BAB 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


__

Suara tepuk tangan terdengar di sepanjang tepi kolam renang. Permainan kali ini adalah lomba renang. Permainan itu tidak terdapat dalam daftar permainan. Hanya saja para senior cowok mengusulkan permainan itu yang tentunya mereka tujukan untuk junior-junior mereka. Katanya harus gentle. Dan kata mereka, salah satu tolak ukurnya itu adalah kecepatan berenang.

Beberapa mahasiswa angkata baru sudah bersiap di pinggir kolam. Mereka hanya memakai celana pendek yang membuat sebagian mahasiswi malu untuk melihat situasi. Tetapi tak urung untuk memberi semangat. Untungnya para senior cowok melarang mereka jika hanya menggunakan boxer, kata mereka, "Bahaya."

"Perwakilan kelompok satu mana?" tanya Farid heran. Hanya ada sebelas mahasiswa yang berjejer dan bagian yang kosong terdapat di bagian kelompok satu.

Sandi santai saja. Dia tidak begitu menghiraukan perkataan dari Farid. Dia berdiri di samping Safa sambil memerhatikan teman-temannya yang sudah bersiap untuk berenang. Merasa diperhatikan, dia menoleh ke samping dan mendapati dua temannya sedang memerhatikannya. Mereka memandag Sandi dengan tampang yang seolah-olah mengisyaratkan, "Lo harus maju!"

Sandi mendengus. "Sialan!" gerutunya. Beberapa teman-teman seangkatannya sedang memerhatikannya sekarang, begitupun dengan para senior. Mau tak mau, dia segera membuka bajunya lalu menatap Safa yang terdiam membisu. "Titip," katanya sambil memberikan Safa baju miliknya yang sudah basah karena permainan tadi.

Safa menerimanya dengan malu. Dia menggigit pipi bagian dalamnya saat perhatian yang tadinya tertuju pada Sandi kini tertuju padanya. Dia menghela napas dan menunduk dalam.

"Bersedia... siap... ya!"

Suara dari sponsor kelompok masing-masing membuat suasana di tempat itu benar-benar riuh. Safa terus memerhatikan Sandi yang tengah berusaha mencapai ujung kolam seberang. Dia menaruh baju Sandi di bahunya, kakinya menjinjit untuk melihat Sandi karena saat ini pandangannya tertutupi oleh mahasiswa-mahasiswi lain yang ada di depannya.

Dia melihat Sandi tidak lama lagi mencapai puncak. Dan tepat saat terdengar sumpritan dari senior, Sandi berdiri. Dia yang paling pertama mencapai puncak. Pandangannya langsung tertuju pada Safa. Dia tersenyum simpul.

Dan Safa membalasnya dengan senyum semringah.

μη

Sarah membasahi bibir. Dia menatap Inggrid dengan sorot tak percaya. "Nggak mungkinlah," balasnya dengan jengkel. Inggrid sudah membuang-bunag waktu Sarah demi mendengarkan pernyataan yang menurut Sarah begitu konyol. Sandi dan Safa punya hubungan khusus? Itu yang membuat Sarah tak percaya sama sekali. Seandainya Inggrid tidak menahannya di sana, dia sudah berdiri diantara teman-temannya sambil menatap Sandi yang sedang berlomba.

Sedangkan Inggrid menghela napas. Dia menatap Sarah yang masih saja memerhatikan area kolam, tempat di mana Sandi berada saat ini. "Lo nggak percaya? Ya udah, yang penting gue kasih tahu lo. Jangan salahin gue kalau kedepannya ada apa-apa," kataa Inggrid. Dia melirik ke arah Sarah lagi yang tak kunjung berbicara. Oh, dia melupakan sesuatu. "Gue lupa, waktu acara bazar Fisika, gue lihat dengan mata kepala gue sendiri kalau Sandi dan cewek yang namanya Safa itu pegangan tangan."

Deg

Jantung Sarah berdetak dua kali lipat. Kali ini, dia menatap Inggrid dengan tatapan serius. "Lo nggak lagi mengada-ngada 'kan?" tanya Sarah lirih. Jika benar, berarti apa yang dilihatnya waktu itu bukanlah kesalahan.

"Gue serius. Dua rius malah," jawab Inggrid.

Sarah tertawa lirih. Dalam benaknya kini, dia memikirkan Safa yang berbohong kepadanya. "Pengkhianat!" kata itu tiba-tiba meluncur dari bibirnya. Inggrid sendiri tampak kaget mendengar satu kata itu yang terdengar penuh dengan emosi.

"Sar, gue nggak bermaksud memprovokasi dalam hal ini. Gue cuma pengen ngebantu lo, supaya lo nggak terlalu jatuh cinta sama Sandi. Gue berfirasat kalau Sandi dan Safa itu udah kenal lama. Seperti yang udah gue cerita tadi 'kan kalau Sandi bilang dia udah saling jatuh cinta dengan Safa itu udah lama?"

Sarah mendengus. Dia mendapatkan dua kebohongan sekaligus dari Safa. "Gue baru tahu dia itu munafik!" Sarah menoleh untuk menatap Inggrid. "Dia bilang kalau dia baru kenal Sandi. Dia udah bohongin gue. Lo tahu sendiri 'kan kalau gue paling benci sama orang yang bohong?"

Inggrid menghela napas lagi. Dia tidak pernah melihat Sarah semarah ini. "Gue mencoba ngertiin Safa, Sar. Gue lihat-lihat dia itu cewek baik-baik. Mungkin dia punya alasan kenapa dia bohong sama lo."

"Lo nggak pernah denger orang yang punya temperamen diam-diam munafik? Dan gue rasa Safa cocok untuk tipe itu," kata Sarah dengan sadis. Inggrid yang mendengar itu malah menatap Sarah tak percaya.

"Lo jangan asal nge-judge orang. Baik atau buruk sifat orang itu cuma Tuhan yang tahu. Dan asal lo tahu juga, gue paling nggak suka denger orang yang asal nge-judge orang lain."

Sarah menatap Inggrid berang. "Jadi lo ngebelain cewek itu daripada sahabat lo sendiri?" tanya Sarah berang. Dia berdecak kesal saat tak sengaja malah melihat Sandi dan Safa yang duduk di kursi yang ada di pinggir kolam. "Gue balik ke villa." Sarah berdiri dan berjalan meninggalkan Inggrid yang masih dibayangi rasa bersalah.

Setelah Sarah meninggakannya, Inggrid masih terduduk di tempatnya. Dia memerhatikan Michael yang melambaikan tangan ke arahnya yang dibalasnya hanya dengan senyuman tipis.

μη

Safa mengeratkan pelukannya pada tubuhnya sendiri karena angin sore yang tertiup pelan. Dia masih memakai pakaian yang sama dengan tadi, pakaian yang basah karena permainan bom air. Dia belum berniat membersihkan diri ketika Inge memanggilnya. Bukan hanya karena itu, tetapi karena Sandi yang juga menahannya di tempatnya sekarang.

Dia memerhatikan air kolam renang sambil menghirup udara segar puncak yang tidak ia dapatkan di kota. Sesekali ia menunduk karena kenangan bersama Sandi terlintas begitu saja di memorinya.

"Sejak kapan lo minus, Sa?" tanya Sandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna putih yang ia pegang. Selama dia bertemu dengan Safa, dia belum menanyakan Safa perihal mata gadisnya itu yang sudah bermasalah.

"Sejak kelas sebelas," balas Safa pelan. Dia lalu menatap Sandi. "Lo di sini tinggal sama siapa? Lo sekeluarga pindah rumah juga?"

Sandi tersenyum simpul. Dia menatap Safa lekat hingga membuat gadis di depannya itu menunduk cepat. "Sama Nenek. Lain kali gue mau ngenalin lo sama Nenek cerewet gue."

Tawa Safa keluar. "Nenek cerewet?" tanyanya. Sandi hanya mengangguk menanggapi. "Nenek dari Nyokap atau Bokap lo?"

"Dari Bokap. Bokap gue emang orang Bandung. Kalau gue tinggal sama Nenek, gue selalu ngerasain kehadiran Bokap gue."

Safa menunduk. Dia teringat lagi tentang papanya yang entah di mana sekarang. Apakah masih hidup atau sudah... Safa menggeleng-geleng dengan cepat. Dia tidak menginginkan apa yang barusan terlintas di benaknya benar-benar terjadi.

"Lo kenapa, Sa?"

"Enggak, kok," jawab Safa. "Em, gue ke villa dulu, ya?"

"Oh, oke," jawab Sandi. Dia memerhatikan Safa yang berjalan menuju villa. Senyumnya mengembang sempurna. Alis Sandi hampir bertaut saat melihat Rio mendatanginya. Cowok itu duduk di tempat yang tadinya diduduki oleh Safa. "Mau apa lo?" tanya Sandi.

Sedangkan Rio, tersenyum tipis. Dia menoleh ke bekalang dan yang pertama kali dia lihat adalah Safa yang sedang menaiki tangga villa. "Kali ini gue pengen bicara serius."

Sandi menatap Rio dengan heran. "Tentang?"

"Safa."

Satu nama yang keluar dari mulut Rio membuat Sandi menatap Rio dengan pandangan tak bersahabat. Walaupun dia tidak begitu mengenal Rio, tetapi dia sudah tahu apa maksud orang yang ada di depannya itu.

"Terus maksud lo bicarain tentang Safa dengan gue apa?"

"Enggak kenapa-napa, sih. Cuma pengen bilang," Rio tertawa, "selama dia belum menjadi milik lo yang sah, ngapain gue nyerah gitu aja buat dapetin dia?" Kali ini dia menatap Sandi dengan senyum miring. "Cowok itu ngejar cewek karena kepengen jadiin cewek itu sebagai pendamping hidupnya, bukan cuma sekadar ngejalanin status doang." Rio berhenti sejenak. "Dan cewek yang gue kejar itu Safa. Ternyata, kita jatuh cinta terhadap cewek yang sama, ya? Mari bersaing secara sehat."

Sandi berusaha menahan emosinya. Sejauh dia mendengarkan Rio, dia selalu ingin menyela, tetapi laki-laki di depannya itu terus berbicara. "Selama itu nggak jadi beban buat Safa. Karena gue tahu apa yang nggak Safa suka dan apa yang dia suka."

Alis Rio terangkat sebelah. "Gue juga tahu Safa gimana orangnya. Dan..." Rio menggantungkan kalimatnya. "Dan ini bukan masalah dia itu tipe gue apa enggak, tapi ini masalah perasaan. Lo tahu sendiri perasaan itu nggak bisa bohong."

Sandi mendengus pelan. Dia kemudian berdiri dan sebelum dia pergi dari sana, dia menatap Rio penuh peringatan. "Dia itu istimewa. Jangan sekali-kali lo ngehancurin hatinya walau sedikit. Karena kalau itu terjadi," Sandi berhenti sejenak. Dia menatap Rio lurus-lurus. "Lo berurusan sama gue."

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro