🏩🏥 | Bagian Dua Puluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagian Dua Puluh Satu
~~~🏩🏥🏩~~~

Gibran memeluk tubuh Azkiya dari samping dengan erat. Azkiya juga balik membalas pelukan sang suami di atas tempat tidur dengan sama eratnya. Pria itu menghembuskan napas panjang sambil menurunkan kepalanya agar bisa memandang Azkiya.

“Dia udah datang?” Gibran bertanya dengan suara pelan dan datar. Sejak matahari belum terbit, hingga terbenam dan berganti dengan cahaya bulan, pria yang memakai piyama itu terus kepikiran tentang Revan.

Azkiya mengangkat kepalanya, salah satu alisnya terangkat. “Dia?” tanya wanita itu kembali, bingung dengan subjek yang Gibran maksudkan. “Revan?” tebak Azkiya ragu, tidak yakin kalau sahabat mereka itulah yang menjadi pembahasan mereka malam ini.

“Hmm.” Gibran melepaskan pelukan mereka, lalu mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk, berdasar pada sandaran tempat tidur. Kenapa ia menjadi sangat gelisah seperti sekarang, tanpa alasan yang jelas, hanya saja, ia takut, takut kalau sesuatu yang tidak terduga bisa terjadi. Iya, Gibran mengakui, kalau ia sedang merasa terancam.

Gibran ingat sekali, ketika mereka masih duduk di bangku SMA, waktu itu, ia berada di kelas 3 SMA, sedangkan Azkiya dan Revan berada di kelas 2, dan mereka selalu bersama-sama sejak kelas satu. Gibran sadar, sangat ingat, bahwa Revan Syaputra awalnya mendekati Azkiya karena menyimpan rasa pada istrinya itu. Bahkan, dengan terang-terangan pria itu mengajak Azkiya berpacaran, walaupun sedetik kemudian ia berkata bahwa itu hanyalah candaan—namun tidak untuk Gibran yang saat itu tahu dari tatapan Revan.

Mengangguk mantap, Azkiya berseru, “Iya, katanya besok mau main-main ke sini.”

“Kamu udah bilang soal kita nikah ke dia?”

“Iya, tadi malam.”  Azkiya mengernyit heran, bukan karena pertanyaan Gibran, sama sekali bukan karena itu, namun dari nada datar, tidak bersemangat sama sekali dan tatapan sendu yang mempresentasikan hasil yang kontras dengan tanggapan bahagia Azkiya. Wanita tahu ada yang tidak beres dengan Gibran.

“Gimana reaksinya?” Gibran dan sejuta rasa penasarannya yang membuat pria itu kadang aneh, haruskah bertanya sampai ke reaksi sahabat sendiri tentang pernikahan mereka? Seharusnya Revan senang kan? Pikir Azkiya.

Menggeleng pelan, Azkiya memilih duduk seperti Gibran, di samping sang suami. “Nggak tau, tanya aja sama orangnya,” sahut wanita itu, sambil membenarkan ikatan pada rambutnya.

Tidak mendapatkan respon dari Gibran yang tadinya banyak bertanya, Azkiya merengut kesal. “Kamu kenapa, sih? Kok, dari pagi murung terus?”

Tentu saja Azkiya dengan jelas bisa merasakan perubahan suasana hati Gibran dengan mudah, mereka sudah saling mengenal sejak lama, belasan tahun, itu waktu yang cukup lama untuk belajar tentang satu sama lain, walau belakangan ini, ada beberapa tingkahnya yang membuat Azkiya gigit jari sambil menautkan alis heran.

“Nggak papa, cuma lelah saja,” bohong Gibran,  pria itu juga tidak berani menatap balik mata Azkiya.

Azkiya mengangguk paham, ia tahu bahwasanya suaminya itu sedang menutupi sesuatu darinya, dan apapun itu, yang jelas Gibran tidak mau membicarakan hal tersebut untuk sekarang, dan tugas Azkiya hanyalah menunggu kapan sang suami berbicara mengenai apa yang ada di pikirannya.

“Mana yang pegel? Biar aku pijet.” Azkiya berseru, memposisikan diri di hadapan Gibran, merenggangkan kedua tangannya untuk menaikkan baju lengan panjang.

Gibran tertawa pelan, menggeleng kepala sambil menarik tangan Azkiya untuk masuk ke dalam pelukannya. “Bawah,” bisik Gibran serak.

“Huh?” Itulah respon yang bisa Azkiya berikan atas ungkapan Gibran yang sangat ambigu itu. Refleks, Azkiya menarik tangan dan menyembuhkannya di balik baju yang ia pakai.

kali ini Gibran benar-benar tertawa keras, tangannya bergerak, menyentil pelan kening Azkiya yang mengernyit. “Kaki saya, Azkiya. Jangan ngeres otaknya.”

Azkiya bergerak menjauh dari Gibran, turun dari tempat tidur dan memilih duduk di bangku rias, menatap kesal pria itu dengan kedua pipi dan telinganya yang memerah. “Kata-kata kamu yang ambigu, aku biasa aja, kok,” seru Azkiya membela dirinya.

Tawa Gibran masih saja menggelegar di dalam kamar, enggan untuk berhenti, apalagi wajah cemberutnya, ingin sekali Gibran memeluk tubuh Azkiya sekarang!

“Ish! Awas balas ntar!” ancam Azkiya, menghentakkan kakinya seperti anak kecil di lantai, lalu berjalan menuju balkon kamar. Wanita itu butuh lebih banyak pasokan udara untuk menormalkan tekanan udara dan darah di dalam tubuhnya.

“Mainnya ngancam kamu.” Gibran ikut bangun dari tempat tidur, dengan langkah lebar ia mengikuti dari belakang Azkiya, lalu menarik wanita itu ke dalam dekapannya, dan mengunci tubuh Azkiya.

🏩🏥🏩

Azkiya merutuki diri sendiri saat datang terlambat ke hotel Suittelova, sungguh, tadi malam ia melupakan jika pagi ini ia sedang bertugas, alhasil ia menerima tawaran Gibran untuk melakukan itu lagi sampai jam 2 malam, itu pun karena Azkiya yang tiba-tiba teringat dengan jam kerjanya.

Berjalan kembali ke loker setelah mengambil uniform dari linen, sekarang ia hanya punya waktu beberapa menit lagi untuk bersiap-siap, dan segera ke front desk untuk membaca book log. Ck! Sudah pasti ia akan mendapatkan teguran dari Leader, mau bagaimana lagi, dirinya memang salah.

Setelah melewati semua rintangan di pagi itu, dan menerima teguran dari mommy Poppy, yang untung saja tidak ada manager saat itu, Azkiya lalu berjalan ke counter front Office, membuka komputer dan membaca semua tulisan yang ada di sana.

Menarik napas dalam-dalam, Azkiya memasang wajah ramah, tersenyum kecil ketika segerombolan orang memasuki pintu utama hotel, kira-kira ada lima orang, dan tugas pertama Azkiya hari ini di mulai!

🏩🏥🏩

Jumlah pasien yang harus Gibran datangi atau visite hari ini sekitar 25 orang. Pria yang sudah lengkap dengan snelli dan juga stetoskop di lehernya itu berjalan keluar dari elevator yang berhenti di lantai 4. Kaki panjangnya membawa Gibran masuk ke bangsal Kencana.

Di sana, berdiri Tamara yang rambutnya diikat dengan rapi, memandang balik Gibran yang mengangguk kecil. Ah, iya, sejak beberapa hari yang lalu, Tamara resmi menjadi asisten Gibran yang akan selalu menemani pria itu visite, yang pasti wanita itu harus follow up pasien terlebih dahulu. Tentu saja bukan hanya Tamara saja, karena ada tiga orang pemuda yang lebih muda dari wanita itu, berdiri di samping, malu-malu memandang Gibran, mereka adalah anak-anak Koas.

“Pagi, Tamara, jadi gimana?” tanya Gibran sambil menatap Tamara dengan wajah serius. Tidak lupa ia memandang sebentar wajah-wajah koas di belakang wanita itu.

“Pagi, Dokter. Izin memberitahukan, hari ini
untuk pasien pertama, atas nama bapak Lukas Maramis. Beliau datang ke UGD dengan keluhan Nyeri pinggang belakang, darah dalam urine, sesak napas, dan ingin mual dan muntah. Riwayat pasien sebelumnya adalah  Diabetes ....” Gibran mendengar dengan detail setiap kata-kata yang keluar dari bibir Tamara, sedangkan pada koas sedang berdiri bersama buku-buku mereka, mencatat apa yang dikatakan dokter umum tersebut dengan serius.

Gibran menoleh pada pasien, pria berusia 60 tahun yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. “Kemarin saya sudah visite bapak kan? Apa bapak ada keluhan? Atau bagian-bagian apa saja yang sedang mengganggu bapak?” tanya Gibran ramah, tidak lupa tersenyum kecil.

Pak Lukas menjelaskan keluhan-keluhan yang ia rasakan kepada Gibran, dengan cermat suami Azkiya mencerna setiap kata-kata, menganalisis dan membuat kesimpulan-kesimpulan kecil hingga membentuk satu gambaran besar.

Setelah itu, ia berpindah ke kamar inap lainnya, memeriksa satu persatu pasien bersama dokter Tamara, dan ketiga Koas yang selalu mengikuti dari belakang. Sesudah memeriksa semua pasien, dan pergi ke nurse station untuk menandatangani bukti Visite, Gibran hendak kembali ke ruangannya, namun tertahan karena seruan Tamara.

“Dokter, mau makan siang bareng?” tawar Tamara, tersenyum lebar seperti biasanya, terlihat natural dan alami di mata Gibran, karena memang sejak dulu Tamara selalu begini kepadanya.

Gibran menimbang-nimbang untuk sesaat, namun tidak ada alasan untuk menolak ajakan Tamara. Maka, kepala Gibran mengangguk setuju sebagai jawaban atas ajakan Tamara.

Apa yang harus Tamara lakukan demi pria itu? Apa ia harus tetap berjuang walaupun Gibran telah menikah, atau mundur saja? Tapi, selama bertahun-tahun ia habiskan hanya untuk menunggu hidup bersama Gibran, namun apa yang ia dapatkan? Hanya menghabiskan waktu tanpa apapun yang bisa ia lakukan bersama pria itu?

Haruskah aku menyerah saja? Atau, menunggu? Atau mengambil tindakan untuk kisah ini? Pikir Tamara.

🏩🏥🏩

Di sebuah kamar dengan suasana ruangan gelap, seorang pria sedang berbaring di atas tempat tidur, menutup matanya kembali setelah kemarin ia sampai di Medan, dan mendapatkan kabar yang mematahkan hatinya.

Sejak mengetahui kabar itu datang dari orang yang ia cintai, dan sudah sejak lama menunggu hari-hari di mana ia akan bertemu dengannya dan mengatakan isi hati yang sesungguhnya kepada sang pujaan, namun hanya dalam waktu sedetik, semua harapan berganti menjadi semu.

Tangan terkepal erat, pria itu bangun dari tempat tidur, menoleh ke samping, di mana sebuah foto yang tersimpan sejak lama di dalam bingkai usang, berdiri di atas nakas. Sebuah gambaran wajah gadis itu, senyuman, mata, bibir, hidung, dan aroma tubuhnya yang masih terasa jelas di benak pria itu.

“How can you marry someone else?” gumam pria itu, suaranya terdengar parau, ada rasa sesak yang ia rasakan, ada rasa kesal yang ingin sekali ia tumpahkan, ada rasa marah yang ingin ia luapkan, dan,

Brakk!

Bingkai foto itu jatuh di atas lantai kamar, hancur, setelah pria itu melemparkannya dengan kasar sebagai bentuk meluapkan emosi yang meledak-ledak.

“Aku di sini, untuk kamu, aku cinta kamu, dan kamu? Why did you marry someone else?” bisik pria itu, berdiri dari tempat tidur, berjalan ke arah bingkai foto yang hancur, lalu memungut foto tersebut.

Tatapan nanar dari pria itu menunjukkan bahwa ia benar-benar sakit dan terpukul dengan kabar pernikahan mereka. Seharusnya! Sekali lagi, seharusnya, ia yang bersanding dengan wanita itu, bukan orang lain! Bahkan orang itu adalah sahabatnya sendiri!

“Tidak akan aku biarkan!”

Pria itu bangkit, berjalan ke kembali ke atas tempat tidur, dan berbaring, memejamkan mata untuk kembali ke alam mimpi.

To be Continued

A.n: ayeyaeeeee!! Semoga nggak bosan yah sama cerita ini, ahahah, masuk konflik di bab 20 😭😭 lamanya ahahaha. Semoga kalian menikmati semua bab di cerita ini.

Okay, aku baru ja selesai menulis, dan sedikit revisi, dan Semoga nggak gimana-gimana banget ahahah.

Btw, jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Kalo ada salah kata? Komens aja, Beb!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro