10. Kunjungan Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi-pagi sekali, saat langit masih gelap, Banyak Seta telah bersiap meninggalkan rumahnya. Seperti biasa, perjalanan kali ini akan ditemani oleh dua anak buah paling setia, yaitu Sarba dan Kambang. Kedua pemuda itu merupakan saudara kandung. Nama mereka diambil dari daerah di mana keduanya dikandung dan dilahirkan. Sarba lahir saat ayahnya masih miskin dan menjadi buruh angkut di pelabuhan Sarba. Sedangkan Kambang lahir ketika penghasilan ayahnya sudah lebih mapan, yaitu menjadi pemilik warung makan di pelabuhan Kambang Sri. Mungkin karena itulah badan Kambang lebih tinggi dan lebih gagah dari Sarba. Otaknya juga lebih cerdas. Kemungkinan besar makanan yang didapat Kambang selama masih orok dan kanak-kanak lebih bergizi daripada sang kakak.[1]

Banyak Seta baru selesai mengenakan kain dan ikat pinggang. Ia sengaja memilih kain tenun kasar tua berwarna abu-abu. Barangkali dulu sewaktu kain itu masih baru, warnanya putih. Usia telah membuatnya menjadi kelabu. Senjata pusaka berupa keris pemberian Mpu Nadajna ia simpan dalam buntalan kain agar tidak mencolok karena mereka akan menyamar sebagai rakyat jelata. (bungkusan)

Keris pusaka semacam itu hanya dimiliki kalangan khusus yang biasanya memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Gagangnya kayu jati berukir. Hiasan di pangkal gagang terbuat dari kuningan berbentuk kepala angsa. Ada satu mata dari batu delima merah yang menjadi penanda bahwa keris itu menyimpan kekuatan gaib. Sarungnya juga berlapis kuningan yang dibubuhi hiasan ukiran angsa yang tengah terbang di antara awan.

"Angsa adalah hewan yang teliti dan setia. Berbangga hatilah menyandang lambang ini, Seta," ucap Mpu Nadajna kala menyerahkan keris itu bertahun yang lalu. "Sungguh sangat bijak bapamu memberi nama itu."

Banyak Seta remaja menghaturkan sembah sebelum menerima pusaka itu. Sang guru mengembuskan napas panjang. "Angsa putih ...."

Banyak Seta menengadah, menatap sang guru yang tiba-tiba tercenung. "Saya, Guru?" tanyanya.

"Ah, tidak mengapa. Kamu angsa putih yang akan memikul tanggung jawab besar. Tapi dari kamu nanti, lahir seorang besar di tanah Jawa."

Mpu Nadajna mengatakan itu di depan murid-murid lainnya. Ada Nambi dan Gajah Pagon yang saat itu baru beranjak dewasa. Gara-gara ucapan ramalan sang guru, ia kerap diolok oleh teman-temannya. Kata mereka, kalau ayahnya angsa, apa nanti anaknya? Mana mungkin jaran, singa, naga, atau gajah, bukan? Semua nama itu melambangkan kekuatan seorang "besar". (kuda)

Banyak Seta tidak memedulikan olokan itu. Ia memang tidak berambisi menjadi orang besar. Hasrat yang menggulung dalam dadanya sejak dulu adalah menjadi prajurit laut yang mengawal kedaulatan Singasari di Laut Jawa.

Banyak Seta menoleh ketika terdengar suara-suara dari ruang tengah. Ia mengintip sejenak dari celah pintu bilik untuk memastikan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Pekerjaan telik sandi yang diembannya selalu melibatkan mara bahaya. Seperti kali ini, tugas memata-matai besan raja bukan perkara sepele. Apalagi sebelumnya sebuah nyawa telah melayang. Bukan tidak mungkin pihak lawan berusaha menggagalkan tugasnya kali ini. Karena itu, demi alasan keamanan pula, ia memutuskan makan bersama di rumah utama yang tertutup ini, bukan di bangunan sebelah timur di mana terdapat ruangan terbuka yang luas. Dengan begitu kecil kemungkinan orang luar mencurigai kegiatan mereka di pagi buta ini.

Ternyata suara gaduh itu berasal dari Sarba yang selesai memasak dan sekarang membawa bakul kecil berisi nasi dan ikan panggang keluar dari dapur. Makanan itu kemudian diletakkan di balai-balai ruang tengah. Kambang menyusul di belakang kakaknya, membawa piring-piring dari tembikar dan sebuah mangkuk berisi telur rebus. Kedua anak buah itu semalam menginap di rumah Banyak Seta untuk mempersiapkan perjalanan mereka. Bekal berupa baju seadanya, sekantong beras, beberapa butir telur rebus, serta ikan kering telah dimasukkan ke dalam keranjang bambu besar yang nanti akan digendong di punggung. Mereka akan menyamar sebagai pedagang dari pedesaan lereng Gunung Arjuna yang tengah mencari barang dagangan di pasar-pasar sepanjang Sungai Brantas.

"Uang sudah kamu siapkan, Mbang?" tanya Sarba.

Kambang hanya menjawab dengan menepuk sabuk kain lebar yang melingkar dengan kokoh di pinggangnya.

"Jangan sampai jatuh di jalan," ucap Sarba.

"Aman!" ucap Kambang. Ia mendekat ke tempat duduk kakaknya. "Nanti kalau sampai Canggu, kita mampir di warung penjual daging rusa panggang di dekat pelabuhan, ya. Rasanya uenak sekali!"

Plak! Kepala berambut pendek Kambang dipukul oleh Sarba. "Siapa bilang kita mau ke Canggu?"

"Loh, tidak jadi ke sana? Katanya mau mencari keterangan dari orang Daha tentang kiriman senjata dari Lasem. Apa kita tidak mengambil jalan sungai?"

"Tidak. Kita akan lewat selatan, ke Tumapel, Kabalan, Simping, baru ke Daha."

"Kenapa begitu?"

"Tuan Seta memperkirakan serangan Kediri akan berasal dari selatan. Jadi, pasti ada tanda-tanda pemusatan prajurit di daerah selatan Singasari."

Kambang mengangguk-angguk. "Berarti, kita akan menyusuri Sungai Brantas dari hulu."

Sungai Brantas adalah urat nadi Singasari. Sungai yang mata airnya berasal dari Gunung Kelud itu mengalir melingkar dari selatan di daerah Lodaya, membelok ke utara di wilayah Daha atau Kediri, dan sesudahnya mengalir ke timur. Sebelum bermuara di pesisir timur Pulau Jawa, sungai ini pecah, bercabang dua. Satu cabang dinamakan Kali Mas yang bermuara di Selat Madura. Satu cabang lagi bermuara di daerah Pamotan. Di sepanjang aliran itu terdapat pelabuhan-pelabuhan sungai yang sekaligus menjadi tempat perdagangan. Kerajaan juga membangun pangkalan militer untuk menjaga keamanan di pelabuhan besar seperti Canggu.

Bisa dimengerti bahwa Sungai Brantas menjadi jalur penghubung perdagangan dari pesisir ke pedalaman. Kapal-kapal dagang dari mancanegara bersandar di pelabuhan laut seperti Kambang Putih, Sedayu, Gresik, dan Hujung Galuh. Dari situ, barang dagangan dipindahkan ke kapal yang lebih kecil dan dibawa ke pelabuhan-pelabuhan pedalaman di sepanjang sungai. Karena itu, sungai yang ramai diarungi orang adalah pertanda negeri yang makmur.

"Tuan Seta, sarapan sudah siap," panggil Kambang di depan pintu bilik Banyak Seta.

Banyak Seta membawa bungkusannya keluar, lalu duduk di balai-balai. Sarba dan Kambang memilih duduk di lantai.

"Sarba, Kambang, seperti biasa, setelah ini jangan memanggil Tuan, tapi Kakang." Banyak Seta mengingatkan tentang rencana penyamaran mereka.

"Baik, Tuan ... eh, Kakang Kembul," sahut Kambang.

Mendengar nama Kembul, Banyak Seta tidak jadi menyendok nasi. "Kembul? Jangan gunakan nama-nama yang kita pakai saat ke Girah dan Turus lagi."

"Saya sudah kehabisan nama, Tuan," kilah Sarba. "Sudah banyak sekali nama samaran yang kita buat."

"Bagaimana kalau ini saja, Dudus, Lulus, dan Tutus? Kita tiga bersaudara dari lereng Arjuna," usul Kambang.

"Jangan bodoh!" Sarba menjitak kepala adiknya.

"Loh, kenapa?"

"Siapa yang percaya kita kakak beradik? Lihat saja wajahmu dan wajah Tuan Seta berbeda bagai langit dan kubangan kerbau!"

Kambang kontan menyeringai. "Masih jauh lebih bagus wajahku, Kakang. Lihat saja wajah Kakang seperti kala kirtimukha."[2]

"Aku suka nama itu," cetus Banyak Seta untuk menyudahi perdebatan kakak beradik itu. "Baiklah. Aku Lulus. Sarba sekarang bernama Dudus. Dan kamu, Kambang, namamu Tutus."

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba, pintu diketuk. Sangat tidak biasa bila pada dini hari seperti ini ada orang datang berkunjung. Ketiga orang itu langsung siaga. Masing-masing meraih keris mereka. Sarba yang berbadan kecil dan ramping, mengendap dengan hati-hati ke sisi pintu. Banyak Seta dan Kambang merapat ke dinding dan berusaha mengintip dari sela-sela dinding kayu.

Di balik kegelapan, tiga sosok berdiri di depan pintu. Ketiganya menutupi kepala dengan caping lebar sehingga wajah mereka tidak tampak. Tubuh ketiganya juga dibalut sarung dari bahu ke bawah sehingga tidak jelas apakah mereka muda atau tua.

Tok! Tok! Tok!

Sekali lagi, pintu diketuk.

"Siapa di luar?" seru Sarba.

Untuk beberapa detik, tidak terdengar jawaban. Suasana mendadak berubah mencekam. Banyak Seta dan kedua prajuritnya mulai menghunus keris dengan sangat perlahan supaya tidak menimbulkan bunyi.

"Kanda Seta ...?"

Sebuah bisikan kecil di depan pintu membuat Banyak Seta terhenyak. Suara itu sangat tidak asing.

______________

[1] Sarba dan Kambang Sri adalah dua dari 34 pelabuhan di Sungai Brantas yang disebutkan dalam Prasasti Canggu, berangka tahun 1280 Saka.

[2] Kala kirtimukha adalah relief kala yang biasanya diletakkan di ambang atas pintu, jendela, atau relung pada candi. Kala adalah perwujudan banaspati, penjaga hutan, karena bangunan candi melambangkan gunung (meru) yangdipenuhi dengan hutan lebat. Kala digunakan untuk menangkal pengaruh jahat.


Kala kirtimukha pada Candi Kidal, yaitu candi pendharmaan Anusapati, Raja Singasari kedua. Sumber: website tripadvisor.co.id

Author's Note:

Berdasarkan Kitab Nagarakertagama, urutan raja-raja Singasari adalah sebagai berikut:
1.      Ranggah Rajasa (Ken Arok)
2.      Anusapati
3.      Wisnuwardhana (Ranggawuni)
4.      Kertanagara

Dari keempat raja itu, hanya Wisnuwardhana yang meninggal secara alamiah alias tidak mati terbunuh...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro