19. Informasi Penting

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perahu kecil bermuatan barang-barang dagangan milik Banyak Seta melaju mengarungi Sungai Brantas. Walau hari belum sepenuhnya terang, namun ia dan kedua anak buahnya mengawasi kondisi sekitar dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Bukan tidak mungkin musuh mengirim pasukan penyergap kedua untuk menghabisi mereka.

Banyak Seta duduk di buritan, di antara bakul-bakul berisi kemiri, garam, dan lada. Barang-barang itu sebagian besar masih bagus dan kering karena terlindungi oleh kain tebal dan anyaman tikar. Hanya dua bakul garam dan lima tempayan minyak kelapa pecah karena sabetan golok atau tusukan tombak yang salah sasaran.

Sementara Sarba dan Kambang mendayung perahu secepat mungkin, Banyak Seta membersihkan keris serta tombak-tombak mereka yang berlumuran darah. Sesekali diliriknya tawanan mereka yang duduk meringkuk di tengah perahu.

Prajurit tawanan yang kedua tangan dan kakinya terikat itu diam-diam memperhatikan sosok Banyak Seta dengan perasaan campur aduk. Ia belum bisa yakin pada janji lelaki itu. Tuan yang selama ini ia percaya sepenuh jiwa raga saja tega membunuh kakaknya, apalagi orang tak dikenal ini.

Banyak Seta tahu kegalauan si prajurit muda. "Jangan diam saja. Katakan siapa orang yang ingin menangkapmu tadi?" tanyanya.

Prajurit itu terlihat ragu. Pakaian Banyak Seta dan kedua temannya terlihat seperti pedagang biasa, namun wajah, sorot mata, serta gerakan mereka sangat jelas menunjukkan bahwa ketiganya terlatih ilmu kanuragan tingkat tinggi. Setahunya, ilmu seperti itu hanya dimiliki oleh prajurit pilihan yang dididik oleh para pendeta di kadewaguruan. Ia bingung mengapa anak didik pendeta menjadi penjahat?

"Mengapa Tuan menjadi perampok?" cetus pemuda itu tanpa berpikir panjang.

Sarba dan Kambang yang mendayung di depan sampai menoleh ke belakang karena keheranan.

"Heh, dasar bocah bodoh! Siapa bilang kami perampok?" sergah Sarba. Dijitaknya kepala tawanan itu.

"Auch!" Prajurit muda itu mengernyit kesakitan, namun tidak bisa berbuat apa pun karena kedua tangan dan kakinya terikat.

"Kalian ditugaskan untuk menghukum kami karena kami adalah perampok?" tanya Banyak Seta.

Pemuda itu mengangguk. "Itulah yang tuan saya katakan saat mengutus kami."

Mata Banyak Seta sontak memicing. Tubuhnya condong ke depan sehingga wajahnya tepat berada di depan wajah prajurit muda. "Hm, kalian pasukan mana? Kediri?"

Mimik wajah tawanan itu seperti orang bingung. "B-bukan!"

"Bukan? Lantas dari perguruan mana kalian? Jangan-jangan kalianlah gerombolan begal yang selama ini dicari Singasari," tuduh Banyak Seta untuk memancing informasi.

Umpannya ternyata dimakan si tawanan. Ia terlihat panik. Banyak Seta tersenyum sambil menepuk bahunya.

"Katakan saja. Nyawamu sekarang ada di tanganku. Kamu boleh memilih, kubebaskan tapi diburu sampai mati seperti kakakmu, atau mengatakan semua yang kamu tahu dan kamu akan hidup sebagai abdiku," ucap Banyak Seta.

"Ja-jadi Tuan bukan perampok?" tanya di pemuda lagi. Kepalanya langsung kena jitak oleh Sarba.

"Bocah kurang ajar! Kami utusan Paduka Dyah Wijaya, menantu Raja Kertanagara, calon raja Singasari!" sergah Sarba.

Si prajurit terbelalak kaget. Rupanya, informasi yang ia dapat selama ini sangat salah. "Ampun, Tuan. Tapi, Tuan Waring memberi tahu kami seperti itu," gagapnya.

"Aha! Jadi orang yang mengutusmu bernama Waring?" cetus Sarba. "Apa dia orang yang memburumu tadi?"

Si pemuda mengangguk. Banyak Seta semakin penasaran dengan informasi baru itu. Siapa sebenarnya orang yang berada di balik penyerangan semalam?

"Siapa namamu?" tanya Banyak Seta.

"Pulung, Tuan," sahut si tawanan.

"Dari mana asalmu?"

"Dari lereng Gunung Merapi, Tuan, tapi sudah lama bapa saya pindah ke Simping."

"Kamu bukan dari Kediri?"

"Bukan, Tuan."

Banyak Seta mengangguk-angguk. "Pulung, apa saja yang tuan kalian katakan selama ini?"

"Kami diambil dari desa-desa, Tuan. Kata Tuan Waring, kami akan dijadikan pasukan untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan."

Banyak Seta mengernyit mendengarnya. "Kejahatan? Seperti apa itu?"

"Negara Singasari sekarang rapuh akibat para pejabat yang menyeleweng, Tuan. Mereka bukannya membasmi para begal dan perampok, tapi malah melindunginya. Oleh karena itu, kami ditugaskan untuk melindungi rakyat kecil dan membasmi musuh negara," cicit Pulung. Ada keyakinan dan kebanggaan dalam kata-katanya.

Banyak Seta semakin keheranan. Setahunya, rakyat Singasari dalam kondisi aman dan sejahtera. Semenjak Raja Kertanagara menjalankan strategi mandala dwipantara yang menjadikan Singasari penguasa atas seluruh perairan nusantara, perdagangan rempah-rempah dari daerah timur sepenuhnya dikuasai oleh Singasari. Dengan demikian, orang mancanegara harus berniaga dengan Singasari bila ingin mendapatkan pasokan rempah dalam jumlah besar dengan kualitas yang baik secara stabil. Hal ini membuat rakyat Singasari semakin makmur. Sungguh aneh bila ada orang mengatakan Singasari tidak sejahtera.

"Siapa yang mengatakan itu padamu? Pejabat Kediri?" tebak Banyak Seta.

Pulung terlihat ragu. "Saya tidak tahu, Tuan. Ada bangsawan tinggi yang sesekali datang ke tempat kami. Tapi, kami tidak diberi tahu dari mana beliau."

"Dari mana kamu tahu dia bangsawan?" tanya Sarba.

"Tuan Waring yang mengatakan itu."

"Pulung, di mana tempat pelatihan kalian?" tanya Banyak Seta.

Pulung mengerjap dan semakin pucat. "Sa-saya tidak boleh memberi tahu siapa pun, Tuan."

"Hey, Pulung! Kamu sudah dibodohi. Kalian dilatih bukan untuk membasmi pejabat yang menyeleweng dan para begal. Kalian akan dikirim untuk memberontak terhadap Raja Kertanagara," ucap Banyak Seta dengan nada tegas.

Mata Pulung melebar dan terlihat sangat syok. "Tidak! Tidak mungkin! Kami bukan pemberontak!"

"Bagaimana tidak? Panji-panji yang dipasang di tempat pelatihan kalian warnanya merah putih, bukan?" Banyak Seta sebenarnya hanya menebak. Namun, akibatnya ternyata mencengangkan. Pulung ternganga. [1]

"Bagaimana Tuan tahu?"

Banyak Seta mulai memahami situasi. Pasti kelompok militan ini sengaja dibentuk untuk menjatuhkan pemerintahan Raja Kertanagara dan menghancurkan Singasari.

"Tentu saja aku tahu! Aku sudah menyelidiki Kediri cukup lama. Panji merah putih adalah lambang pasukan Kediri. Coba kamu pikir, mengapa orang Kediri sampai mengutus pasukan khusus ke Kabalan di Singasari? Kamu tahu?"

Pulung menggeleng dengan kalut. "Tidak, Tuan. Kami bukan pasukan Kediri."

"Apa maksudmu bukan pasukan Kediri?" sentak Banyak Seta. "Lantas, pasukan mana kalian?"

Pulung terlihat kebingungan menjawab. Selama ini, mereka hanya tahu dilatih dan dibayar untuk menjadi prajurit penjaga keadilan. Mereka akan menjalankan misi untuk membersihkan negeri ini dari keserakahan pejabat-pejabat Singasari. Karena tujuan mulia itu, ia tidak pernah mempertanyakan siapa yang menggajinya.

Banyak Seta memahami kebingungan prajurit belia itu. Diraihnya golok prajurit air yang tertinggal di perahu, lalu diacungkan ke depan wajah Pulung. "Lihat, golok kalian ini bukan buatan daerah sini. Kamu tahu dari mana asal senjata kalian?"

Pulung menggeleng dengan lemas. "Tidak, Tuan."

"Senjata-senjata ini didatangkan diam-diam dari Campa dan Bakula Pura melalui Lasem. Jumlahnya sepuluh kapal. Bukan main banyaknya. Kamu tahu, siapa yang memerintahkan pembelian senjata ini?"

Sekali lagi Pulung menggeleng lemah. "Tidak, Tuan."

"Raja Jayakatwang," sahut Banyak Seta. "Negara bawahan seperti Kediri seharusnya tidak membutuhkan senjata sebanyak itu. Kamu pasti bisa menebak sekarang. Bila seorang raja bawahan mulai mengumpulkan senjata dan melatih pasukan, apa yang akan terjadi setelahnya?"

Pulung tertegun. Keterangan Banyak Seta membuatnya kaget. "Maksud Tuan kami akan ...?"

Banyak Seta menatap tajam. "Ya! Kalian akan dikirim menyerbu Singasari!"

Mendengar itu, Pulung gemetar. Siapa yang tidak gentar bila harus berhadapan dengan pasukan Singasari? "Sa-saya bukan pemberontak! Bukan!"

Banyak Seta kembali menepuk bahu Pulung. "Karena itulah, jangan mati sia-sia seperti kakakmu. Beri tahu aku di mana kalian dilatih."

"Baik, Tuan. Saya akan membawa Tuan ke sana. Tapi, saya mohon ampuni nyawa saya," pinta Pulung akhirnya.

☆☆☆

Perjalanan menggunakan perahu yang tenang dan damai tidak berlangsung lama. Segera setelah matahari muncul di langit, aktivitas penduduk sekitar di Sungai Brantas dimulai. Banyak Seta memutuskan menyembunyikan tawanan mereka di balik tumpukan barang, lalu menutupnya dengan tikar. Sementara itu, ia dan kedua anak buahnya menutupi wajah dengan kain tapih dan caping. Setiap berpapasan dengan perahu lain, dua di antara mereka akan rebah di lantai dan bersembunyi di balik tikar. Setelah semua aman, mereka kembali mendayung secepat mungkin.

Menjelang sore, mereka berhasil mencapai daerah pinggiran Kabalan. Demi menghindari terlihat oleh banyak orang, Banyak Seta meminta Sarba dan Kambang menambatkan perahu di sebuah ceruk yang terlindung, lalu mereka naik ke darat. Di hutan pinggiran sungai itu, mereka menunggu petang datang, lalu melanjutkan perjalanan di kegelapan malam. Dengan cara itu, perahu Banyak Seta berhasil melintasi Kabalan tanpa diketahui orang-orang.

Mereka melakukan perjalanan diam-diam itu selama dua hari dua malam. Pada pagi ketiga, perahu kembali ditambatkan di sebuah ceruk. Mereka akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Berdasarkan petunjuk dari Pulung, pusat pelatihan prajurit rahasia itu terletak di hutan, di antara Kabalan dan Simping.

"Kita tidak jadi mampir di tempat Kakang Piyung?" tanya Kambang. Ia sebenarnya merindukan masakan rumahan seperti oseng kangkung, pepes ikan, dan telur dadar. Selama perjalanan ini, menu mereka hanya nasi, talas rebus, dan ikan asin.

"Tidak perlu. Keterangan yang kita dapat sudah cukup," sahut Banyak Seta.

"Ikan asin kita hampir habis," sahut Kambang yang memang doyan makan.

"Masak saja dendengnya," ucap Banyak Seta.

Mata Kambang melebar. "Boleh, Tuan? Bukankah itu barang dagangan?"

"Barang dagangan? Lucu sekali kamu!" sambar Sarba. Bukankah barang-barang itu hanya pelengkap penyamaran saja?

"Oooh! Kakang benar sekali! Kalau begitu, nanti aku masak yang banyak!" sahut Kambang dengan gembira. Otaknya segera membayangkan aroma harum dendeng ikan dan kambing sehingga liurnya membuncah.

"Sssh, diam!" bisik Banyak Seta. Telinganya mendengar pergerakan di antara perdu-perdu hutan. "Berlinduuung!" pekiknya tiba-tiba.

Banyak Seta dan kedua abdinya meloncat ke balik pohon. Pulung yang tidak sigap, ditarik oleh Kambang sehingga rebah di tanah.

Bersamaan dengan itu, dari arah kanan, berdesing anak-anak panah di udara, menembus dedaunan dan lebatnya perdu-perdu. Sebagian menancap di batang pohon. Sebagian lagi hanya menembus udara karena Banyak Seta dan rombongannya telah mengamankan diri di balik batang pohon.

Keempat orang itu merunduk dalam diam. Indra Banyak Seta mendengar suara-suara orang berlari ke arah mereka. Ia segera memerintahkan Sarba dan Kambang berpencar diam-diam. Ia sendiri bergerak hati-hati, memutari arah datangnya anak panah, sambil membawa Pulung.

Dari tempat pengintaian, Banyak Seta dapat melihat lima orang bergerak mendekati lokasi Sarba dan Kambang tadi bersembunyi.

"Kamu kenal mereka?" bisik Banyak Seta.

"Tidak, Tuan," balas Pulung.

"Jangan bohong!"

"Benar, Tuan. Saya tidak pernah melihat mereka di tempat pelatihan."

Keterangan itu membuat Banyak Seta menduga ada lebih dari satu pusat pelatihan prajurit rahasia. Apakah mereka satu pimpinan, Banyak Seta tidak yakin. Kemungkinan bukan hanya Kediri yang menginginkan keruntuhan Singasari. Kabarnya, Arya Wiraraja di Sumenep pun menaruh dendam pada Raja Kertanagara karena tidak mendapat jabatan yang layak di istana, tapi malah dikirim ke Madura.

Banyak Seta mencabut keris dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Mendadak, terdengar bunyi berdebum keras dari arah belakang. Saat menoleh, matanya terbelalak. Seorang lelaki tengkurap di tanah, berjarak satu tombak darinya. Melihat sosoknya, lelaki itu seorang pemanah karena di bagian punggung terdapat tempat penyimpanan anak panah. Sebuah busur juga tergeletak tak jauh dari situ.

Hal yang membuat Banyak Seta bingung adalah sebuah anak panah menancap di pinggang lelaki malang itu. Kemungkinan, anak panah itulah yang membunuhnya. Akan tetapi, siapa yang melakukan itu?

Pertanyaan Banyak Seta segera terjawab. Seseorang muncul dari balik rimbunan perdu, lengkap dengan busur yang teregang.

"Diam di tempat!" Orang itu mengarahkan anak panah ke kepala Banyak Seta.

Banyak Seta terpana. Bukan karena mata panah yang siap melubangi batok kepalanya, melainkan karena si pemanah itu seorang gadis!

________________

[1] Menurut prasasti Kudadu, panji-panji merah putih digunakan oleh pasukan tempur Jayakatwang yang menyerang Singasari. Jayakatwang adalah Raja Kediri, yaitu kerajaan di bawah kekuasaan Singasari



Author's Note
Fura barusan mengganti nama Tanjungpura di Bab 2, 8, dan 19 dengan Bakula Pura. Ternyata, di zaman Singasari dan Majapahit, Tanjungpura dikenal dengan nama Bakula Pura. Sumber: Kakawin Nagara Krtagama, wirama 42/159

= Bersambung =


Ada yang kangen Gayatri? Tunggu besok, ya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro