BAB 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


__

"Udah, jangan dikucek."

Sarah menurunkan tangannya. Dia berhenti dari aktivitas sebelumnya, mengucek matanya yang terasa gatal. "Tapi gatal, San."

Sandi berhenti menulis, ditatapnya Sarah yang mengeluh dan tangan Sarah yang kembali siap untuk mengucek matanya sendiri. "Lo terlalu sering lihat layar hape?"

Sarah mengangguk. Tangannya kembali turun dan ia sandarkan di atas meja. "Mata gue juga perih, kayaknya udah minus deh. Kalau gue duduk di belakang, tulisan di papan tulis udah nggak jelas banget kayak dulu."

Safa. Sandi teringat Safa. Dan cowok itu begitu merindukan masa-masa di mana Safa mengajarkannya tentang materi biologi. Waktu itu. Sekarang beda, bukan Safa yang ada di depannya. Tetapi gadis lain. "Gue temenin lo besok ke optik, mau?"

Sarah tersenyum tipis. "Nggak usah. Mungkin, lain kali aja. Bareng... Inggrid." Dua kata terakhir yang Sarah ucapkan begitu pelan. Walau begitu, Sandi tak mempermasalahkan. "Lo ngerti ini nggak? Gue nggak ngerti," kata Sarah sambil menunjukkan nomor soal terakhir yang ada di bukunya.

Mereka berdua saat berada di rumah orangtua Sarah, di ruang keluarga lebih tepatnya. Beberapa saat lalu, Sandi benar-benar datang. Padahal Sarah sengaja tidak membalas pesan Sandi tadi siang. Dia tidak ingin bertemu dengan Sandi dalam waktu dekat ini, tetapi nyatanya apa yang terjadi malah di luar keinginannya. Padahal dia ingin mencoba menenangkan diri, mencoba menjauh untuk memastikan perasaannya apakah ia benar-benar mencintai Sandi, dan dia mencoba untuk memikirkan bagaiman cara dia bisa menyelesaikan semua ini.

Sejujurnya, dia tidak bisa merelakan semua ini. Bukankah semua bercerita tentang perjuangan? Ah, tidak semua. Tak semua tentang perjuangan, tetapi juga tentang pengorbanan.

Berikutnya, Sandi mengajarkan Sarah tentang apa yang gadis itu tidak ia mengerti sampai Sarah benar-benar mengerti. Keduanya tidak sadar, ada Papa Sarah yang sejak tadi memerhatikan.

"Temen kamu, Sarah?"

Sarah terdiam. Dia menoleh ke belakang, ke arah papanya yang baru saja duduk di sofa. Baru saja Sarah ingin menjawab, tetapi dia menutup bibirnya kembali yang sebelumnya sudah terbuka. "Iya..., Pa." Sarah kesal karena harus menyebutnya Papa.

Sandi mengira-ngira dalam hati, mungkin Sarah mengatakan itu karena belum siap memperkenalkannya sebagai pacar. Dilihatnya Papa Sarah yang menatapnya, "Hai, Om." Sandi melambaikan tangan sambil tersenyum tipis.

Sebenarnya, Papa sejak tadi memerhatikan Sandi. Dia seperti mengenal laki-laki itu. Terlebih ketika Papa memilih untuk lebih mendekat, dengan duduk di sofa. Sandi dan Sarah memang duduk di atas karpet dan mereka dipisahkan oleh sebuah meja panjang yang memang ada di antara dua sofa yang ada di ruangan itu.

"Kamu bukannya Sandi, ya?"

Pertanyaan dari Papa membuat Sandi maupun Sarah terdiam. Dari mana Papa tahu? Itu adalah pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak Sarah.

Sedangkan Sandi menatap Papa, sedikit mengerutkan kening. "Iya, Om. Memangnya, Om tahu saya? Apa kita pernah ketemu sebelumnya?" tanya Sandi. Dia benar-benar bingung dengan apa yang Papa maksud itu.

Papa berdehem sebentar, dia menatap Sarah yang sedang membelakanginya. Mungkin ini waktu yang tepat agar Sarah makin bingung mengenai pembahasan kali ini, sehingga sepulangnya Sandi nanti, Sarah akan menghampirinya dan mempertanyakan semua ini. "Kamu kenal Safa, 'kan?"

Pertanyaan Papa membuat kebingungan Sandi bertambah. Dia menatap Papa Sarah. "Iya, Om," jawab Sandi. "Memangnya kenapa?" tanyanya. Dia tidak sibuk lagi dengan aktivitasnya barusan dan memilih untuk memerhatikan Papa Sarah. Sekilas dia menatap Sarah yang hanya diam.

"Oh, tidak. Lanjutkan belajarnya. Sudah jam sepuluh." Papa menatap ke arah jam dinding.

Sandi mengangguk. "Gimana, yang tadi udah paham?" tanya Sandi pada Sarah. Setelah Sarah hanya menangguk, sebagai jawaban dari pertanyaannya barusan, Sandi membereskan barang-barangnya. "Ya udah kalau gitu, gue pamit, Sar." Sandi berdiri. Baru saja cowok itu ingin berpamitan, Sarah  menariknya keluar dari rumah itu. Tidak terkesan menarik paksa, malah santai.

Mata Sandi menyipit. Dia menatap Sarah yang sudah membawanya hingga ke teras rumah. "Maksud lo bawa gue ke sini?"

"Bukannya lo mau pulang?"

"Iya. Tapi, gue belum sempat pamit ke Bokap lo."

"Nanti gue kasih tahu Papa," balas Sarah cepat. Sarah yang tadinya menatap ke bawah, kini berupaya untuk memandang Sandi. "Ada yang pengen gue omongin."

Sandi menghela napas. "Apa?"

"Gue..." Helaan napas terdengar dari Sarah. Kemudian dia menggeleng pelan. "Nggak jadi. Nggak sekarang. Mending lo balik sekarang."

Sandi menatap ke dalam rumah, ingin melihat tanda-tanda keberadaan Papa Sarah. Tetapi, dia tak melihatnya sama sekali. Sejujurnya, dia ingin bertanya kenapa Papa Sarah bisa tahu namanya, terlebih lagi membawa-bawa nama Safa. Itu membingungkan.

Lalu, terbersit pemikiran yang membuat dahi Sandi berkerut. Apa mungkin?

"San?"

"Oh, oke." Sandi kembali menatap Sarah. "Ya udah, gue pulang."

Sarah hanya menatap kepergian Sandi setelah itu. Dia menghela napas panjang. Setelah Sandi meninggalkan pelataran rumah, Sarah kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.

Satu yang ingin dia datangi. Laki-laki yang disebutnya Papa.

Papa masih duduk di sofa tadi. Terlihat dia sedang merenung. Sarah tak bisa tenang sekarang. Dia berjalan mendatangi papanya dan setelah dia berada di depan Papa, dia berhenti di sana. Memandang lelaki paruh baya itu lekat.

"Maksud Om ngomong kayak tadi itu apa?" tanya Sarah, menggebu. "Kenapa Papa bawa-bawa nama Safa? Apa ini ada hubungannya dengan masa lalu Om?"

Tak ada jawaban. Hanya helaan napas yang terdengar. Sarah menatap Papa lekat. "Apa Safa itu anak Om?" Sarah ingin menangis sekarang. Selama dia berteman dengan Safa, Safa tak pernah bercerita apa-apa tentang keluarga. Bahkan tentang perasaan kepada lawan jenis. Dan Sarah berpikiran, bahwa Safa memang ada hubungannya dengan Bayu, Papa tirinya.

"Kenapa Om nggak mau jawab?" tanya Sarah. Dia masih berdiri, sedangkan Papa masih duduk di sofa.

"Kamu duduk dulu, bicarakan baik-baik. Papa juga mau menjelaskan ini. Banyak yang mau Papa jelaskan." Papa menatap Sarah yang tak kunjung beranjak dari tempatnya. "Duduk." Ditepuknya sofa sambil menatap Sarah. "Kamu capek berdiri."

Sarah berdecak. Dia mau tak mau mengikuti keinginan Papa. Hening beberapa saat hingga Papa yang berbicara lebih dulu. "Apa yang buat kamu benci sama Papa?" Papa terus menyebut dirinya 'Papa', berharap anak perempuan di sampingnya ini merubah sapaannya.

Sarah diam. Dia sangat tidak suka mempunyai Papa tiri setelah papa kandungnya meninggal. Ini adalah salah satu hal yang membuatnya membenci.

"Iya, Safa anak Papa. Dan kamu anak Papa juga."

Sarah terdiam kaku.

"Mungkin ini waktunya untuk kamu tahu," diliriknya Sarah yang masih terdiam di sampingnya, kemudian ia terus melanjutkan perkataannya, "Dengar baik-baik. Sintia adik kandungmu. Selama ini kamu salah paham karena gosip yang kamu dengar, semua itu tidak ada benarnya. Jangan menjauhi Sintia lagi." Papa menghela napas panjag. "Saya sahabat mamamu. Dia menyelamatkanmu dari perjodohan, Sarah. Mamamu tahu kamu itu nggak suka dipaksakan. Mamamu minta tolong ke saya supaya menikah dengannya. Dan berakhir seperti ini. Intinya, suatu saat saya akan kembali ke istri saya yang dulu, kembali ke mamanya Safa. Dan menjelaskan semuanya."

Papa kandungnya meninggal.

Kehamilan Mamanya.

Mama menikah lagi.

Kehadiran Sintia.

Sarah mengumpat dalam hati. Bodoh! Harusnya dia bisa mengambil kesimpulan yang bijak terhadap apa yang terjadi selama ini. Harusnya dia tidak mendengar setiap gosip murahan yang justru membuatnya menutup diri untuk mencari tahu sendiri kebenaran itu kepada Mama. Tetapi, jsutru dalam kurung waktu bertahun-tahun ini, dia terkurung oleh kebencian terhadap Papa tirinya.

Kemudian, Sarah mengingat perkataan terakhir Papa. Dia menoleh, menatap Papa dengan raut benci. "Segampang itu untuk kembali? Hanya orang bodoh yang bakalan nerima itu, Pa."

Papa tersenyum tipis mendengar sebutan terakhir itu. Ya, baru saja Sarah menyebutnya Papa. Entah itu spontan keluar begitu saja dari mulut Sarah, atau benar-benar sengaja. Tetapi, Sarah seolah tak melakukan kesalahan apa-apa dari apa yang diucapkannya.

Sarah menghela napas, setidaknya tak ada emosi yang meluap-luap seperti saat-saat sebelumnya, di mana dia berhadapan dengan Papa. "Kenapa Om bisa tahu Sandi?" Mata Sarah menyipit, sakit hatinya berangsur berkurang.

Sedangkan Papa sadar, sebutan 'Pa' yang tadi Sarah suarakan hanyalah ketidaksengajaan.

Papa mengambil ponselnya yang berada di atas meja, kemudian dia membuka galeri dan mencari sebuah foto yang akan menjelaskan semuanya. Dia menghadapkan layar ponselnya ke hadapan Sarah. "Kamu lihat, mereka kelihatan akrab. Ini diambil tiga tahun lalu."

Mata Sarah memanas. Dua orang yang sedang berhadap-hadapan dengan perantara meja, persis seperti posisi Sarah dan Sandi saat belajar tadi. Terlebih lagi, kejadian di foto itu juga sama dengan apa yang dilakukannya dengan Sandi tadi. Sama-sama belajar. Tetapi yang membedakan adalah gadis yang ada di foto itu. Sarah kenal itu, dia Safa.

"Sandi dan Safa, mereka dulu pacaran. Sekarang yang Papa tahu, kamu dan Sandi yang pacaran. Kamu berteman dengan Safa. Kamu adalah saudara tiri Safa." Perkataan Papa membuat jantung Sarah berdegup kencang, buliran air mata yang mengenang di pelupuk matanya siap tumpah. Papa iba. Dia menatap Sarah lagi. "Dunia memang terlalu sempit untuk dipikirkan berbagai kebetulannya, tapi kamu harus tahu satu hal, nggak ada kebetulan di dunia ini. Yang ada hanya takdir." Papa menghela napas lagi. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

Sarah tidak ingin bicara. Cukup dia yang tahu apa yang ada di dalam pikirannya sekarang ini. Dia merasa begitu bersalah terhadap Safa. Kenyataan demi kenyataan yang hanya terkuak dalam beberapa menit Papa bercerita, membuatnya dilema begitu dalam.

Ada banyak di pikirannya saat ini. Bukan hanya tentang pertemanannya dengan Safa saja, tetapi juga tentang hubungannya dengan Sandi.

"Papa nggak berniat untuk ngerusak hubungan kamu dengan Sandi. Papa nggak ikut campur." Papa menepuk puncak kepala Sarah. "Ini urusan kalian bertiga. Kamu, Sandi, dan Safa. Kamu lebih baik kembali ke kamarmu, tidur. Ini sudah hampir larut."

Bayu—Papa Safa— berdiri. Saat dia menjauh dari Sarah dan berhenti di anak tangga teratas untuk melihat Sarah, anak perempuannya itu masih duduk di sofa. Dia yakin, Sarah sedang menangis.

Mengenai foto yang ia tunjukkan tadi, Bayu mendapatkannya dari Bibi, yang dulu bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahnya. Sejauh ini, dia terus mencari tahu kondisi anak-anaknyan bagaimana, apa yang mereka lakukukan, walau mereka belum pernah bertemu secara langsung selama beberapa tahun mereka berpisah, tetapi Bayu selalu mencari tahu keberadaan mereka.

Selain Bibi, Bayu juga mencari tahu kondisi keluarganya lewat Ana, salah satu pekerja di toko bunga istrinya yang tak sengaja bertemu dengannya tak jauh dari toko bunga itu. Untungnya, Ana mau diajak bekerjasama yang tentunya ia bayar dengan uang dan beruntung juga Ana mau menerima penjelasannya waktu itu setelah sebelumnya mengira bahwa Bayu adalah orang yang jahat.

Bayu membuka pintu kamar. Ada Mia yang sedang duduk di sofa, dengan raut cemasnya. Bayu mendekat dan duduk di samping istrinya itu.

"Gimana? Sarah mau dengerin kamu?" tanya Mia.

Bayu mengangguk. "Iya. Tapi, ada urusan lain yang Sarah akan selesaikan."

"Apa?"

"Hubungan remaja," jawab Bayu sambil tertawa. "Itu hal lumrah untuk mereka, kita nggak usah ikut campur. Mereka sudah menuju dewasa muda."

Mia mengangguk paham. Dia mengambil remote TV dan menyalakannya. Mencoba mencari siaran-siaran berita, namun dia begitu malas hingga akhirnya dia mematikan televisi itu lagi. "Mas?"

"Hem?"

"Setelah semuanya beres, kamu benar-benar akan kembali ke istrimu?" Pertanyaan Mia pelan, namun Bayu menangkapnya dengan jelas.

"Ya." Hanya kata itu. Terdengar tegas. Mia menghela napas. Dia bersandar di sofa. Sebuah rasa yang terasa di hatinya kembali menyeruak.

Mia memejamkan mata. Waktu empat tahun bersama, tinggal serumah, jelas menimbulkan sebuah rasa yang dulunya tak ada, kini ada. Dan rasa itu semakin hari semakin besar. Mungkin ini yang dikatakan, kedekatan adalah salah satu penyebab timbulnya rasa cinta itu.

Dan dia merasakannya.

Mereka memang bukan remaja lagi, tetapi dia baru sadar bahwa kebersamaannya selama ini membuahkan sebuah hasil yang tak diinginkannya.

Perasaan itu malah memperburuk keadaan.

μη

Sejak tadi Sarah terdiam. Tak bersuara sedikit pun semenjak kedatangan Sandi di atas gedung. Sarah menikmati untuk sesaat angin sore yang menerpa kulitnya. Selain itu, dia ingin mengumpulkan semua keberaniannya untuk membuat sebuah keputusan yang mungkin... akan menyakiti hatinya.

Saatnya Sarah berkorban. Dia ingin mempertahankan perasaannya, ingin mempertahankan Sandi, tetapi untuk apa mempertahankan laki-laki itu kalau nyatanya dia mencintai perempuan lain?

"Lo kelihatannya lagi mikirin sesuatu."

Sarah meringis pelan. "Ya," jawabnya singkat. Dia merasakan Sandi ikut ke tepi gedung, sebelumnya cowok itu berada di belakang Sarah, memerhatikan Sarah yang hanya diam tak bersuara.

Semalam, Sandi berencana ingin membicarakan secara baik-baik hubungan mereka, tetapi tidak terlaksana karena dia lebih cepat pulang. Sarah juga menyuruhnya untuk segera pulang. Terlebih lagi ketika Sarah ingin mengatakan sesuatu, Sandi berpikir Sarah ingin melanjutkan perkataannya semalam yang tertunda.

"Gue mau lo jawab jujur." Sarah menatap Sandi lekat. "Lo pernah pacaran 'kan sama Safa?"

Sesaat Sandi terkejut, tetapi dia menetralisir keadaan. Air mukanya berubah cepat. Dia menghela napas. "Sekarang gue jujur, ya. Gue emang pernah pacaran sama Safa. Gue—"

"Lo masih sayang sama dia, 'kan?" tanya Sarah, memotong perkataan Sandi.

Mungkin, ini saatnya untuk mengungkapkan semuanya. "Sorry, Sarah. Ya, gue memang masih sayang sama dia. Sekarang dan...selamanya."

Sarah tersenyum lirih. Pandangannya beralih menatap ke lain arah. "Harusnya lo nggak nerima gue waktu itu. Kenapa lo nerima gue kalau kenyataannya lo masih cinta sama dia?" Sarah menatap Sandi lagi. "Asal lo tahu, gue mending ditolak dari awal daripada lo nerima gue seolah-olah lo memberi harapan lebih ke gue, itu lebih sakit, San."

"Apapun yang pengen lo ungkapkan, gue terima. Gue emang salah selama ini."

"Kita putus!"

"Harusnya memang begitu."

Kata-kata itu terngiang di benak Sarah. Dia menunduk dalam. "Ya, harusnya memang begitu. Di awal memang salah, gue salah."

"Jangan salahin diri lo, Sar. Gue salah."

"Gue yang salah."

"Ya udah, kita berdua salah," kata Sandi yang membuat Sarah sedikit menyunggingkan senyum. "Sorry." Sandi menepuk puncak kepalanya. "Tapi, gue kira lo bakalan marah-marah."

Awalnya, Sarah memang ingin marah. Dia kesal terhadap dua orang itu yang membohonginya. Tetapi dia sadar, ada penyebab mengapa mereka berdua menyembunyikan semua ini, apalagi Safa.

"Enggak. Gue sadar kok."

Beberapa saat dari keterdiaman di antara keduanya, Sarah memilih untuk menjauh. "Gue pergi." Tanpa menunggu balasan dari Sandi, dia berbalik.

"Sarah? Lo beneran nggak apa-apa?"

Pertanyaan Sandi dijawab dengan gelengan olehnya. Dia terus berjalan, menuruni tangga demi tangga hingga dia berada di lantai bawah. Diambilnya ponsel yang ada di dalam tas, dia mengirimkan sebuah pesan kepada Safa.

Lo di mana? Lo bisa ke taman?

Beberapa saat, pesan balasan dari Safa muncul di layar.

Habis makan nih. Oke, gue ke sana sekarang.

Sarah memandang ke kanan kirinya, dia menghela napas sambil memperbaiki letak tas selempangnya. Kemudian dia melangkah menuju taman.

Pikirannya berkelana. Dia sama sekali tidak mengira akan dengan mudahnya berjalan seperti ini.

"Sarah, maaf gue lam—"

"Maafin gue," itu kalimat yang Sarah ucapkan setelah mendengar Safa berbicara. Padahal Safa belum juga menyelesaikan kalimatnya.

"Maaf kenapa?" Safa memandangi Sarah dengan bingung. Dia duduk di kursi taman sambil memangku tas ranselnya.

Dan tiba-tiba saja, Sarah memeluknya. Membuat Safa membulatkan mata karena terkejut. "Maafin gue, semua salah gue selama ini."

"Lo nangis, Sar?" tanya Safa makin bingung saat mendengar suara isakan. "Sarah, lo kenapa nangis sih?"

"Maafin gue, please."

Safa tidak tahu harus melakukan apa selain membalas pelukannya. "Mungkin lo bisa cerita?"

Sarah menggeleng. "Gue cuma butuh pelukan dari seorang sahabat untuk saat ini."

Apa yang dikatakan Sarah membuat Safa tersadar, bahwa sejak dulu Sarah sudah menganggapnya sebagai seorang sahabat.

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro