Mencari Kerja

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alarm membangunkan Saga dari tidur panjang. Setelah kepergian Sastra kemarin sore, Saga sudah tak tahu harus mau melakukan apa. Akhirnya dia menulis beberapa lamaran dan CV, dia sudah bertekat untuk mencari pekerjaan.

Setelah mandi dan bersiap, Saga mematut diri di depan kaca lemari kecil itu. Memastikan dasinya sudah tepat. Perutnya berbunyi seiring ketukan pintu.

“Iya, Pak?” tanya Saga membuat Pak Kost melongo.

Sungguh aura Saga bukan aura buruh. Dia lebih tepat jika dikatakan pemilik salah satu dari pabrik yang ada di sana.

“Iya, Pak, ada apa?” Saga membuyarkan lamunan Pak Kost.

“Eh, anu, Mas. Saya mau minta fotokopi KTP untuk data penghuni kontrakan. Biasa untuk laporan ke RT,” kata Pak Kost.

“Oh, bentar, Pak,” kata Saga sambil mengambil fotokopi KTP dari amplop yang dia letakkan di meja. “Ini, Pak,” kata Saga mengulurkan kertas itu.

Mata Pak Kost lagi-lagi melongo melihat alamat yang tertera di sana. Itu adalah daerah elite di kota itu. Bagaimana bisa seseorang dari daerah elite terdampar di daerah kumuh seperti ini.

“Oke, Pak. Saya harus mencari kerja,” kata Saga mengunci pintu dan meninggalkan Pak Kost yang masih bengong di depan kamar.

Setelah kepergian Saga, Pak Kost mulai berpikir, bahwa Saga adalah anak seorang Miliarder yang diusir dari rumah.

Saga mencari warung yang dikatakan Pak Kost, perutnya lapar. Begitu mendapati warung yang dikatakan, Saga berhenti sejenak dan mematung.

Ya itu adalah definisi warung yang sebenarnya. Meja dan kursi ditata sedemikian rupa, menghadap tembok, dengan lauk pauk dan sayur yang diletakkan di etalase kaca.

Lapar yang menyiksa membuatnya masuk, “Bu, sarapan.”

“Mau makan apa, Mas?” tanya Ibu Warung sambil melihat Saga yang berdandan perlente. Kontras sekali dengan warungnya.

Saga bingung menatap etalase, dia tahu itu makanan, tapi apa yang harus dia makan?

“Sayur sop, sama itu saja, Bu,” kata Saga pada akhirnya.

Dengan cekatan Ibu Warung mengambil nasi dan menuangkan sop serta perkedel di piring, “Pakai sambel?”

“Pakai, Bu,” jawab Saga sambil menerima uluran piring itu.

“Minumnya apa?” Bu Warung mengambil gelas dan mengelapnya.

“Teh manis, Bu,” jawab Saga.

Dia kemudian duduk di kursi yang ada, dan mulai menyendok makanannya dengan pelan. Masih memantapkan hati untuk mengunyah makanan itu.

“Ini, ya, Mas,” kata Bu Warung meletakkan gelas berisi teh yang masih mengepulkan asap.

“Terima kasih,” kata Saga sambil memasukkan satu sendok penuh nasi, irisan perkedel dan irisan wortel ke mulutnya.

Saga terkejut karena rasa masakan itu tak seburuk yang dia kira. Lidahnya masih bisa menerima dan lambungnya tidak meronta. Saga semakin yakin dia bisa bertahan di sana.

Setelah menghabiskan nasinya, dan meminum tehnya, dia menuju Bu Warung yang sedang melayani pembeli lain. “Berapa, Bu?” tanyanya sambil mengeluarkan satu lembaran uang seratus ribuan dari dompetnya.

“Lima belas ribu, Mas. Uang kecil saja,” kata Bu Warung.

“Serius, Bu? Lima belas ribu?” Saga masih syok dengan harganya.

“Iya, Mas. Ini tidak ada kembaliannya,” keluh Bu Warung. Hari masih pagi, pelanggan belum banyak.

“Ya udah, gini aja, Bu. Itu buat bayar makan saya beberapa hari, nanti catat saja saya sudah makan berapa, kalau kurang saya tambahi nanti,” kata Saga setelah menimbang dan memikirkan solusi.

Bu Warung dan beberapa pelanggan melongo mendengar perkataan itu. Mau tak mau Bu Warung menerimanya. “Nama Mas siapa?” Bu Warung mengambil buku catatan bonnya. Namun, kali ini dia mencatat dia yang punya tanggungan kepada pelanggannya.

“Saga, Bu,” jawab Saga kemudian berlalu.

Beberapa amplop yang dia bawa sudah siap untuk disebar. Dia sudah mencari tahu bagaimana memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan, lewat internet.

Kantor pertama yang dia temui adalah kantor pengacara. Siapa tahu dia bisa menjadi admin atau apalah nanti di sana.

Dia disambut satpam di depan pintu, “Ada yang bisa saya bantu, Mas?”

“Saya mau melamar pekerjaan, Pak. Siapa tahu ada posisi yang lowong,” jawab Saga sambil menunjukkan amplop yang dia bawa.

“Masnya lulusan apa?” Pak Satpam memperhatikan setelan jas yang dipakai Saga. Tidak mencerminkan dia adalah seseorang yang butuh pekerjaan.

“SMA, Mas,” jawab Saga lirih.

Dia sedikit kesal karena ijazah yang dia bawa adalah ijazah SMA-nya. Karena papanya sudah mengunci lemari berkas dan hanya memberinya ijazah SMA.

Satpam kembali melihat Saga tak percaya. Tampilan Saga jauh dari seorang anak yang hanya lulusan SMA. Terlalu berwibawa dengan setelan yang terlihat mahal.

“Baiklah, Mas. Lamarannya saya terima nanti kalau ada posisi lowong, akan dikabari melalui telepon,” kata Pak Satpam.

Saga mengangguk dan pergi ke kantor lain. Ruko-ruko itu berjajar memanjang. Panas dan debu yang menjadi satu membuat Saga kegerahan. Dia salah memakai setelan jas lengkap hari ini.

LOWONGAN ADMIN

Tulisan yang membuat Saga mantap masuk ke dalam. Setidaknya dia punya pengalaman sebagai admin di kantor papanya.

Lagi-lagi satpam mencegatnya di depan pintu. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanyanya.

“Saya mau melamar posisi admin, Pak,” kata Saga.

Satpam itu melihat penampilan Saga, tidak percaya. Saga kemudian mengulurkan amplop cokelatnya.

“Baiklah, silakan tunggu dulu,” kata Satpam itu lalu membuka pintu dan menyuruh Saga duduk di kursi tunggu.

Dari yang ada di tulisan Front Office, kantor ini beraktivitas di bidang ekspor impor barang. Saga duduk sambil melonggarkan dasinya. Dia sadar dia salah kostum saat ini.

Orang yang datang bersama satpam tak percaya melihat penampilan Saga yang terlihat seperti pimpinan perusahaan dibanding pencari kerja dan melamar posisi admin.

“Saga Prawira?” tanya orang itu memastikan dia tak salah panggil. Dia melihat nama yang ada di amplop itu.

“Benar,” jawab Saga seraya berdiri. Dia merapikan jasnya.

“Mari ikut saya,” kata orang itu.

Saga mengikutinya ke ruangan yang ada di belakang front office itu. Setelah duduk berhadapan, dia mengeluarkan berkas Saga dan melihatnya.

“Anda tidak salah melamar ke sini?” tanyanya sambil membolak-balik berkas Saga.

Lulusan SMA termahal di kota, alamat di wilayah elite, dan dia melamar posisi admin. “Anda tidak sedang bercanda, bukan?” desaknya.

“Benar, Pak. Saya memang sedang mencari pekerjaan, berbekal dengan pengalaman saya magang di kantor beberapa bulan,” jawab Saga mantap.

Orang itu memperhatikan raut wajah Saga yang serius. Setelan jas yang terlihat sangat baik itu tidak berbanding lurus dengan posisi yang dia lamar.

“Baiklah, kamu saya terima, dengan masa percobaan tiga bulan. Jika lolos akan diangkat sebagai karyawan tetap. Besok datanglah jam delapan pagi, kita akan menandatangani surat kerja samanya,” kata orang itu.

“Benar saya diterima, Pak?” tanya Saga tak percaya.

“Benar,” jawab orang itu setengah ragu.

Tapi dia ingin tahu keseriusan Saga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro