BAB 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

__

Safa menghela napas panjang. Dia tersenyum kecil sambil mendongak. Matanya terpejam selama beberapa detik, setelah itu dia menolah ke kanannya untuk menatap Sandi yang tengah berbaring di atas rumput. "Lo nggak tidur, 'kan, San?"

Sandi tersenyum. Masih dalam pejaman mata. "Enggak, kok. Tenang aja," jawabnya. Detik kemudian dia bangun dari tidurnya dan duduk bersila. Sama seperti Safa yang saat ini duduk bersila di sampingnya.

Ingatan saat Sandi menenangkannya membuatnya mengembangkan senyuman. Seandainya dia tidak tahu batas, dia masih ingin berlama-lama dalam pelukan itu. Tapi, sayang, dia harus menjauh. Dia tidak ingin terus-terusan berada dalam dekapan Sandi di tempat sepi seperti itu.

"Kalau misalkan suatu saat lo dihadapkan sama dua pilihan, gue atau dia. Lo milih siapa?"

Safa mengerutkan keningnya setelah mendengar pertanyaan Sandi. "Dia siapa?"

Sandi mendengus. Tiba-tiba wajah Rio muncul di benaknya. Itu cukup membuatnya kesal sendiri. "Rio," jawabnya.

Mendengar nama itu membuat Safa terdiam sejenak. Dia menghela napas panjang. "Nggak usah bahas ginian deh, San."

Harusnya Sandi tahu jawaban itu. Dia pun berdiri. Sebelumnya, dia menarik tangan Safa hingga Safa berdiri, lalu menggenggam tangan itu. Safa mengerjap bingung. Pasalnya, tiba-tiba saja Sandi tidak berkata apa-apa, lalu dia menarik Safa hingga berdiri. Mereka berjalan menuruni puncak kebun the dalam diam. Sandi seolah tidak ingin melepaskan genggamannya itu.

"San?" panggil Safa. Sandi sama sekali tidak menoleh dan tidak menjawab pertanyaanya. Safa menghela napas panjang. "San, lepasin, please! Entar ada yang lihat gimana?"

"Nggak usah mikirin orang lain, Sa. Mikirin Sarah lagi?" tanya Sandi tanpa menoleh ke belakangnya untuk sekadar menatap Safa.

Safa menggigit bibir. Dia mempercepat langkahnya untuk berjalan tepat di samping Sandi.

"Sebenarnya gue masih pengen berdua sama lo."

"Hah?" Safa mengerjap. "Lo bilang apa tadi?"

Sandi terkekeh. "Enggak. Enggak, kok. Nggak usah di pikirin."

Safa cemberut. Dia melirik ke arah tangan Sandi yang menggenggamnya, lalu beralih menatap pekarangan villa yang sudah makin dekat. "San?"

"Hem..." Sandi hanya bergumam pelan.

"Tangan...," balas Safa. Dia menatap Sandi yang tak kunjung melepaskan tangannya.

Safa menghela napas. Genggaman itu sangat erat, sampai-sampai dia tidak bisa melepaskan tangannya sendiri.

Sandi pikir, mungkin gadis lain akan memeluk lengannya erat. Sedangkan Safa tidak berani seperti itu. Sifat Safa yang seperti itu yang membuatnya senang.

Mereka berdua tidak lama lagi tiba di halaman villa. Dari posisi mereka sekarang, mereka mendengar suara gelak tawa. Safa meneguk ludah melihat sekumpulan orang-orang yang ada di halaman itu, sedangkan Sandi masih tetap menggenggam tangannya.

"San?"

Sandi seolah-olah tak mendengar. Dia menulikan telinganya. Seulas senyum tercetak di bibirnya. "Seandainya lo nggak marah, gue cuma pengen nunjukin ke mereka." Dagu Sandi tertunjuk ke arah orang-orang. "Kalau kita itu deket."

Tepat saat Sandi menyelesaikan kalimatnya, Safa menunduk. Tak ada yang melihat mereka sama sekali. Orang-orang itu sibuk menonton film komedi yang terpampang di layar proyektor.

"Mau gabung?" Alis Sandi terangkat sebelah. Pelan, dia melepaskan genggaman tangannya karena merasa Safa sedang tidak nyaman. "Ayo, Sa!" Kali ini, Sandi hanya memanggil Safa. Dia membiarkan Safa berjalan lebih dulu. Mereka tidak berdampingan lagi, Safa duduk di bagian perempuan, sedangkan Sandi duduk di bagian laki-laki.

Beberapa orang yang sadar dengan kedatangan dua orang itu melirik ke arah mereka berdua. Terutama menatap sweater yang dipakai Safa saat ini.

μη

Layar proyektor itu dimatikan. Film telah selesai dan Inge masih tertawa mengingat adegan-adegan lucu. Dia pun menoleh pada Safa yang tak juga berdiri, sedangkan yang lain sudah bergegas kembali ke villa. Hidung Inge berkerut mengingat cowok Fisika yang dia tahu bernama Sandi. "Tadi kok Sandi ngajakin lo pergi, sih? Emang kalian udah kenal lama?" tanya Inge. Sebelum Safa menjawab, dia kembali bersuara. Kali ini terdengar terkejut. "Lo kok pakai sweaternya Sandi, sih?"

Safa tergagap. Dia mencari-cari keberadaan Sandi, tetapi sepertinya cowok itu sudah masuk ke dalam villa. "Tadi..." Safa menggigit bibir. Dia bingung harus mengatakan apa.

Mata Inge menyipit. "Jangan bilang—"

"Apapun yang ada di pikiran lo sekarang, gue harap lo simpen dulu. Ceritanya panjang kalau gue jelasin. Mending kita tidur." Safa menarik lengan Inge hingga Inge berdiri.

"Kayaknya janji lo banyak deh, Sa," kata Inge saat mereka berdua menaiki anak tangga bersamaan.

Safa mengedikkan bahunya. "Ingetin gue aja soal itu," balas Safa. Dia baru saja ingin membuka pintu villa, tetapi orang lain membukanya lebih dulu dari dalam.

Safa nampak kaget. Dia menatap Sarah yang sedang menatapnya. Tatapan Sarah berpindah pada sweter yang ia kenal betul. Sarah mencibir pelan. Dia berniat berbalik, tetapi Safa segera mencekal tangannya.

"Ini nggak seperti yang lo pikirin, Sar," kata Safa cepat. Sarah mendengus pelan. Dia tidak membalas perkataan Safa, namun ia menyentakkan tangan Safa yang memegang lengannya.

Sedangkan Inge menatap keduanya dengan raut bingung. Sebisa mungkin dia menyambungkan benang merahnya, dan pemikiran bahwa penyebab semua ini adalah Sandi.

"Gue masuk duluan ya, Sa?"

Safa mengangguk. Pandagannya tidak berpindah dari Sarah.

Inge melangkah maju dan saat dia melewati Sarah, mereka berdua saling tatap selama dua detik.

Setelah kepergian Inge, Safa kembali menarik pergelangan tangan Sarah. Safa duduk di kursi, begitupun dengan Sarah. Beberapa saat mereka berdua diam, hingga Safa berkata lebih dulu. "Gue pengen jelasin—"

"Tentang hubungan lo dengan Sandi?" potong Sarah.

Safa membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Dia tersenyum tipis. "Iya, gue pengen jelasin yang sebenarnya," jawab Safa. Dia berusaha menahan sesak di dadanya. Dia tidak ingin melihat Sarah membencinya. Dan pilihan yang akan dia ambil justru akan menyakiti Sandi.

Ah, lebih tepatnya, dia menyakiti hati Sandi dan hatinya sendiri.

"Maaf waktu itu gue bohong." Safa berusaha keras agar tidak terlihat gugup. "Sandi emang temen lama gue, gue pernah satu sekolah dengan dia di Jakarta sebelum gue pindah ke Bandung. Temen kelas gue yang namanya Dias itu keluarganya Sandi jadi kita lumayan deket." Safa tersenyum tipis. Dia lagi-lagi berusaha menahan sesak di dadanya. "Waktu gue ketemu sama dia di bazar, di situ katanya dia nggak terlalu kenal gue karena gue udah pake kacamata."

Sarah mulai menatap Safa. Ada setitik rasa percaya yang ia rasakan mengenai perkataan Safa. "Gimana caranya supaya gue bisa percaya sama lo?"

Safa mengerjap. Dia bingung harus menjawab apa. Lalu, Safa mencoba tersenyum. "Mungkin, lewat penjelasan," kata Safa lalu menoleh untuk menatap Sarah. "Sandi emang ngajakin gue keluar tadi. Kita cuma cerita-cerita tentang masa SMA. Gue juga banyak bertanya tentang keadaan Dias sekarang."

Sarah menatap Safa lekat-lekat. "Terus? Kenapa sweater Sandi ada di elo?"

Safa tertawa pelan. "Sandi itu orangnya jelas nggak tegaan. Apalagi sama cewek. Lo tahu pasti tahu tentang dia," kata Safa.

Sarah tersenyum tipis. Dia mulai berpikir positif. "Iya juga, sih."

Safa membuka swater Sandi. Dia memberikan sweater itu pada Sarah. "Nih. Balikin ke orangnya. Kalau lo ketemu sama dia, bilang aja gue nitip. Pasti lo pengen ketemu sama Sandi besok pagi 'kan?"

Sarah tersenyum senang. Dia mengambil sweater itu lalu memeluk Safa dengan girang. "Lo emang temen gue yang pengertian, Sa." Sarah lalu melepaskan pelukannya dan menatap langit malam. "Tuhan emang sengaja ya. Dulu kita ketemu, terus deket, ujung-ujungnya lo temen orang yang gue suka."

Safa tersenyum pedih.

"Tahan, Sa. Jangan nangis, please!" Dia berusaha menahan air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk mata.

"Ayo! Gue nggak sabar nunggu hari besok," kata Sarah sambil menarik tangan Safa. Dia sama sekali tidak melihat Safa saking senangnya. Tangannya memeluk sweater milik Sandi dengan bangga.

Sedangkan Safa bersyukur dalam hati. Entah sampai kapan dia berbohong, demi menjaga perasaan orang lain.

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro