BAB 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


__

"Eng.. Kak? Ruang B1 di mana, ya?" Gavin menatap seorang mahasiswi yang lewat di depannya. Cewek itu menunjuk ke arah depan, sedangkan Gavin menoleh ke belakang. "Thanks," katanya sambil mengangguk. Kemudian dia berbalik dan segera menuju ke tempat tujuannya.

Butuh lebih dari sepuluh langkah, Gavin berhenti pada tujuannya. Dia menatap sebuah papan bertuliskan B1 yang berada tepat di bagian atas pintu. Terdengar samar-samar suara yang membuat Gavin mengernyit. Pintu itu tertutup rapat. Cowok itu bingung apakah ia harus membuka pintu itu langsung atau mengetuknya dulu. Takutnya, di dalam ruang itu ada jadwal kuliah.

Gavin membuka pintu itu pelan. Saat itu juga, dia mendengar suara percakapan seseorang dengan lawan bicaranya yang terdengar lewat ponsel. Gavin berdiri di ambang pintu. Sedangkan cewek yang dipandanginya sekarang masih tak sadar bahwa ada orang lain selain dirinya di ruangan itu.

"Sarah nggak peka. Ish. Dia ngejadiin lo tempat curhat, sedangkan lo harus denger curhatannya tentang cowok yang lo suka juga. Itu bikin nyesek. Dan sekarang, mereka jadian? Oh.. My.. God.."

Gavin menatap Safa sambil tersenyum tipis. Kepalanya menggeleng-geleng sambil menunduk. Dia bisa tahu apa pembahasan Safa kali ini dengan orang yang sedang berteleponan dengannya.

Safa menyandarkan kepalanya di dinding. Dia menyeka air matanya yang masih terasa di pipinya. "Gue nggak tahu harus ngelakuin apa lagi. Thanks ya udah mau dengerin curhatan gue."

"Dengan senang hati, Sa. Lo sahabat gue yang udah lama nggak ketemu. Hehehe... lagian kok kisah cinta lo makin ribet sih sama doi? Semoga suatu saat kalian bersama, Sa."

Safa tersenyum tipis. Dia berdoa dalam hati, "Semoga."

"Oh iya, Sa. Katanya, bakalan ada Reuni Akbar SMA Angkasa. Gue belum dapat kapan waktu yang pastinya, tapi lo harus datang ya nanti? Kita ketemuan, ketemu sama Dias, Afni, dan pastinya bakalan ada Radit dan si kutu kupret lainnya. Gue bakalan jadi mak comblang lo, khusus untuk kalian yang mantanan."

Safa tertawa. Dia menegakkan tubuhnya lalu menatap ponselnya yang berada di atas meja, seolah yang ditatapnya saat ini adalah Nabila. "Nab, udah dulu ya? Gue lagi nungguin anak Jurusan lain buat ngambil LCD."

"GWS buat hatinya Safa.. Bye, beb."

Safa menghela napas. Setelah sambungan itu terputus, dia menyimpan ponselnya ke dalam tas.

"Nungguin gue?"

Safa mematung.

Gavin bersandar di pintu sambil melipat kedua tangannya di dada. "Lagi sakit hati?" tanya Gavin sambil menaikkan kedua alisnya.

Mata Safa mengerjap. "Lo? Kenapa lo bisa ada di sini?" tanya Safa tanpa memedulikan pertanyaan Gavin tadi.

Gavin tertawa tipis. Lalu dia melangkah menuju Safa. Dia duduk di kursi yang ada di samping cewek itu. "Mau ngambil LCD."

"Jadi," Safa menggantungkan kalimatnya. "Lo yang dimaksud sama Bu Nur?"

Mendengar itu, Gavin mengangguk. "Sorry, gue denger obrolan lo dengan temen lo tadi."

Safa mengerjap lagi. Dia menatap Gavin, horor. "Lo denger semuanya?" tanyanya takut-takut.

"Kayaknya nggak semuanya. Tapi, gue udah tahu lo patah hati. Ya nggak?"

"Kenapa lo mesti denger?" tanya Safa pelan. Tetapi, Gavin masih bisa mendengarnya. Safa menghela napas. "Tadi katanya lo pengen ngambil LCD?"

"Ya udah. Gue balik," kata Gavin. Dia pun berdiri dari duduknya dan melangkah menuju meja dosen untuk mengambil LCD itu. Sebelum dia keluar dari sana, dia menatap Safa sambil tersenyum. "Semoga kita ketemu lagi. Gue... tertarik sama lo."

Dan Safa hanya bisa terdiam membisu.

μη

"Kita bisa kapan-kapan kerja tugas bareng," kata Sarah saat Sandi sudah memberhentikan mobilnya di depan rumah Safa beberapa detik yang lalu. "Lo mau 'kan?" tanya Sarah. Terkadang, Sarah bingung kenapa Sandi hanya selalu menjawab seadanya.

"Mau," jawab Sandi. Dia menoleh ke samping Sarah dan melihat cewek itu ingin membuka pintu mobil, tetapi dengan cepat Sandi menahan lengan cewek itu. "Kalau misalkan kerja tugasnya di rumah, di rumah lo aja gimana?"

Sarah mengangguk cepat. Dia kemudian keluar dari mobil itu dan berniat menunggu sampai Sandi melajukan kembali mobilnya.

Sarah tersenyum tipis. Tangannya melambai pada mobil Sandi yang sudah menjauh dari sana. Cewek itu berbalik dan menatap rumah Safa. Baru kali ini dia berkunjung ke rumah Safa.

Sarah masih ingat, selama lebih dari dua jam, dia dan Sandi menghabiskan waktu bersama di hari pertama mereka berstatus pacaran.

Sarah mengetuk pintu beberapa kali. Dan saat pintu rumah itu terbuka, Sarah berhadapan dengan seorang cowok dengan rambut acak-acakannya juga matanya yang masih terpejam. Safa tak pernah cerita bahwa dia punya kakak laki-laki.

"Nyariin siapa?" tanya Ilham yang membuat Sarah terbangun dari lamunan.

"Safa, Kak," balas Sarah.

"Ada di kamarnya, masuk aja," kata Ilham sambil mundur. Dia membiarkan Sarah melewatinya. "Kalau lo udah lewat tangga, lo terus aja, terus belok kanan. Pintu pertama itu kamar Safa."

Sarah mengangguk mengerti. Dia terus berjalan menuju kamar Safa, sesekali dia menengok ke lantai bawah hanya untuk memerhatikan Ilham. Sarah langsung masuk ke dalam kamar Safa, tanpa mengetuk pintu yang terbuka itu. "Sa?" panggilnya saat melihat Safa sedang duduk bersandar di kepala ranjang sambil bersila.

Safa menatap Sarah bingung. "Lo tahu rumah gue dari mana?"

Sarah terkekeh. Dia duduk di tepi ranjang Safa. "Sandi," jawabnya santai. Tanpa sadar membuat mimik wajah Safa berubah. "Lo lagi ngerjain laporan praktikum, ya, Sa?"

Safa tersenyum canggung. "Iya. Lo lihat sendiri. Ngomong-ngomong, lo ada perlu apa ke sini?"

"Boleh curhat nggak?"

Safa mengangguk kaku. "Bo..leh."

Sarah duduk bersila di depan Safa dan menatap temannya itu dengan antusias. "Jadi, tadi itu Sandi ngajakin gue jalan."

Belum sempat Sarah melanjutkan, Safa langsung memotong perkataannya. "Jalan?" Safa menaikkan kedua alisnya, seolah tak percaya dengan apa yang barusan Sarah katakan.

"Iya, jalan. Bareng. Jadi, tadi itu gue sama Sandi ke kios, ketemu sama Bude di sana. Orangnya ramah lo. Terus gue yang ngajakin Sandi makan kerak telor. Habis itu gue cerita-cerita sama dia. Sayangnya, Sandi nggak banyak omong. Emang dia orangnya gitu, ya?"

Safa terdiam. Dia hanya mengangguk sekali dan memilih untuk menatap laporan sementara praktikum biologi minggu ini.

Sarah menatap Safa dengans serius. "Sa, lo kenapa nggak pernah cerita masalah orang yang lo suka? Gue jadi penasaran deh."

Safa tersenyum lirih, tetapi Sarah tak sadar itu. "Gue... emang lagi nggak suka sama siapa-siapa sekarang."

"Oh... gitu, ya?" Sarah mengangguk mengerti. "Sorry, Sa. Gue ganggu. Gue datang ke sini cuma curhat doang. Sekalian lihat rumah lo," kata Sarah lalu terkekeh pelan. "Ya udah. Gue mau pulang dulu."

Safa menaruh kertas yang dipegangnya barusan ke atas kasur. Dia ikut turun dari ranjang. "Nggak minum dulu, Sar?"

Sarah menggeleng-geleng. Dia segera menuruni tangga. "Nggak usah anterin," kata Sarah cepat saat melihat Sarah mulai ingin melangkah. "Daah, Safa..."

Safa hanya mengembangkan senyum. Dia terus memerhatikan Sarah hingga cewek itu keluar dari rumah.

"Temen lo?" teriak Ilham dari lantai bawah. Safa yang mendengar kakaknya itu hanya mengangguk menanggapi. "Cantik," lanjut Ilham yang membuat Safa mencibir.

"Terus, Nabila dikemanain, Kak?" tanya Safa kesal. "Dari dulu dia kirim salam mulu ke lo."

Ilham mengambil remote dan menyalakan televisi. "Gue 'kan Cuma bilan cewek itu cantik, bukannya gue bilang gue suka sama dia. Nggak ada hubungannya sama temen lo yang namanya Nabila itu."

"Kakak sadis," kata Safa. Dia menunggu kakaknya itu menanggapinya, tetapi ternyata Safa tidak dihiraukan.

Safa menghela napas dan kembali memasuki kamarnya. Dia mengambil buku catatannya yang berada di bawah bantal, kemudian menuliskan kata demi kata di sana.

Catatanku hari ini: Semuanya terasa rumit. Aku mencintainya, sahabatku mencintainya. Katakan bahwa kami mencintai lelaki yang sama. Sekali lagi, itu menyakitkan.

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro