BAB 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

__ 
 
Safa melihat mamanya baru saja memasuki rumah. Dia sendiri duduk di sofa ruang tamu hanya untuk membuka sepatu yang seharian ini membungkus kakinya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Safa baru saja tiba di rumahnya setelah seharian berkutat dengan embel-embel kuliah di kampus. Pandangannya tertuju pada Mama yang baru saja duduk di sofa yang ada di depannya. Dengan cepat, gadis itu berdiri menuju Mama lalu mencium punggung tangannya.

"Ilham mana?"

Safa mengangkat kedua bahunya. Tanda tidak tahu. "Mungkin masih di kampus. Aku tadi naik angkot ke sini." Safa memilih untuk duduk di samping Mama. Dia memijat bahu kiri mamanya itu dengan pelan. "Mba Lala sama Mba Ana cuti lagi? Kok Mama kecapean gini, sih?"

Mama menggeleng pelan. "Tadi habis atur tempat bunga-bunga. Bosan seperti kemarin terus."

"Oh, kenapa Mama nggak tunggu hari minggu aja? Aku dan Kak Ilham 'kan bisa bantu beres-beres."

"Kalau hari Sabtu sama Minggu itu banyak orderan."

Safa tertawa pelan. "Iya, juga sih." Pemikirannya tidak sampai pada apa yang dikatakan oleh Mama tadi. Semenjak mereka sekeluarga bermigrasi ke Bandung, Mama memilih resign dari tempat kerjanya di kantor yang ada di Jakarta. Di Bandung, dia memulai usaha bunga untuk menghidupi anak-anaknya dan memilih untuk tidak menjadi wanita kantoran lagi.

"Ma, Safa ke kamar dulu, ya? Penat nih. Mama juga pasti capek," kata Safa. Dia segera menuju kamarnya setelah menerima anggukan dari Mama.

Setibanya di kamar, dia menghempaskan tubuhnnya di atas kasur. Seketika plafon rumah berwarna putih yang pertama kali dia lihat. Dia menghela napas panjang. Seketika tangannya meraba tas dan mengambil benda persegi panjang di sana. Dia segera menelepon Nabila. Beberapa lama terdengar bunyi tut tut tut, barulah detik kelima orang yang diteleponnya menerima panggilannya.

"Kok kecepetan, Sa? Gue 'kan bilang entar malem." Suara cempreng itu langsung mencerocos begitu saja, membuat Safa mau tak mau tersenyum. Dia merindukan sahabatnya itu.

"Kangen nih. Nggak boleh, ya? Ya udah deh, bye."

"Jangan! Jangan! Iya, Safaku sayang. Habisnya gue baru bangun tidur sih, hehehe. Oke, gue udah bangun sekarang."

Safa tertawa. Dia segera duduk bersila di atas kasur. Dia mencoba untuk bertanya tentang Sandi, tetapi entah kenapa dia begitu sulit untuk memulai pembiacaraan tentang cowok itu.

"Eh, Sandi selalu nyariin lo waktu masih SMA, lho. Dia nanya-nanya mulu tentang lo ke gue. Hampir setiap hari dia ke kelas gue. Bisa bayangin nggak tuh? Tapi, sayang banget nih, gue nggak tahu pasti dia lanjut di mana sekarang. Denger-denger sih nggak di Jakarta. Ah, tahu deh."

Perasaan Safa menjadi lega setelah mendengar apa yang diucapkan Nabila barusan. Dia tersenyum tipis. "Terus, apa dia pernah deket dengan cewek lain di sekolah?"

"Tenang aja, Sa. Dia tetep setia sama lo, kok. Eh, tapi gimana caranya kalian sama-sama lagi kalau sampai sekarang belum ketemu?" Itu kenyataan mengecewakan. Tetapi, Safa tetap percaya bahwa Tuhan punya rahasia tentang pertemuannya dengan Sandi kelak, karena dia yakin semakin dia memikirkan cowok itu, maka kemungkinan untuk bertemu dengan cowok itu semakin besar. Walaupun apa yang ada di pikirannya itu tidak sepenuhnya benar.

"Pasti ketemu," jawab Safa yakin. "Kalau enggak ya emang gue dan dia nggak jodoh." Safa tersenyum lirih. Itu terlalu menyakitkan untuk ia katakan.

"Yakin lo nggak sakit hati? Lo masih sayang ya ternyata sama dia?"

"Banget, malah," jawab Safa dengan suara pelan. Dia kembali berbaring dan memejamkan matanya selama beberapa detik. "Tapi, apa dia masih sayang sama gue, ya?"

Nabila tertawa. "Kalau itu mah, udah pasti. Kecuali kalau ada cewek lain yang menarik perhatiannya. Itu lo mesti jaga-jaga."

Safa menggeleng sambil tertawa. "Gimana caranya gue jaga-jaga? Gue tahu di mana dia sekarang aja enggak."

"Iya sih," balas Nabila. "Lo belum bilang lo di mana. Gue baru sadar tadi pagi gue nanya kayak gini lo bilangnya di rumah, padahal maksud gue lo ada di belahan bumi mana."

Safa tertawa. "Iya, iya. Itu tadi pagi gue cepet-cepet, sampai nggak connect gitu. Gue di Bandung. Gara-gara Kak Ilham sih kalian nggak tahu gue pindahnya bakalan ke mana. Dia itu sok misterius tahu nggak?"

"Iya, misterius, sampai-sampai ngebuat orang-orang penasaran."

"Ya udah deh, gue mau mandi nih. Capek seharian di kampus. Bye, assalamu'alaikum."

"Daah... wa'alaikumussalam, Safaku sayang. Hati-hati di kota orang. Gue doain lo cepet ketemu sama Sandi. Gue yakin kok, Tuhan pasti udah rencanain pertemuan kalian. Jadi, nggak usah khawatir ya, Beb?"

"Sip! Ya udah, daah..." Safa segera mematikan sambungan. Dia menghempaskan ponselnya ke samping dan segera kembali duduk bersila. Perhatiannya tertuju pada kelender yang ada di atas nakas. Hari ini adalah hari Selasa, dan sehari lagi dia akan ke bazar Fisika.

Mendengar Fisika, selalu mengingatkannya pada sosok itu. Dia merindukan cowok itu, gombalannya, senyumnya, ah semua tentangnya ia rindukan.

Lalu, di mana dia sekarang? Apa dia masih berurusan dengan dunia Fisika? Atau malah cowok itu tidak ikut fokus dengan pelajaran yang ia fokuskan dulu saat SMA? Seperti apa yang dilakukan Safa.

Getaran dari ponsel tanda pesan masuk. Safa menengok ke kiri dan mendapati satu pesan masuk dari Sarah. Cepat-cepat, dia membuka pesan masuk itu.

Sa, doi ngajakin gue ke bazar bareng. Gue nggak nyangka banget, sumpah!Dia bakalan jemput gue, jadi ke bazar nanti lo musti bareng Rio. Oke?

Sudah Safa duga memang. Pesan Sarah tak akan jauh-jauh dari pembahasan orang yang disukainya. Sekarang Safa jadi bimbang, bagaimana caranya dia mengajak Rio? Sedangkan jauh dalam hatinya dia sudah bertekad untuk tidak dekat-dekat dengan cowok lain.

Dia takut jika saja dia dekat dengan cowok lain, maka dia akan berpaling dari orang yang saat ini dia cintai. Dia tidak bisa membayangkan hal itu.

Gue udah minta tolong ke Rio buat ngejemput lo. Jadi, malam Kamis nanti lo tinggal nunggu jemputan. Nanti kalau udah di bazar, lo SMS gue ya? Oke?

Pesan masuk dari Sarah lagi. Safa tidak habis pikir, padahal Sarah bisa saja membahas ini secara langsung di kampus nanti. Secara, mereka selalu memiliki waktu untuk bertemu di kafetaria kampus. Dengan gerakan cepat, jemari Safa bergerak di atas layar ponselnya.

Oke.

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro