Bab 12. Asmarandana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*Selamat membaca*
*Semoga bermanfaat bagi kita semua.*

*Jangan lupa, niat karena Tuhan.*

*Jangan lupa jejak baik vote, komentar, krisar.*


"Rame ing gawe,sepi ing pamrih, memayu hayuning bawono."
(giat bekerja,membantu dengan tanpa pamrih,memelihara alam semesta/ mengendalikan hawa nafsu)

Suasana masjid yang lumayan ramai hari ini, karena ada anak-anak sekolah menengah kejuruan yang sedang praktek kerja lapangan di salah satu teman kursus. Sembari menunggu agak sepi untuk meneruskan belajar lagi, aku pulang dulu ke rumah, meneguk segelas air hangat.

"Mbak Ningsih, ayo belajar lagi." ucap Wati, menyusul ke rumah.

"Ya, bentar."

Mencari posisi ternyaman untuk belajar. Menghadap ke arah kiblat. Konon katanya, jika belajar menghadap ke arah kiblat akan memudahkan kita untuk menyerap ilmu dari buku yang kita baca.

"Tadi sampai mana menulisnya?"

"Guru Gatra, guru lagu dan guru wilangan." sahut Puput.

"Sekarang macam-macam tembang macapat, Mbak."

"Pertama tembang Pocung,"

Asal muasal tembang Pocung atau Pucung. Kata pocung (pucung) berasal dari kata ‘pocong’ yang menggambarkan ketika seseorang sudah meninggal yang dikafani atau dipocong sebelum dikuburkan. Filosofi dari tembang pocung menunjukkan tentang sebuah ritual saat melepaskan kepergian seseorang.

Dari segi pandang lain ada yang menafsirkan pucung merupakan biji kepayang. Di dalam  Serat Purwaukara, pucung memiliki arti kuncup dedaunan yang biasanya tampak segar.

Ucapan cung dalam kata pucung cenderung mengarah pada hal-hal yang lucu sifatnya, yang dapat menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung. Biasanya tembang pucung digunakan untuk menceritakan lelucon dan berbagai nasehat. Pucung menceritakan tentang kebebasan dan tindakan sesuka hati, sehingga pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.

Dalam tembang atau lagu Pocung ini, jumlah larik atau baris adalah empat baris. Guru lagu atau Rima dari lagu Pocung adalah u, a, i, a.

Sedangkan guru wilangan atau jumlah suku kata setiap barisnya adalah sebagai berikut baris pertama berjumlah dua belas suku kata. Baris kedua berjumlah  enam suku kata. Baris ketiga berjumlah delapan suku kata dan baris keempat berjumlah dua belas suku kata.

"Coba berikan contoh lagu Pocung?" tanyaku.

"Aku Mbak," acung Wati.

"Ya, silakan."

Ngelmu iku kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budya pengekesing dur angkara

"Artinya ilmu bisa di dapat dengan cara dilakukan, menggunakan niat, sehingga jadi kuat, berbuat tulus dan usaha yang akan mengalahkan perbuatan jahat atau tercela." jawab Wati.

"Ada lagi gak?"

"Gak ada Mbak, Oya mbak. Besok belajar Bahasa Indonesia ya?" ucap Puput.

"Boleh, kalau tidak sibuk ya?"

"Oke, Mbak."

Adzan berkumandang saatnya mendirikan bangunan yang kokoh di akhirat kelak, karena salat bagai tiang yang menopang sebuah rumah. Jika tiang itu keropos maka bangunan tersebut akan roboh, dan jika tiang itu kokoh maka bangunan itu akan kuat melindungi yang ada di dalamnya.

Suasana malam bertabur bintang, menandakan sang rinai tak akan turun. Rembulan bersinar lagi, hati kian ceria lagi. Bagai orang yang sedang jatuh cinta.

Sembari mengistirahatkan tubuh yang terkuras tenaganya. Aku mendengar radio dari gawai. Diri merebahkan tubuhnya pada pulau kapuk alias kasur busa. Seperti biasa radio Darusallam FM mengudara menemani malamku.

Hari ini menyajikan pengajian Ki Enthus Susmono. Beliau berdakwah menggunakan media wayang. Ki Enthus menjabarkan tentang Babakan manusia dari sejak di dalam kandungan hingga ke liang lahat. Beliau menjabarkan tembang macapat beserta contoh lagunya.

Tembang Macapat ini menggambarkan alur kehidupan dan keberadaan atau antologi, cara menemukan hakikat hidup yang benar nama kerennya adalah epistemolog dan sekaligus mengandung nilai-nilai etik Jawa, istilahnya adalah aksiologi. Dimana ketiganya merupakan kerangka yang membangun falsafah Jawa. Dalam falsafah Jawa fase kehidupan dikatakan dari 'Ha' ke 'Nga' dan kembali ke 'Ha' lagi atau melingkar.

Diri mencatat apa yang disampaikan Ki Enthus Susmono. Mungkin suatu hari bisa aku gunakan saat mendampingi Wati dan Puput belajar. Makna dari lagu Mas Kumambang, lagu ini menyiratkan ketika manusia masih berupa nutah sampai bayi didalam kandungan Ibu.

Tembang atau lagu Mijil, makna dari lagu Mijil menyiratkan ketika bayi dilahirkan atau muncul atau keluar dari gua garbha Sang Ibu. Tembang Kinanthi, makna dari tembang ini menyiratkan ketika jabang bayi tumbuh menjadi anak harus selalu di kanthi yakni harus selalu ditemani, dijaga dan dilindungi sehingga dewasa oleh kedua orang tua.

Tembang Sinom, makna dari lagu tersebut adalah ketika si anak beranjak tumbuh menjadi remaja. Tembang Asmarandana yang berarti api asmara, masa muda dan mulai mengenal cinta terhadap lawan jenis.

Tembang Gambuh, untuk menenangkan gejolak api asmara tersebut dibutuhkan obat yaitu berupa perkawinan agar api asmara yang berkobar bisa diredam. Dhandhanggula, menggambarkan suka duka / pahit-manisnya dalam membina rumah tangga.

Selanjutnya tembang Durmo artinya berdharma atau memberikan baktinya kepada sesama, masyarakat dan negara baik berupa tenaga, pikiran ataupun uang. Tembang Pangkur, artinya mungkur atau meninggalkan arena kehidupan. Tembang Megatruh atau lepasnya jiwa dari raga alias mati, dan Pucung atau pocong artinya setelah meninggal jasad dirawat sebagaimana ketika masih hidup yaitu dimandikan, dikafani. Setelah dipocong jasad dikembalikan ke rahim Ibu Pertiwi.

Setelah mencatat semua di buku tulis, diri melirik gawai yang sedari tadi bergetar di tangan. Lima pesan singkat masuk di sana. Dua pesan dari Narsih, tiga pesan dari nomer tidak aku kenali.

Aku membalas pesan Narsih, siap diri ini untuk ikut lomba mengarang di acara radio. Walaupun, tak tahu karangan itu akan dibacakan oleh sang penyiar radio yang konon katanya suaranya merdu dan mirip artis India sana.

Malam makin larut, akan tetapi mata ini belum bisa terpejam. Seperti biasa, aku ambil gawai lalu aku putar musik kesukaan. Biasanya aku langsung akan terlelap dalam mimpi.

Keesokan paginya, setelah menyiapkan diri untuk beraktivitas seperti biasa. Tak lupa mengecek gawai, apalagi baru punya mainan baru yakni media sosial. Mengintip notifikasi di akun media sosial Facebook. Banyak sekali yang minta berteman, salah satunya yang menarik diriku, seorang pria bernama Agus Riyadi.

Rupanya dia mengirim pesan, dan menyatakan bahwa dirinya juga mengirimkan pesan singkat ke gawai semalam. Dirinya juga mengatakan bahwa berteman dengan Narsih juga.

Aku pun membalas pesan darinya. Diriku juga mengkonfirmasi ke Narsih menanyakannya kebenarannya. Setelah mendapatkan informasi akurat dari Narsih, barulah aku bisa menerimanya sebagai teman.

Terngiang siaran di radio semalam tentang tembang Asmarandana. Yakni tentang tertarik dengan lawan jenis, apakah saatnya diri ini memikirkan cinta, masa depan?

Bukan saatnya lagi sebagai remaja, atau masa-masa sinom. Akan tetapi, memikirkan masa depan yang lebih terang. Dalam segi kehidupan sebagai wanita dewasa maupun sebagi anak yang membantu orangtuanya mencari nafkah.

Suara dering gawai membuyarkan lamunanku. Segera aku serahkan gawai kepada Ibu, karena Pak Lik menelpon dan ingin berbintang dengan Ibu.

Baru kali ini, diri berani mengkonfirmasi seorang pria. Biasanya hanya teman-teman wanita yang aku izinkan berteman. Mungkin ini saatnya diri membuka diri.

Setelah selesai mencatat apa yang perlu di beli, diri siap meluncur ke pasar untuk berbelanja. Sejam kemudian, saatnya membuka warung. Sembari menunggu pembeli datang, sesekali diri melirik akun media sosial yang baru saja aku mengenalnya.

Diri yang semula tak mengenal media sosial Facebook, sekarang aktif mengikuti apa yang ada. Membuat status yang tak jelas, asal ada yang ditulis di akun tersebut. Asyik-asyiknya berselancar, ada notifikasi bahwa ada pesan masuk di gawai jadulku.

[Mbak Ningsih, aku ke rumah ya.]

[Kuliah libur.]

Rupanya Narsih yang berkirim pesan.

[Siap. Aku tunggu di warung.]

Pukul satu siang, suara deru motor mendekat. Alhamdulillah, Narsih sudah sampai, dengan selamat.

"Assalamualaikum,"

"Wa'alaikumsalam, sini."

"Wah, warungnya kumplit Mbak."

"Alhamdulillah, mau duduk di mana?"

"Sini saja, tidak apa-apa. Sekalian belajar usaha warung."

Kami pun berbincang seputar media sosial, teman-teman baru yang kita berdua baru jumpai di media sosial. Banyaknya nomer baru di gawai masing-masing.

"Mbak Ningsih, mas Agus Riyadi sering telepon tidak?"

"Kadang-kadang,"

"Kalau telepon bagaimana? Aku tidak pernah angkat telepon darinya."

"Dia itu, selalu melantunkan lagu salawat. Terkadang hafalan Al-Qur'an."

"Hafiz kah?"

"Dari pengakuannya sih iya. Dia juga vokalis grup salawat,"

"Wah, cocok sama Mbak." candanya.

"Ah, kamu bisa aja Narsih. Jadi ikut lomba tidak?"

"Jadi dong,"

Setelah berbincang-bincang ke sana kemari, tak tentu arah. Akhirnya kami pergi ke emperan masjid untuk menulis apa yang ingin kami tulis, di selembar kertas untuk di kirim ke radio.

***

Setiap insan manusia
Pasti punya rasa suka
Terhadap seseorang

Entah itu karena wajahnya
Anggah ungguh yang ada padanya
Atau karena hobi yang sama

Rasa cinta
Tak memandang usia
Siapapun dapat merasakan

Tidak terkecuali diri
Apakah ini namanya jatuh cinta
Atau hanya tipu daya setan durjana

Dekatkanlah dia jika dia memang jodohku
Jauhkanlah jika bukan jodohku
Itulah doaku

(Ningsih)

redaksisalam_ped
trinaya_123






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro