar aku bisa melakukan banyak hal yang kumau.

"Mbak, sore ini jangan lupa bikin live di kamar mandi, lagi berendam di bathtub," kata Silvy dalam pesan suara yang kuputar dalam perjalanan kembali ke apartemenku sendiri.

"Mempertahankan sensasi, ya? Oke." Akan kulakukan apa pun yang dia minta. Dia dan teman-temannya memang kubayar untuk terus mempertahankan agar namaku selalu menjadi buah bibir. Sensasi demi sensasi yang kubuat merupakan ide mereka. Mereka juga punya cara agar setiap sensasi yang kubuat selalu menjadi perbincangan utama.

Sudah bertahun-tahun hidupku bukan milikku lagi. Semuanya sudah bukan milikku. Kuharap buku tebal bersampul tebal dengan tulisan "This beauty life is yours" ini bisa jadi sesuatu yang benar-benar kumiliki sendiri.

Ponselku berbunyi setelah kuletakkan buku itu di meja kerja minimalis yang seluruh warnanya putih itu. Kuangkat telepon sambil membuka sekotak bolpoin warna-warni yang sama dengan video di Instagram.

"Ya, Berry?" sapaku pada adik yang sangat kusayangi.

"Sori, Mbak. Aku nggak bisa ke sana. Aku lagi banyak banget tugas. Aku belum beli kertas juga buat gambar." Dia terdengar buru-buru. Ada suara kertas yang digerakkan di belakangnya.

"Uangmu masih ada, kan?"

"Masih, Mbak. Masih. Banyak banget masih. Nggak usah pikirin itu. Mbak sehat? Tadi pagi pas live di IG Mbak kelihatan pucat."

Pertanyaan seperti ini saja membuatku ingin menangis. Dari sekian banyak yang melihatku hari ini, cuma dia yang bertanya kondisiku. Di antara banyak manusia yang mengelu-elukan dan mengaku mengagumiku dalam komentar saat aku live streaming tadi, cuma dia yang peduli.

"Makasih, Ber," kataku sungguh-sungguh. Kutahan juga air mata agar tidak jatuh. "Aku nggak apa-apa. Cuma kecapekan aja."

"Mbak masih sama orang itu?"

Yudhistira. Itu yang dia maksud.

"Iya." Aku malu saat menjawab ini.

"Sampai kapan, Mbak?"

Ya, sampai kapan? Sampai dendamku pada adiknya tuntas? Sampai akhirnya dia bosan dan membuangku? Sampai aku mendapatkan ketenangan dan bisa melepaskan diri dari teror Victoria? Sampai aku akhirnya bisa mendapatkan uang banyak untuk menghilang bersama Berry dan Andro? Sampai kapan?

"Aku ... nggak tahu."

Dia mengeluarkan napas panjang yang kasar. Di belakangnya ada bunyi kursi yang berkeriut. Mungkin dia menyandarkan punggung sambil memegang dahi seperti biasanya saat dia kesal atau melihat masalah.

"Maaf. Aku nggak bisa berbuat apa-apa buat Mbak." Dia akhirnya berkata.

"Kamu memang nggak akan bisa berbuat apa-apa, Ber. Nggak akan bisa."

"Kalau aku sudah lulus, aku bakal cari kerja di tempat yang jauh. Aku bakal bawa Mbak juga."

Impian yang bagus.

"Ke mana pun kamu pergi, selama masih di bumi dan datamu bisa diakses oleh orang lain, kita akan ketahuan, Ber. Kita nggak akan bisa ke mana-mana setelah kenal sama orang-orang ini."

Suara keriut kursinya keras dan cepat. Kupikir dia mengubah posisi duduknya dengan menumpukan tubuh pada meja sekarang. "Mbak, aku percaya pasti ada jalan. Pasti bakal ada cara untuk keluar dari semua ini. Aku percaya kita nggak akan menghadapi badai selamanya."

"Makasih, Ber," jawabku berusaha terdengar yakin padanya. Sebenarnya, aku yakin kami tidak akan bisa berbuat apa-apa. Aku sekarang milik Yudhistira, dia yang selalu menginginkan milik adiknya. Tidak ada jalan keluar untuk kami. Tidak ada penolong untuk kami.

Hingga telepon ditutup dan aku berhadapan dengan buku agenda kosong di meja kerja  putih, tanganku masih mengepal penuh kemarahan. Aku tidak marah pada orang lain. Aku marah pada diri sendiri. Aku ingin menyakiti diri sendiri. Menancapkan kuku pada telapak tanganku sendiri tidak membuat kemarahan itu reda. Di dalam kepalaku ada banyak kata makian yang ingin dilepaskan. Sampai akhirnya aku meledak dalam rasa panas, kulemparkan semua yang ada di depanku. Kubanting dan kuhancurkan barang-barang baru yang masih ada di dalam kotak belanjaan. Kaki kayu kurus kursiku patah. Mejaku terbalik. Pot tanaman di samping meja pecah hingga batu-batu hias di atasnya berhamburan.

Aku tidak berhenti. Aku memecahkan semua yang kulihat. Aku menjerit, menangis, dan menyumpah pada semua. Aku ke dapur dan menyeret keluar kotak perkakas. Kuhajar tembok-tembok putih yang penuh hiasan dinding dan lukisan mahal. Kutarik kabel televisi dari dinding dan kubanting hingga memercikkan api. Dengan semua kemampuan yang kupunya, kuinjak televisi tipis itu dengan dua kaki. Sandal rumahku licin. Aku terpeleset dan jatuh menimpa pecahan plastik. Lenganku berdarah. Plastik tajam itu menancap. Ini membuatku semakin marah.

Aku mengambil martil besar dari kotak perkakas besar yang kubeli saat membeli apartemen ini. Dulu, kupikir perkakas itu akan kubutuhkan untuk membetulkan atau membuat sesuati. Kini, kugunakan martil itu untuk menghancurkan televisi dan dinding apartemenku sendiri. Aku memejam, lalu mulai mengayunkan martil ke dinding sampai hancur. Aku mengulang lagi sampai separuh dinding ruang kerjaku hancur berantakan.

Aku terengah, lelah, kesakitan, dan mual. Aku berlari ke WC dan memuntahkan semua isi perutku bersama kecemasan, kemarahan, dan kesedihan yang tamat sangat. Setelah selesai, aku kembali ke ruang kerja itu, duduk bersandar pada dinding dengan kedua kaki terentang. Ponselku berbunyi di bagian lain ruangan. Suara telepon masuk. Aku tidak punya keinginan sama sekali untuk mengangkatnya. Kubiarkan saja ponsel itu berdering hingga selesai, lalu berdering lagi, dan lagi. Mungkin Yudhistira yang ingin bertanya ke salon mana aku akan pergi akhir minggu ini.

Dia memang romantis, berbeda sama sekali dengan adiknya yang tidak punya hati. Dia sering datang tiba-tiba hanya untuk ciuman atau memberi hadiah kecil. Cewek lain mungkin akan langsung tergila-gila padanya. Untungnya aku tahu kalau yang dia rasakan bukan cinta. Dia hanya ingin menaklukkanku. Dia tahu kalau di sudut hatiku masih ada adiknya. Dia tahu dia belum sepenuhnya menaklukkanku. Dia berusaha mati-matian untuk mendapatkan cewek beracunnya.

Ponselku berbunyi lagi, tapi kali ini hanya sebentar, lalu bunyi notifikasi pesan masuk berkali-kali dalam jarak yang sangat pendek. Aku baru ingat kalau aku harus tampil di live streaming Instagram sore ini. Mungkin itu Silvy yang mengingatkanku.

Dengan tertatih, aku bangkit dari tempatku duduk, memeriksa luka di lenganku. Orang-orang begitu sensitif dengan kekurangan orang lain. Luka sekecil apa pun akan berarti banyak untuk mereka. Gosip tentang cinta segitiga antara dua bersaudara Syailendra dan aku sudah menjadi buah bibir yang manis. Aku sudah mengarahkan hubunganku dengan orang lain sambil berpura-pura hamil beberapa bulan lalu, tapi tidak bisa. Yudhistira terlalu intim walau di tempat umum.

Aku berjalan dengan hati-hati untuk memungut ponsel itu. Di sebelahnya, ada buku baruku yang tertutup sempurna, nyaris tidak cacat di antara puing-puing kehancuran di kamar ini. Hebat. Saat semua benda nyaris rusak dan patah, buku ini termasuk yang selamat, padahal sebelumnya dia ada di meja dalam keadaan terbuka di halaman pertama. Keajaiban apa yang disimpan buku ini?

Kutinggalkan ponselku untuk beralih pada buku itu. Kutiup debu di atasnya. Karena susah bersih, kulap sisi-sisi buku itu dengan baju yang sudah sama kotornya dengan ruangan ini. Agak jauh dari buku dan ponsel itu ada satu set bopoin warna-warni dengan tinta jel yang katanya mengandung glitter. Aku memilih duduk di pojok ruangan, tempat yang cukup aman dari kehancuran.

Setelah mempertimbangkan waktu yang masih satu jam lagi, aku memutuskan untuk menulis. Mungkin, memang untuk inilah aku ada di sini, menghancurkan ruangan ini. Sesuatu harus dibuka. Semua diamku, semua rahasia yang kusembunyikan harus terbuka di sini. Siapa tahu suatu hari nanti seseorang membacanya dan tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas hancurnya ruangan ini.

***

Buat teman-teman yang nungguin update wattpad saya, berikut saya bikin pemberitahuan ya. Sebenarnya saya cooas pemberitahuan ini dari A.N Ephemeral:

Saya mau menyampaikan juga kalau saya mungkin nggak akan menulis di Wattpad selama bulan Desember ini karena saya sedang dalam masa penyembuhan. Sedang berjuang untuk sembuh, sih. Kalau cara dengan herbal dan obat-obatan ini nggak berhasil, saya bakal dioperasi. Huhuhu...

Saya sudah menyampaikan ini ke admin-admin saya dan tidak menyampaikan ini di media sosial. Jika kalian pengin beli buku atau ada keperluan lain sama saya, silakan hubungi admin, yak. Ada Qeana yang berhubungan langsung ke customer dan readers. Selain itu ada tim reseller yang juga bisa dihubungi terkait pembelian buku.

Saya sendiri sedih banget sama langkah ini. Saya tuh sudah nyiapin beberapa cerita yang mau saya upload di tahun 2022 nanti. Tapi, saya pikir inilah yang terbaik untuk diri saya. Jangan sampai saya ngeyel banget nulis terus akhirnya ambruk sendiri. 

Sebenarnya kalau pun operasi saya sudah cukup terbiasa. Yang sudah lama menjadi Little Bees pasti ngerti tentang ini. Hehehe... Saya sudah beberapa kali berhadapan dengan pisau bedah, cuma... kalian ngerti kan betapa ribetnya operasi di masa pandemi begini? Ya harus PCR dan sebagainya. Malas banget saya. Huhuhu...

Jadi, saya memilih untuk bertahan, deh. Sehat... sehat...

Mohon doanya, ya. Semoga saya bisa mempertahankan kesehatan dan kembali bugar tanpa harus naik ke meja operasi.

See you next story. 

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro