29. Kunjungan Tengah Malam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Malam ini adalah kedua semenjak Banyak Seta dan kedua abdinya dikurung dalam penjara. Selama itu pula Gayatri tidak sanggup menelan apa pun dan tidak bisa terpejam. Peristiwa ini mengingatkannya pada mimpi buruk beberapa waktu yang lalu. Istana Singasari terbakar beserta raja dan seluruh pejabat tinggi. Mimpi itu bahkan berulang. Pada malam lain, ia melihat air bah berwarna hitam pekat menyapu habis istana raja. Api sering melambangkan angkara murka, sedangkan air bah hitam sering ditafsirkan sebagai bencana yang membawa banyak kematian. Bukankah bila keduanya digabungkan bisa dianggap peringatan akan datangnya peristiwa mengerikan? Apakah mahapralaya yang melanda Kerajaan Medang dan menewaskan Raja Dharmawangsa Teguh beserta seluruh keluarganya akan terulang kembali?

Gayatri berpikir keras untuk menduga asal ancaman. Angkara murka yang mendatangkan banyak kematian bisa berarti serangan pasukan perang. Ia belum melupakan peristiwa berdarah saat ayahandanya menolak tunduk kepada Kerajaan Mongol. Dengan penuh kepercayaan diri, Raja Kertanagara mengecap wajah utusan Mongol dengan besi panas layaknya pencuri serta memotong telinganya. Sesudah itu, sang raja mengusirnya tanpa belas kasihan. Benar-benar tindakan yang sangat berani dan terkesan ceroboh. Namun, Gayatri tahu ayahandanya melakukan itu bukan tanpa perhitungan. Saat ini, armada tempur laut Singasari telah menguasai perairan dari Selat Malaka di barat hingga Kepulauan Gurun di Timur. Di darat, mereka berhasil menundukkan kerajaan-kerajaan kuat di nusantara seperti Sriwijaya dan Bali. Singasari telah menjelma menjadi kerajaan adidaya di wilayah perairan selatan. Ayahandanya yakin dengan memperkuat pertahanan laut, mereka bisa membendung serbuan pasukan Kubilai Khan. Praktis ancaman satu-satunya saat ini hanya berasal dari Mongol.

Rasa cemas menyelimuti kalbu Gayatri karena ia punya pertimbangan lain. Mongol adalah kekaisaran raksasa. Walau kabar angin menyebutkan Kaisar Kubilai Khan sibuk memberantas pemberontakan di daratan Cina dan melebarkan kekuasaan ke barat, tetap saja, armada tempur mereka sangat banyak. Dengan pengaruh kekuasaan dan kekayaan, mereka bisa menggalang pasukan dari Campa dan sekitarnya. Barangkali tak lama lagi, kapal-kapal Mongol akan segera melintasi Laut Jawa dan mendarat di pesisir utara.

Putri muda itu berjalan melintasi kamar, menuju sebuah lemari di sudut. Ia mengeluarkan sebuah kotak dari kayu cendana yang berukir indah dan beraroma harum. Niat hati ingin mengambil Sandyasa Lebu yang tersimpan di dalamnya, namun entah mengapa ia meragu.

Malam sebelum kepulangan Banyak Seta di ibukota, ia mendapat kunjungan tamu istimewa. Tidak tahu dari mana datangnya, lelaki bertapih putih itu mendadak telah bersimpuh di lantai kamarnya. Kulit yang kuning terang serta ikat kepala putih membuat wajah Mpu Sambi terlihat agung dan berwibawa. Gayatri tidak heran karena ia merasa sang empu bukan manusia biasa, melainkan makhluk setengah gaib.

"Mpu Sambi?" seru Gayatri yang terperanjat. Ia baru membuka mata setelah bersemadi tengah malam.

Mpu paruh baya itu tersenyum lembut sambil mengangguk hormat. "Mohon Paduka Putri jangan bersuara terlalu keras. Semua dinding istana ini memiliki telinga."

Gayatri beringsut mendekat, lalu duduk bersimpuh di depan sang Mpu. "Mpu, ada keperluan apa sampai Mpu mengunjungi saya?"

Mpu Sambi mengambil kotak kecil dari samping tempat duduknya. Kotak itu terbuat dari cendana dan di atas tutupnya diukir lambang kerajaan Singasari. "Hamba mohon simpanlah ini, Paduka Putri."

Gayatri mengenali kotak tersebut dan matanya segera membulat. "Sandyasa Lebu?"

"Hamba mendapat penglihatan yang genting. Hamba harap, Paduka Putri segera memberitahukan isi Sandyasa Lebu kepada orang yang Paduka pilih."

Sejenak, Gayatri mengelus kotak itu dan berpikir keras. Firasat buruknya kembali mencuat ke permukaan. "Mpu, apakah kedatangan Mpu berkaitan dengan mimpi yang saya alami akhir-akhir ini?"

Mpu Sambi mengangguk. Kali ini, mata teduhnya meredup. "Besok, Paduka Putri harus menemui Tuan Seta."

Gayatri terperanjat. "Apakah Sandyasa Lebu ini harus diberikan padanya, Mpu?"

Sekali lagi, Mpu sambi mengangguk, lalu menggeleng. "Hamba tidak yakin. Hanya hati Paduka Putri yang bisa menjawabnya. Tapi, temuilah Tuan Seta esok."

"Bagaimana dengan mimpi saya? Dari mana datangnya bencana yang melanda negeri ini?" tanya Gayatri lirih.

Mpu Sambi mengembuskan napas berat. Mata hitamnya semakin menyorotkan kesedihan. "Maafkan penglihatan hamba terbatas. Hamba hanya tahu ancaman itu datang dari selatan, bukan utara seperti yang diperkirakan semua petinggi kerajaan selama ini."

"Apakah itu berarti bukan pasukan Mongol yang akan menghancurkan istana Singasari?" Gayatri semakin diliputi kegalauan.

"Mongol tidak akan datang dari Selatan, Paduka," sahut Mpu Sambi dengan nada sedih. "Sayang sekali, hamba sudah mengingatkan Paduka Raja tentang ancaman ini, tapi Paduka Raja terlalu percaya diri. Untuk itulah hamba menghadap Paduka Putri."

Gayatri mendengkus lirih. "Mengapa ayahanda tidak percaya?"

"Menurut Paduka Raja, tidak ditemukan ancaman apa pun dari selatan."

Gayatri pun tidak bisa menemukan pihak yang bisa menyerang istana dari selatan. Namun, siapa tahu ada pengkhianat di dalam istana.

"Siapa saja yang bisa menjadi musuh ayahanda, Mpu?"

"Setelah Bali dan Swarnadwipa tunduk, ancaman dari luar pulau sudah tidak ada lagi. Sedangkan di Pulau Jawa sendiri ...." Mpu Sambi agak ragu sehingga terpaksa jeda sejenak. "Paduka pasti bisa memperkirakan siapa saja yang bisa menjadi lawan Paduka Raja."

Wajah ayu Gayatri berubah tegang. "Yang masih memungkinkan menjadi lawan ayahanda adalah keturunan kandung Paduka Ranggah Rajasa[1] dan wangsa lain yang lebih dulu ada di tanah Jawa. Bukan begitu, Mpu?"

Mpu Sambi mengangguk. "Benar. Paduka Raja Kertanagara memang bukan keturunan kandung Paduka Ranggah Rajasa."[2]

Gayatri mengerutkan kening. "Kalau begitu, apakah darah Rajasa akan menjadi ancaman, seperti dulu Kakek Buyut Anusapati dibunuh oleh Kakek Tohjaya?"

"Bisa jadi, Paduka."

Bagi Mpu Sambi, hutang karma bisa turun-tumurun. Ranggah Rajasa naik tahta setelah membunuh Tunggul Ametung. Ranggah Rajasa kemudian dibunuh Anusapati, putra Tunggul Ametung. Putra Ranggah Rajasa, Tohjaya, membalaskan kematian ayahnya, tapi kemudian dibunuh oleh putra Anusapati, yaitu Ranggawuni atau Wisnuwardhana. Akankah kutukan berdarah itu terulang lagi kini?

"Tapi, Mpu, satu-satunya darah Rajasa yang paling berpengaruh saat ini adalah Kanda Wijaya. Sangat tidak mungkin Kanda Wijaya mengkhianati ayahanda."

Mpu Sambi tersenyum lembut. "Benar sekali. Paduka Wijaya pasti akan memerintah bersama Paduka Tribhuwana. Sudah pasti, ancaman itu bukan berasal dari beliau."

"Bagaimana dengan Wangsa Isyana?" telisik Gayatri.

"Wangsa Isyana sudah lama mendambakan kembalinya kejayaan Raja Airlangga. Hamba justru menduga, ancaman itu berasal dari mereka." Suara Mpu Sambi sangat lirih, seperti takut didengar orang lain.

Mata Gayatri membulat. "Wangsa Isyana yang tersisa saat ini adalah Paman Jayakatwang, Raja Kediri."

"Sangat mungkin beliau, Paduka."

Gayatri menggeleng. "Saya tidak yakin. Ayah Paman Jayakatwang, Kakek Sastrajaya, adalah sepupu Kakek Wisnuwardhana. Permaisurinya adalah adik ayahanda. Dan lagi, putra Paman Jayakatwang sekarang sudah menjadi menantu ayahanda. Bagaimana mungkin ancaman itu berasal dari Paman Jayakatwang?"

Mpu Sambi terdiam sejenak. "Semuanya masih kabur, Paduka. Karena itulah, hamba mohon Paduka segera bertemu dengan Tuan Seta. Besok siang, Tuan Seta akan sampai di istana ini."

Gayatri mendesah panjang. Sungguh menyedihkan, amanat Mpu Sambi tidak bisa terlaksana dan malah menjadi bencana bagi Banyak Seta. Pesan dari mimpinya masih menjadi teka-teki sampai saat ini.

Kotak cendana pun dikembalikan dengan hati-hati ke dalam lemari. Gayatri membalikkan badan, hendak berbaring di peraduan. Saat itulah, matanya tertumbuk pada sosok yang bersimpuh di tengah kamar.

"Hah? Siapa kamu?" pekik Gayatri. Ia sampai terjingkat saking kagetnya.

Sosok itu menghaturkan sembah. "Maafkan, hamba telah lancang memasuki kamar Paduka."

Gayatri membuka mulut, hendak memanggil pengawal, namun sosok itu malah bersujud dan mohon ampun.

"Ampun, Paduka. Jangan memanggil penjaga karena hamba membawa pesan Tuan Seta."

Dalam hati, Gayatri diam-diam mengeluh. Dua abdinya dibunuh. Emban gadungan bisa masuk ke kediamannya. Bahkan kini seorang perempuan tak dikenal menyelinap ke kamar tidur! Pasti ada yang sangat salah di istana ini.

"Kamu sangat lancang masuk ke kamarku. Bagaimana mungkin aku percaya padamu?"

Gayatri mengamati perempuan itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Usianya masih muda, mungkin sebaya dengannya. Badannya padat dan memiliki buah dada yang membusung indah. Wajahnya bulat telur dan kulitnya halus seperti bayi. Secara keseluruhan, gadis ini sangat cantik. Tentu saja, Gayatri yakin dirinya lebih cantik. Ia tidak perlu bersaing dengan perempuan tak dikenal ini.

Gadis itu menarik keris dari pinggang, lalu mempersembahkannya kepada Gayatri. "Hamba diminta menyerahkan keris Tuan Seta kepada Paduka."

"Keris ...?" Tangan Gayatri gemetar saat menerima benda pusaka itu. Ia mengenali ukiran angsa terbang di bagian sarung. Perasaan rindu bercampur pilu sontak menghantam dadanya. Ia langsung terduduk lemas. Desahan lirih serupa rintihan keluar dari bibir mungilnya. "Kanda Seta ...."

Gayatri terisak lirih. "Katakan, mengapa keris ini diberikan padaku? Apakah Kanda Seta sudah ... sudah tiada?"

_____________

[1] Ranggah Rajasa adalah raja pertama Singasari menurut Kitab Nagarakertagama. Dalam Kitab Pararaton, nama kecil Ranggah Rajasa adalah Ken Arok.

[2] Menurut Kitab Pararaton, Kertanagara dan Gayatri adalah keturunan Ken Dedes dari suami pertama, yaitu Tunggul Ametung. Sedangkan Dyah Wijaya adalah keturunan Ken Dedes dari suami kedua, yaitu Ken Arok.

[3] Wangsa Isyana dibangun oleh Mpu Sindok dan mencapai puncak kejayaan sebagai Kerajaan Medang di Jawa Timur. Kerajaan Medang yang hancur dalam mahapralaya dibangun kembali oleh Airlangga menjadi Kerajaan Kahuripan, yang kemudian dipecah menjadi dua, Janggala (di daerah Sidoarjo) dan Panjalu/Kediri (di daerah Kediri). Di kemudian hari, Janggala surut sedangkan Kediri terus berkembang sampai akhirnya ditaklukkan oleh Ken Arok dan menjadi kerajaan bawahan Singasari.

Author's Note:

Fura mencermati percaturan politik di zaman Singasari. Ternyata sangat mengharu biru, Sobat. Panas dan penuh gejolak. Pergantian pemimpin di Singasari adalah yang paling berdarah di antara kerajaan-kerajaan di tanah Jawa. Namun ada satu hal yang Fura temukan, yaitu selalu ada orang-orang hebat yang muncul di setiap kekacauan untuk menjawab tantangan zaman.

Jangan menyerah dan berhenti berharap untuk negeri ini, ya Sobat.
Nenek moyang kita adalah bangsa adidaya!

Yuk, belajar sejarah.
Mencermati masa lalu untuk menapaki masa depan tanpa ragu.

Peta kekuasaan Singasari
Sumber: Wikipedia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro