4. Batavia & Berita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa kau tidak terlalu keras pada orang-orang itu, Anjani?"

Wanita yang diajak bicara Septian tidak menanggapi. Mata birunya sibuk terpaku ke luar jendela mobil, tepat ke arah denyut utama kota Jayagiri yang perlahan berlalu di luar sana.

"Tidak." Wanita itu sama sekali tidak berpaling dari jendela. "Apa yang mereka inginkan di luar batas kemampuan Manusia. Aneh justru jika aku tidak keras pada mereka."

"Manusia." Septian melirik lewat spion tengah, mencoba menarik perhatian Anjani, tapi gagal. Wanita itu masih mematut wajahnya ke jendela mobil. "Tapi secara biologis, kamu bukan Manusia, Anjani."

Anjani mendengkus sebal. "Rasis."

Septian mengedikkan bahu. "Kamu yang terlalu spesifik."

Anjani menghela napas dan menggerutu, lalu menghadap ke depan. Septian mengerjap bingung, tapi tidak banyak bertanya. Entah apa yang membuat Anjani akhirnya memandang ke depan. Mungkin pemandangan di samping kiri mobil tidak begitu menarik lagi. Penasaran, Septian pun ikut mencuri pandang ke sebelah kiri. Mereka telah benar-benar meninggalkan pusat kota Jayagiri.

Sungai Bhagasasi yang besar membentang di bawah jembatan tempat mereka melintas. Pintu-pintu air ditutup secara otomatis oleh sistem pusat Irigasi Jayagiri. Sungai yang terpotong dari aliran induknya, perlahan mengalir tenang di bawah. Tidak butuh waktu lama, orang-orang berkumpul di tepian sungai, menghabiskan sisa senja untuk bermain-main.

Di bantaran sungai bagian ini, masih banyak orang-orang yang mencuci di tepi sungai dan anak-anak yang bermain, Septian memperhatikan. Kemudian fokusnya kembali ke jalan raya dengan beberapa pikiran berkecamuk di dalam kepala.

"Kamu tahu dengan jelas kalau misi ini sebenarnya ada dua, kan?"

Sekali lagi, Septian melirik dari spion tengah. Tampak tidak paham. "Maksudmu?"

"Misi dari Simmo dan misi ini saling berkaitan," ujar Anjani. "Misi dari suami istri itu membuatku harus ke Batavia dan misi yang secara resmi aku ambil juga ada di Batavia. Kasus yang sama: perusakan Batavia, dengan dua terduga. Terduga satu—Damien—dan Terduga Dua."

Anjani menguatkan pendapatnya dengan mengangkat dua jari ke udara.

"Secara kebetulan, misi penyelamatan ini membutuhkan pembuktian bahwa Damien tidak bersalah atas hancurnya Batavia," ungkap Anjani. "Sementara misi resmiku membutuhkan Terduga Dua bersalah atas Hancurnya Batavia. Jika dugaan pemerintah bahwa Terduga Dua memang terlibat dan aku bisa mengklaim hadiah buruanku, sementara di saat yang sama juga membebasakan Damien dari tuduhan, itu artinya sama saja sekali tepuk, dua-tiga pulau terlampaui. Simmo mengincar ini dan membuatku tidak punya pilihan lain selain menerima misi lain ketika misi resmiku saja belum selesai."

Itu masuk akal. Septian bukannya tidak tahu misi resmi Anjani. Ia yang menyerahkan misi itu kepada Anjani satu minggu lalu. Misi untuk mencari terduga yang diduga terkait dengan Penghancuran Batavia.

Misi itu aneh. Simmo memperingatkan semua anggota Serikat Pemburu Hadiah di Jayagiri untuk tidak membocorkannya ke pihak lain, terutama warga sipil. Artinya itu misi yang seharusnya tidak ada. Wajar saja. Semua orang mengetahui Batavia hancur karena kecelakaan lab. Penyebab teknis. Tidak perlu mencari pelaku.

Tapi kenyataannya justru puluhan orang dari berbagai Serikat Pemburu Hadiah mencari siapa pelaku yang menghancurkan Batavia.

Misi pertama sudah dalam penyelidikan sang perempuan dan dirinya secara bersamaan sebagai rekanan resmi sang wanita. Misi itu sendiri berlangsung lambat. Penyelidikan mereka banyak tersendat karena sedikitnya bukti yang tersedia dan minimnya kerja sama yang bisa didapatkan dari semua pihak.

Seolah semua pihak merahasiakan atau tidak tahu menahu mengenai Batavia.

Hampir seolah, kota itu tidak pernah ada.

Tidak heran, pihak Pemerintah pun baru menyerahkan berkas-berkas permintaan itu satu minggu lalu ke Serikat Jayagiri. Sudah dua bulan sejak insiden Batavia terjadi dan tidak ada perkembangan berarti selain beberapa hal yang justru semakin membuat kasus Batavia semakin misterius.

Batavia lenyap.

Pilar cahaya yang menembus langit.

Tiga ratus ribu lebih jiwa lenyap.

Pelindung Rakta sempat tidak aktif selama lima menit pada hari itu, sehingga beberapa Bhuta memasuki kota dan menyebabkan bencana lebih besar. Total lima ratus lebih orang meninggal.

Semua orang di Serikat Jayagiri mengambil misi ini sejak minggu lalu. Mereka semua antusias dan bergerak oleh motif berbeda, mulai dari pembalasan dendam, rasa penasaran, ingin mencari kebenaran, sampai ingin mendapatkan keuntungan. Tetapi, Septian memerhatikan, hanya Anjani yang seolah tahu harus ke mana, sementara orang-orang lain hanya berkoar dan mengejar orang lain secara serampangan. Anjani bergerak dengan tenang, bahkan ketika sudah ditunjuk untuk misi yang lebih berat di saat yang bersamaan. Motivasinya tidak terbaca oleh siapa pun dari luar. Septian hanya bisa menebak saat ini, Anjani mengincar uang besar yang akan ia dapatkan.

Dan masa istirahat yang panjang jika misi ini selesai.

Tetapi kemudian misi kedua mereka muncul.

"Tapi kamu bisa menolak misi pertama," Septian menyanggah. "Kamu selalu bisa menolaknya sejak awal. Toh semua orang mengejar kebenaran soal Batavia kan? Cepat atau lambat, akan ada orang yang mengungkap rahasia ini jika kamu merelakan misi itu dan mengambil misi kedua saja."

Diam. Anjani tidak memberi jawaban.

"Kenapa kamu tidak menolaknya?" desak Septian.

"Kenapa kamu tidak menjalankan mobil ini lebih cepat?" Anjani menyahut dengan jengkel. Matanya mendelik ke arah panel penunjuk kandungan Rakta di dalam mobil. Masih banyak. Perimeter yang lain pun stabil. "Kita bisa berjalan dua kali lebih cepat dari ini dan tidak akan ada polisi lalu lintas menilang kita."

"Dan sekarang kamu jadi tidak sabaran."

"Jalan saja."

Seolah takdir tidak setuju pada kata-kata Anjani, detik itu juga mereka dihadang lampu merah. Septian mendengkus.

"Tanda-tanda keberuntunganmu sudah habis," cibirnya, tapi Anjani tidak ikut tertawa. Septian pun berhenti tersenyum.

Atmosfir serius memayungi mereka dengan udara pekat yang menyulitkan siapa pun untuk bernapas. Di perempatan jalan, automaton kelas Delem membantu para polisi mengatur jalan raya dan lampu lalu lintas. Automaton setinggi dua meter itu mengatur lalu lintas berbarengan dengan para polisi Manusia.

Septian sedang mengamati ketika seorang anak kecil didorong paksa oleh salah satu Delem dari toko roti. Anak itu meronta-ronta, tapi automaton yang tidak memiliki perasaan atau sensitifitas Manusia, tidak mengacuhkan semua pemberontakan sia-sia itu dan tetap mendorong sang anak kecil. Septian tidak bisa melihat dengan jelas, tapi kulit anak itu coklat kemerahan, kulit khas Pribumi asli yang kerap kali harus bertarung mencari sesuap nasi di bawah terpaan matahari. Baju anak itu hanya berupa selembar kain belacu yang lebih mirip keset kaki di rumah para Londo dan Sinyo di Jayagiri.

"Pencuri."

"Hah?" Septian mengerjap ke arah Anjani. "Apa maksudmu?"

"Anak itu mencuri sepotong roti dari toko itu. Mungkin anak itu dari balik Tembok." Anjani menunjuk toko roti tempat anak itu dikeluarkan. Lalu ia menujuk pria yang sedang mengomel dari balik toko. "Dia pemilik tokonya. Cukup cepat juga responsnya."

Septian terdiam sejenak. Ekspresi wajahnya pahit. "Dia hanya anak kecil,"

"Tetap saja dia mencuri," Anjani bersikeras. "Pemilik toko itu hanya melindungi apa yang menurutnya berharga. Lagipula jika dibiarkan mencuri, anak itu akan terus menjadi pencuri. Kamu yang lebih tahu soal itu, kan?"

Septian mengerutkan kening. Ia tidak pernah nyaman melihat anak kecil diperlakukan semena-mena, terlepas siapa yang sebenarnya salah.

"Mereka semua tahu seberapa berat perjuangan di balik Tembok."

"Ya," jawab Anjani tenang.

"Mereka seharusnya tahu, betapa beruntungnya anak itu jika masih bisa hidup," Suara Septian berubah semakin pahit. "Jarang sekali ada Manusia di balik Tembok sekarang. Tapi semua orang menutupinya."

"Aku tahu." Sekali lagi Anjani menjawab dengan tenang, tanpa perubahan ekspresi berarti.

"Pasti ada cara yang lebih baik."

"Mungkin," Anjani menyahut. "Tapi kita sudah mencapai batas kita boleh berkomentar, sebagai orang yang tidak tahu apa-apa soal mereka."

Etika, Septian menelan kata itu dengan pahit sekali lagi. Dia ingin hidup di kehidupan ini, maka konsekuensi yang harus ia ambil adalah etika. Dia harus beretika, tidak seperti anak-anak remaja di jalan yang berbuat seenaknya tanpa batasan apa pun. Untuk memanjat kelas lebih tinggi dan hidup lebih layak, harus ada yang dikorbankan. Dan dalam hal ini, kebebasan sedikit demi sedikit.

Sialnya, bukan hanya kebebasan yang ia korbankan.

"Ngomong-ngomong soal pencuri," Anjani mengalihkan topik. "Apa kamu sudah dapat info yang aku minta?"

Septian mengendalikan diri dengan segera. "Ada di laci dasbor."

Anjani segera meraih ke dalam laci di bawah dasbor mobil dan mengambil selembar foto dari dalamnya. Anjani mengerutkan kening saat melihat foto itu.

Sekali lagi lampu merah.

Septian menoleh, melihat hasil foto yang menampilkan tiga orang berbeda di dalamnya. Dua orang memakai seragam hitam-biru khas Pemerintahan dan satu orang lain, dengan kain jarik bermotif parang dan beskap coklat, lengkap dengan blankon seperti Priyayi Jawa berdiri di paling depan. Bidikan kamera dari samping, tapi wajah Priyayi itu terlihat jelas karena ia sedang menoleh ke belakang untuk berbicara pada pria di belakangnya. Cahaya sore hari yang menyinari mereka juga tidak membantu sama sekali jika Priyayi itu ingin tampil tersembunyi.

Pria itu mungkin sekitar lima puluhan, dengan rambut, kumis, dan janggut tipis yang mulai memutih di wajahnya. Kerutan tampak di sekitar bibir dan matanya ketika ia bicara para pengawal di belakangnya. Batik motif parang sudah tersedia di seluruh Jawa, jadi asal pria itu tidak bisa tertebak.

Tapi jika sekiranya dia dari Jawa Tengah, apa yang membuat orang-orang dari tanah Vorstenlanden untuk datang ke Barat pulau Jawa?

"Ini aneh," Anjani menyadari hal itu.

Septian mengangguk. "Tidak banyak Londo yang bersedia didahului oleh seorang Pribumi, tidak peduli dari kelas Priyayi sekalipun."

Para Londo punya harga diri tinggi dan bagi bahkan dimulai dari kelas pegawai rendahan, mereka enggan didahului oleh orang-orang yang dulu berhutang budi kepada leluhur mereka.

Kecuali mereka takut pada Priyayi itu.

"Dan Priyayi ini terus saja kembali ke tempat kejadian perkara?"

"Ya," Septian menjawab dengan yakin. Sedikit kegalauannya terhapus, berganti kebanggaan karena sekali lagi ia bisa mendapatkan informasi dengan akurat tanpa ketahuan. "Dia bukan orang Pemerintahan yang bertanggung jawab atas tempat perkara mana pun di Batavia. Aku sudah mengecek semua foto dan staff. Ini, aku ada rinciannya."

Septian mengeluarkan satu lagi dokumen dari dalam laci dasbor dan menyerahkannya kepada Anjani. Ada puluhan, bahkan ratusan nama dan foto penyidik yang bertanggung jawab dalam kasus Batavia. Tidak ada satu pun wajah Priyayi itu tercantum.

Septian mencuri-curi pandang ke arah Anjani sesekali, memerhatikan wajah wanitai itu kala ia sedang berpikir serius atas foto dan berkas-berkas misi itu.

Anjani mengerutkan kening dalam-dalam.

Setelah beberapa mengenal Anjani, Septian memerhatikan satu hal dari ekspresi yang tidak bisa dikontrol oleh Anjani. Kerutan di dahinya saat berpikir keras adalah salah satunya. Anjani yang berpikir keras, akan mengeluarkan kerutan di dahinya.

"Kamu mendapatkan sesuatu dari berkas-berkas itu?" Septian bertanya, setengah menebak.

"Sedikit."

Tidak ada jawaban lagi.

"Kamu tidak mau menunjukkan petunjuk itu kepadaku?"

"Untuk apa?" Anjani menyahut santai. "Agar kamu bisa menjual info yang aku berikan kepada penawar tertinggi lain?"

Cubitan tak terlihat menyakiti ulu hati Septian saat kata-kata itu meluncur keluar dari bibir Anjani, tapi ia berhasil menjaga ekspresinya tetap tenang.

"Aku tidak memaksa," Septian mengoreksi. "Kamu bebas menyaring ifno atau memalsukannya kan?"

"Oh," Anjani melirik Septian. Wanita itu tersenyum sinis. "Kamu sudah memiliki kemampuan untuk mendeteksi kebohongan sekarang?"

Septian mengedikkan bahu. "Aku harus belajar," ujarnya. "Karena aku tidak bisa bergantung pada orang lain seumur hidup."

Suasana dalam mobil diam sejenak. Lima belas detik kemudian, tepat ketika mereka berhenti di lampu merah berikutnya, Anjani menyodorkan foto yang ia serahkan tadi, tepat di depan kemudi.

Tangan Anjani yang dibungkus sarung tangan kulit menunjuk sang Priyayi. Ke beskap yang dikenakan sang pria paruh baya.

Sesuatu yang aneh, disadari oleh Septian. Sesuatu yang kuput dari perhatiannya sebelumnya. Ada hiasan yang menempel di baju sang Priyayi. Seperti kancing kecil. Tapi jumlah kancing di beskap selalu ganjil dan berjarak sama antara satu dengan yang lain.

Namun kancing perak yang ada di paling atas itu tidak sama.

Bentuknya seperti melati. Kancing itu tampak keperakan dengan batu mirah delima di tengah kelopaknya yang mekar. Mewah, tapi sederhana dan membaur di mata orang-orang yang tidak teliti. Siapa pun kecuali Anjani.

Dada Septian terasa hampa. Jantung dan seluruh isi dadanya melorot ke perut dan meleleh di sana.

"Tempat asalmu." Anjani berujar. "Divisi Lima."

Septian terdiam, sementara kenangan-kenangan buruk nan kelam kembali menghantuinya.

"Kenal pria ini?"

Dengan lambat, nyaris tanpa tenaga yang tersisa, Septian menggeleng. Syok merenggut hampir seluruh daya dan tenaganya.

"Aku tidak....." Septian menelan ludah. "Aku tidak pernah melihatnya."

"Orang-orang dari Divisi ilegal yang terbiasa bermain-main dengan makhluk Niskala muncul di tragedi yang seharusnya hanya kecelakaan lab Rakta." Septian melirik Anjani, menangkap basah wanita itu sedang menyeringai. "Bukankah ini menarik? Lenyapnya Batavia, aku harus berterima kasih kepada siapa pun yang melenyapkan kota itu dari peta. Sekarang kota itu seperti lampu yang menarik para serangga mendekat."

Septian menelan ludah dengan susah payah. "Dan kita termasuk salah satu serangganya?"

"Tentu saja," Anjani menjawab dengan keriangan yang liar. "Aku juga akan menghabisi serangga lain yang berusaha mendekat."

Seringai Anjani dan mata birunya yang terang tidak pernah terlihat baik di matanya. Anjani mungkin diberkati kulit sawo matang yang bersih, wajah perempuan khas Bali yang cantik tapi punya garis-garis tegas, pembawaan yang tenang, etika yang terlatih, dan cara bicara yang tidak memberikan aksen apa pun dari cara bicaranya. Namun mata biru Anjani yang tidak alami dan seharusnya membuat wanita itu bisa diterima kalangan Londo nyatanya tidak membuat wanita itu diterima di mana pun.

Mata biru itu terasa asing dan hampa. Tidak seperti warna biru mana pun di dunia ini. Terlalu tidak manusiawi. Septian sering kali merasa mata biru Anjani menyedotnya ke dalam sesuatu yang tidak bisa ia gambarkan, seperti labirin yang mengungkap semua dosanya tanpa ada jalan keluar.

"Artinya ... kemungkinan yang kamu percayai semakin terbukti benar...." Septian mengimbuhkan dengan hati-hati. "Kamu yakin mereka ... entah bagaimana terlibat? Mereka memiliki petunjuk yang kamu cari?"

"Yakin sekali!" Anjani berseru, kali ini dengan kegembiraan khas anak kecil yang menghapus semua ekspresi ambisius mengerikan tadi dari wajahnya. "Aku merasakan gema Nawadewata hari itu dan pusat perkara memang sebuah lab tersembunyi di bawah tanah, kan?"

Septian tidak membantah karena memang itulah kebenarannya. Fakta yang ia dapatkan beberapa minggu setelah kejadian di Batavia. Pemerintah menutupi insiden ini dengan mengatakan laboratorium penelitian Rakta dari Sektor Empat yang meledak karena kecelakaan. Semua orang tidak curiga setelahnya walaupun korban yang jatuh sangat banyak.

Ah, tidak, Septian mengoreksi. Lebih tepat jika mereka tidak berani protes.

Alasan Pemerintah itu didukung oleh kenyataan laboratorium Rakta bukan kali ini saja pernah mengalami kecelakaan. Tapi kecelakaan sebelumnya hanya mengancam Pelindung kota, tidak benar-benar melubanginya.

"Aku merasa selangkah lebih dekat," Anjani mengepalkan tinju. "Mereka mungkin lari saat aku membawamu, tapi kali ini mereka tidak akan bisa lari. Aku akan merebut Nawadewata dari mereka."

"Laboratorium yang tidak tercatat di Divisi Empat seperti yang diberitakan," Septian mengangguk setuju. "Pembersihan di lokasi perkara meninggalkan jejak Atma biru khas Madyapada yang aku simpulkan hanya bisa dilakukan oleh Sektor Lima."

"Dan sekarang foto ini menguatkan segalanya." Anjani menaruh foto itu kembali ke laci dasbor.

Septian melajukan mobil kembali setelah lampu merah berakhir. Mereka berbelok ke kanan.

Anjani mengerjap. "Tidak lewat jalan biasa?"

"Ditutup."

Berlawanan dengan karakter misterius nan ambisius yang tadi dia tunjukkan, Anjani kini memekik kaget. Seperti perempuan. "Sejak kapan?"

"Sejak kemarin," jawab Septian. "Pemerintah tidak tahan dengan semua para pemburu hadiah yang datang ke Batavia untuk menyelidiki sesuka hati dan para jurnalis yang datang meliput, mencoba mengungkap misteri."

Bibir Anjani mengerucut. "Aku duga ada yang melawan."

"Dan kamu pikir mereka masih hidup setelah menunjukkan perlawanan?"

"Tidak," Anjani menjawab dengan entang, seolah penghilangan orang sudah biasa ia dengar. "Ngomong-ngomong, kamu sudah pernah melewati rute ini sebelumnya kan?"

"Dulu, sebelum Batavia lenyap," Septian tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Setelah Batavia, belum."

Terutama dengan semua Bhuta yang sempat berkeliaran dan kawasan kumuh yang ditutupi pemerintah di balik Tembok Besar, Septian tidak pernah berani. Kabut yang turun sejak senja, rumor menakutkan, dan suara-suara mengerikan perpaduan antara raungan yang sama sekali bukan milik binatang dan jeritan kesakitan manusia, membuat siapa pun enggan lewat di jalan ini.

Banyak yang bilang itu suara korban lenyap dari Batavia. Mereka masih terperangkap di suatu tempat di antar dimensi, meminta diselamatkan. Namun Septian tahu, dunia tidak pernah sebaik itu.

"Ah, kabut...." Anjani berujar. Wanita itu melongokkan kepalanya sedikit ke depan, ke arah Batavia yang sebentar lagi tiba di hadapan mereka. "Kabut yang aneh."

Benar seperti kata Anjani, kabut turun perlahan di Batavia. Kabut seperti yang dirumorkan. Kabut itu memang nyata dan terbukti. Suara-suara itu pun nyata. Tapi penampakan sesungguhnya Bhuta di tempat itu dan saksi mata yang menceritakan, nol besar.

"Menurutmu cerita yang beredar itu benar?" Septian iseng bertanya. "Kalau di balik kabut itu muncul Bhuta?"

Anjani mengedikkan bahu. "Entah," jawabnya tak acuh. "Aku belum sempat memeriksanya dan tidak akan mau."

"Karena kamu tidak akan dibayar?"

"Benar sekali."

Kemudian, percakapan mereka berhenti. Dari samping mobil, muncullah tembok besar kusam yang menutupi kanan dan kiri jalan. Di baliknya, pemandangan telah berubah. Rumah-rumah kayu berdiri menggantikan rumah-rumah berdinding batu di tepian jalan raya. Seperti sengaja disingkirkan dari jalanan, dari dunia, dan dari mata semua orang.

Kotak-kotak yang disebut para penghuninya sebagai tempat tinggal ditumpuk dalam tiga tingkat tinggi yang masing-masing tingkat beridi enam sampai delapan kotak. Semuanya ditopang hanya oleh kayu bekas yang tidak lagi mau diambil hak oleh siapa pun dan beberapa potong bambu.

Di atas sekitar empat puluh kotak itu, berjejalan empat ratus orang yang hidup. Sosok-sosok mereka yang kurus bak korek api tampak mondar-mandir dengan gerakan tubuh ganjil yang lebih miring daripada tembok reyot yang nyaris ambruk.

Di bawah kotak-kotak kayu itu, setidaknya separuhnya, membentanglah aliran lain dari Sungai Bhagasasi. Tapi berbeda dari sisi lain yang mereka lewati sebelum ini, sisi Sungai Bhagasasi sebelah sini sama sekali tidak terlihat dari dalam mobil. Tertutup oleh tembok dan rumah yang dibangun tinggi-tinggi karena terbatasnya lahan yang disediakan.

Di atas titian bambu yang menghubungkan kotak-kotak itu, para orang tua yang lebih paham berjalan dengan hati-hati, tapi anak kecil kadang menemui nasib yang lumayan tragis di setiap bulan. Selalu ada kabar kematian yang bergaung dari tempat ini, tapi tidak ada yang masuk ke berkas penyidik. Semua karena alasan sederhana: mereka tidak diperlukan.

Padahal mereka dan leluhur berpuluh-puluh tahun sebelum mereka telah mendiami tempat ini jauh sebelum para kulit putih yang merasa bak dari kahyangan itu menguasai tempat ini.

Mobil mendadak berhenti.

Septian mengumpat di balik kursi pengemudi, sementara Anjani diam, tapi mimik mukanya keruh.

Seorang anak perempuan berdiri di tengah jalan.

Anak itu tinggal tulang berbalut kulit. Baju karung goni di tubuhnya menggantung miring dengan ganjil kaena terlalu besar untuk tubuhnya yang sudah terlalu kecil. Tulang pipinya yang tirus tampak kesusahan bergerak ketika mulutnya membuka dan mengatakan sesuatu yang tidak terdengar dari dalam mobil. Tangannya menengadah.

"Hei, Septian," Anjani tiba-tiba berbicara. Suaranya tenang dan terkendali, tapi ada kesan mendesak dalam suara itu yang membuat Septian gelisah. "Kamu ingat berita yang tiga hari lalu ada di Suara Melayu?"

"Soal?" Septian membunyikan klakson, tapi anak perempuan itu bergeming.

Suara ketukan di jendela samping supir membuatnya menoleh. Seorang anak perempuan kecil yang lain dengan sebuah kain polos membungkus tubuhnya yang kurus kering menengadahkan tangannya di bawah jendela mobil Septian. Keadaannya sama menyedihkan dengan anak perempuan yang menghadang mobilnya.

"Penampakan Bhuta di pemukiman kumuh?"

"Ya," Anjani mengiyakan. "Berita yang dengan cepat hilang karena Bhuta kelas Yaksa itu tidak muncul di tengah kota."

Septian mencium firasat buruk dari Anjani. "Memangnya ada apa?"

"Anak perempuan itu...." Anjani melirik ke anak perempuan di samping jendela. Septian mengikuti arah pandang Anjani dan membelalak.

Jumlah orang yang berdiri di sisi mobilnya bertambah. Tadinya hanya satu, sekarang ada enam. Anak-anak dan remaja yang kurus. Dewasa dan muda. Semuanya dalam keadaan tulang berbalut kulit dan menengadahkan tangan. Salah satu orang dewasa menunduk, mematut kepalanya ke kaca mobil.

Lalu menghantamkan kepalanya ke kaca mobil.

Septian terlonjak di kursinya.

"Jalankan mobil." Anjani memberi perintah. "Jangan pedulikan mereka."

Mata laki-laki yang membenturkan kepalanya itu terpaku ke arah Septian. Matanya, berlawanan dengan tubuhnya yang kurus dan beraroma keringat yang tidak dibilas air berhari-hari—nyaris busuk—tampak sangat segar dan jernih.

Iris mata pria itu berwarna merah darah.

Jantung Septian melorot sampai perut. Itu bukan warna mata Manusia.

Warna merahnya bukan warna yang pernah ia lihat dari benda mana pun di dunia ini. Tidak seperti warna darah. Tidak seperti warna langit. Warna merah itu berdenyut dalam gradiasi yang berbeda di setiap warna, seperti hidup.

Septian pernah melhat mata itu.

Ketika Septian akhirnya mendapatkan tenaga untuk berpaling dari mata itu, ia melirik Anjani, mendapat wanita itu sudah memegang belati di pinggangnya. "Mereka masih Manusia, Anjani."

"Kamu tidak akan menabrak mereka," Genggaman Anjani mengerat pada belatinya. "Atau aku yang menyingkirkan mereka."

Septian menggertakkan gigi. Tidak ada pilihan bagus. Tidak pernah ada pilihan bagus. Tapi ia seharusnya sudah terbiasa. Seharusnya ia tidak perlu ragu lagi. Ia laki-laki dan keputusan selalu akan berada di tangannya. Harus selalu berada di tangannya dan bukan orang lain atau dia akan diinjak-injak. Lagi.

Maka Septian membesarkan diri dan kembali terfokus ke depan. Sekuat tenaga mengabaikan bunyi-bunyian menggetarkan keberanian di samping mobil. Orang-orang itu belum menyerah dan Septian pun menyadari anak kecil yang berdiri di depan mobilnya kini ada di depan kap mobilnya. Tangan kurus anak itu mencoba memanjat kap.

Saat itulah Septian tancap gas.

Awalnya ia mengira akan merasakan mobil membentur sesuatu, seperti sensasi ketika menabrak batu atau hewan yang tidak sengaja menyeberang dan tertabrak, tapi rupanya tidak.

Dia tidak menabrak apa pun.

Septian menoleh lewat spion tengah. Anak yang tadi berdiri di depan mobilnya nyatanya kini sudah ada di belakang mobilnya, tertinggal jauh dan semakin jauh. Anak itu, beserta semua orang lain, bahkan pria yang tadi membenturkan kepala ke mobilnya, selamat. Mereka perlahan kembali ke kawasan kumuh tempat mereka tinggal.

Napas lega yang panjang keluar dari mulut Septian saat semua kengerian itu lewat dan mereka kembali ke jalur Batavia.

"Aku belum dengar apa pun dari para Pemberontak," Anjani berujar. "Biasanya mereka yang paling cepat jika ada sesuatu seperti itu di Pemukiman Rakyat." Anjani mengatakan nama yang diberikan oleh sekumpulan pejuang yang mengatas namakan kemerdekaan negeri ini, terhadap pemukiman kumuh.

"Aku dengar sesekali, tapi tidak sempat memastikannya," Septian meneguk ludah. "Sampai hari ini."

"Tidak sempat memastikan?" Anjani terdengar kaget sekali. "Kenapa?"

"Sehari sejak mereka menyelidiki masalah ini...." Septian berujar. "Semua sumber berita dari para pejuang lenyap tanpa jejak."

***

==============

Vorstenlanden: 

Daerah sekitar Jogja-Solo. Berasal dari bahasa Belanda Vorsten yang artinya Istana dan Landen yang artinya Wilayah. Dijuluki demikian karena ada dua keraton paling berpengaruh di Jawa Tengah berada di sana pada masa itu.

-

A/N:

Saya lemparkan sekali lagi misteri-misteri sekaligus beberapa info-dumping agar kalian bisa memahami misteri yang akan saya berikan di sini. Sekarang saya sibuk memaparkan tokoh-tokoh yang terlibat dan latar serta konflik yang mendasari semua ini, barulah nanti kita akan fokus ke konflik utama.

See you next chap. Jangan lupa vote dan komentar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro