47. Kasurangganan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Banyak Seta mengamati gadis bertapih biru yang kini sibuk menghaluskan bumbu sambil sesekali mengipasi api di tungku yang terbuat dari susunan bata merah dan memiliki empat mata pembakaran. Sebenarnya cukup aneh gubuk sekecil ini memiliki tungku sebesar itu.

"Katakan, tempat apa ini!" seru Banyak Seta yang tak dapat menahan rasa curiganya. Sementara itu, ia berusaha menahan rasa nyeri yang menyergap di bahu, dada, dan perut.

Si gadis hanya menoleh sekilas tanpa ekspresi, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Setelah memasukkan bumbu ke kuali berisi bebek, ia mengambil bungkusan daun pisang dari sebuah keranjang bambu. Isinya ikan panggang utuh yang diberi tusukan bambu dari mulut hingga perut. Ia mencuci ikan itu, lalu meletakkannya di atas tungku dan mengolesi permukaannya dengan minyak kelapa. Aroma sedap ikan panggang yang dipanaskan pun segera memenuhi ruangan.

Kambang tergopoh bangkit dan mendekati tungku. "Dik, biar aku saja yang memanggangnya."

Ucapan Kambang bernada ramah dan akrab sehingga membuat Banyak Seta ternganga. Anak buahnya mendadak dekat dengan musuh Singasari? Kapan mereka berkenalan?

"Ada apa ini?" Ditatapnya Sarba dengan sorot mata setajam pedang. Ia hendak bangkit berdiri, namun rasa nyeri tadi tiba-tiba menyengat dan membekukan gerakannya. Ia sampai mengernyit dan menekan dada.

Sarba langsung khawatir. "Jangan banyak bergerak dulu. Perdarahan Tuan belum lama berhenti. Saya takut lukanya terbuka lagi."

Sarba menunjuk bahu dan punggung Banyak Seta yang terbebat kain. "Tuan juga terluka dalam di bagian dada dan perut."

Banyak Seta meraba dada dan perutnya yang hanya terlihat memar, seperti luka Kuwuk. Pukulan Kebo Mundarang tidak melukai kulit, namun menyerang organ dalam. Sungguh malang, Kuwuk tidak mempunyai pertahanan sekuat dirinya sehingga tidak mampu menahan serangan itu.

Banyak Seta kemudian duduk bersila, bersandar dinding, dan memulai meditasi. Melihat itu, Sarba segera menahannya.

"Mm, Tuan mau semadi sekarang? Lebih baik makan dulu, Tuan. Sudah satu hari dua malam Tuan tidak menelan apa pun."

Wajah Banyak Seta yang semula sudah tenang, kini kembali tegang. Matanya terbeliak maksimal. "Apa? Dua malam?"

"Iya. Sekarang ini pagi kedua kita di sini,"

Banyak Seta langsung panik. Ia harus mengamankan Dyah Wijaya dan putri-putri sang raja dan malah terbaring di tempat asing ini selama dua malam?

Paduka Gayatri ....

Wajah Gayatri pun mengambang dalam pikiran dan langsung memperparah rasa sesak di dadanya. Ada sebentuk rasa sesal mengapa pada malam nahas itu ia tidak meminta ayahnya untuk mencari Gayatri sebelum pergi ke utara. Ia tidak melakukannya karena terlalu malu mengakui perasaan terlarang di hadapan orang-orang, terutama sang ayah.

Banyak Seta kembali ke posisi semadi dan masuk dalam keheningan untuk mendeteksi keberadaan kerisnya. Bila pusaka itu masih di tangan Gayatri, ia yakin akan menemukan gadis itu dengan mudah.

Setelah semadi selama dua puluh tarikan napas, Banyak Seta tetap tidak menemukan Gayatri. Keberadaan gadis itu lenyap seperti asap yang tertiup angin. Yang ia dapati justru lokasi kerisnya. Benda pusaka itu berada di ... tempat ini!

"Hei!" Banyak Seta membuka mata dan langsung meneriaki gadis bertapih biru. Suara keras itu membuat seisi ruangan menoleh padanya, termasuk orang yang dipanggil.

Sejenak keheranan karena diperlakukan kasar, si gadis beranjak meninggalkan tungku, menuju sudut lain dari gubuk. Di tempat itu terdapat beberapa keranjang bambu dan tempayan, yang entah apa sisinya.

Merasa tidak digubris, Banyak Seta menjadi kesal. "Hei, kamu!"

Suasana gubuk berubah tegang. Sarba beringsut mendekati tuannya, lalu berbisik, "Tuan, namanya Runi."

Banyak Seta tidak bisa menutupi kegusaran. Ia sudah kehilangan Gayatri dan kini kerisnya malah berada di gubuk ini. Dengan menahan rasa sakit, ia meraih tombak Ranggah Rajasa dan mengarahkan ujungnya ke punggung gadis yang tengah mencari sesuatu di tumpukan keranjang bambu.

Melihat gelagat buruk itu, Sarba dan Kambang segera menahan tangan tuannya. "Sabar, sabar, Tuan!" pinta keduanya.

Gadis bernama Runi itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ancaman tombak Banyak Seta. Setelah menemukan benda yang dicari, ia membalikkan badan dan menatap lurus-lurus panglima muda itu.

"Tuan mencari ini?" Runi mengulurkan bungkusan kain putih yang bentuknya ramping memanjang.

Kemarahan dalam mata Banyak Seta meredup. Tombak Ranggah Rajasa pun ditarik. Tangannya kemudian meraih bungkusan itu. Tanpa membuka penutup kainnya pun, ia tahu isinya adalah keris Mpu Cakrangga miliknya.

"Bagaimana Mpu Cakrangga bisa berada di tanganmu? Seharusnya pusaka ini dibawa oleh Paduka Gayatri," cecar Banyak Seta.

Runi mendengkus lirih karena kecurigaan Banyak Seta itu menyakiti hatinya. Namun, ia maklum karena selama ini ia selalu menyembunyikan jati dirinya.

"Bukalah," ucap Runi dengan nada datar.

Banyak Seta membuka bungkusan dan menemukan kain kecil melilit sarung Mpu Cakrangga. Kain itu sepertinya berasal dari potongan selendang sutra berwarna kuning yang ujungnya bersulam hiasan bunga berkelopak empat, yaitu motif hiasan kawung yang sering disulamkan pada selendang Gayatri.

Ada rasa yang bertalu di sudut hati Banyak Seta. Sentuhan pada kain sutra itu meletupkan kerinduan yang membuat hatinya haru biru. Jika bisa, ia ingin berlari menyusul untuk melindungi gadis itu dengan nyawanya.

"Saya menemukannya di dekat Tuan pingsan malam itu," ujar Runi lagi, sementara Banyak Seta membaca tulisan yang tertera di potongan selendang.

"Tawangalun ...." Banyak Seta menemukan huruf-huruf yang ditulis acak-acakan. Mungkin Gayatri tengah terburu-buru saat membuatnya.

"Paduka Putri pasti mengirim keris itu kembali kepada Tuan untuk memberi tahu ke mana beliau pergi," ucap Runi lagi.

Alih-alih percaya, Banyak Seta malah mengerutkan kening mendengar penuturan itu. "Jangan bohong! Paduka Putri tidak punya kesaktian untuk mengirim keris ini! Apa yang sudah kamu perbuat padanya, ha?"

Kembali dituduh tanpa dasar, Runi meradang juga akhirnya. Wajahnya memerah dan matanya berkilat.

"Baik! Kalau kamu memang mengajak bermusuhan, AYO KITA BERKELAHI DI LUAR!" hardik Runi dengan suara nyaring yang membuat telinga mendenging.

Gadis murka yang berkacak pinggang dan membusungkan dada tepat di hadapannya itu, membuat Banyak Seta terhenyak. Pipi bulat kemerahan yang berpadu dengan bibir ranum yang manyun panjang, serta mata membulat lebar justru membuat penampilan Runi seperti pemain pertunjukan lawak di alun-alun ibukota. Selain itu, baru kali ini ia menemukan gadis yang berani menantangnya. Gayatri saja tidak pernah berbuat senekat itu.

"Aku tidak berkelahi dengan perempuan," balas Banyak Seta dengan lebih lembut, setelah berhasil mengatasi kekagetannya.

Runi mengeratkan rahang dan mendesis keras. Sesudah itu, ia kembali ke tungku untuk mengangkat ikan panggang dari api. Dilemparnya ikan itu ke Kambang.

"Suruh tuanmu makan!"

Setelah mengatakan itu, ia pergi keluar. Entah ke mana.

"Aduh, Tuan! Jangan menuduh yang tidak-tidak pada Runi. Dia itu bukan orang sembarangan," ucap Sarba sambil menarik Banyak Seta agar duduk kembali di tikar.

"Dari mana kamu kenal dia?" cecar Banyak Seta. Ia masih belum bisa membuang kecurigaan.

"Dia yang menyelamatkan kita semua setelah dilempar oleh Paduka Raja, lalu membawa kita ke tempat ini," ucap Sarba lagi. "Tuan waktu itu terluka parah dan tak kunjung siuman. Kami bergantian membawa Tuan dengan tandu selama sehari semalam. Baru menjelang tengah malam tadi kita sampai di tempat ini."

Banyak sekali hal tidak masuk akal berkelindan dalam benak Banyak Seta. "Bagaimana dia bisa menemukan kita?"

"Karena pusaka Tuan," jawab Sarba. "Runi bilang ia sedang berusaha masuk ke istana untuk mencari ayahnya, namun kemudian melihat kilasan keris itu dan mengikutinya."

"Dari mana keris itu dilempar?" tanya Banyak Seta. Keterangan itu sangat penting karena akan menjadi petunjuk apakah Gayatri dalam kondisi baik-baik saja saat itu. Bila berasal dari dalam istana, kemungkinan besar Gayatri telah ditawan orang Kediri.

"Menurut Runi, asalnya dari hutan di timur kutaraja," sahut Sarba. "Berarti benar, Paduka Gayatri tengah menuju Tawangalun di pantai timur."

Napas Banyak Seta terembus, membawa sebagian kesesakannya keluar. Sekarang, ia boleh sedikit lega. Gayatri berhasil lolos dari istana. Itu berarti upaya Panji Patipati berhasil. Mungkinkah Panji Patipati pula yang mengirimkan keris itu?

Melihat tuannya tercenung, Kambang dan Sarba saling pandang sambil menahan senyum.

"Ada apa lagi?" tegur Banyak Seta setelah tahu ekspresi tidak wajar itu.

"Ehm, Tuan bisa lebih tenang sekarang karena Paduka Putri Gayatri kemungkinan besar selamat," ucap Kambang, langsung mengenai hati Banyak Seta.

"Bukan itu yang aku pikirkan!" sembur Banyak Seta untuk menepis debaran hati gara-gara nama Gayatri disebut.

"Ehm, sewaktu pingsan kemarin, Tuan terus-menerus mengingau, menyebut nama Paduka Gayatri ...." Kambang telak sekali menampar harga diri tuannya hingga wajah sang tuan seketika memanas karena malu.

"Oh, oh! Jangan dipikirkan, Tuan. Kambang cuma bercanda," hibur Sarba sambil membungkam mulut adiknya.

Pada saat bersamaan, Runi masuk ke gubuk sambil membawa daun pisang yang tadi dijemur. Entah mengapa, wajah Banyak Seta semakin merah. Pasti Runi juga mendengar igauan itu, bukan? Kalau sudah begini, mau diletakkan di mana mukanya?

Belum sempat Banyak Seta bereaksi lebih lanjut, terdengar tapak-tapak kaki menaiki tangga gubuk. Pintu pun terbuka. Beberapa lelaki berseru sambil menerobos masuk.

"Seta! Kamu sudah sadar?"

"Tuan Seta! Oh, syukurlah!"

Banyak Seta kaget bercampur senang menemukan empat wajah yang dikenalnya. Tubuh mereka terlihat kotor dan lelah, namun semangat membara terpancar dalam wajah-wajah lugu itu.

"Paman Weling, Wingsil, Kakang Piyung, dan kamu ... Pulung! Bagaimana kalian bisa berkumpul di sini?"

"Setelah kita berpisah di pemakaman Kuwuk, aku dan Wingsil pergi ke Gunung Pawitra sesuai saranmu. Oleh Mpu Nadajna kami disuruh pergi mengintai ke tempat pasukan Kediri, sekaligus menyiapkan tempat ini untuk persembunyian darurat. Dari semula, Mpu Nadajna sudah melihat tragedi ini pasti terjadi."

Sekarang Banyak Seta mengerti mengapa tempat sekecil ini memiliki tungku besar. Pasti mereka menyiapkan gubuk ini untuk tempat berkumpul. "Kita di mana?" tanyanya.

Weling tersenyum untuk menenangkan Banyak Seta. "Di tempat aman. Sekitar setengah hari perjalanan ke utara Kasurangganan[1]."

Banyak Seta menoleh ke arah pintu yang terbuka. Di halaman gubuk, berkumpul beberapa pemuda berpakaian petani desa. "Siapa mereka?"

"Yang tiga orang, anak buahku dari Kabalan," sahut Piyung. "Dua orang murid Mpu Nadajna dan yang tiga lagi adalah sisa pasukan Singasari yang selamat."

"Bagaimana kondisi ibukota, Paman?" tanya Banyak Seta lagi.

Wajah keempat orang itu langsung muram. Weling menggeleng sambil berdecak.

"Semua habis terbakar, hanya tersisa abu dan arang," ucap tabib terampil itu.

"Kami baru saja mengintai di sekeliling kutaraja. Semua rata dengan tanah, Seta," imbuh Piyung, kakak seperguruan Banyak Seta yang saat ini menjabat sebagai kepala desa di pinggiran daerah Kabalan.

"Bagaimana dengan Paduka Raja dan keluarganya?"

Piyung mengembuskan napas berat. "Ibukota dijaga ketat oleh orang-orang Kediri. Kami hanya mendapat kabar bahwa mereka telah mempersiapkan perabuan Paduka Kertanagara, Paduka Permaisuri, Mahapatih, dan para pejabat tinggi lainnya. Tentang putri-putri beliau, tidak ada keterangan."

"Seta, kita sekarang harus memusatkan perhatian pada keselamatan Paduka Wijaya karena beliaulah satu-satunya keturunan Singasari yang bisa membangun kembali kejayaan negeri ini," ucap Weling.

"Di mana Paduka Wijaya sekarang?" tanya Banyak Seta lagi.

Weling menggeleng. "Aku tidak tahu, tapi kami mendapat kabar terjadi pertempuran di utara. Itu berarti pasukan Paduka Wijaya masih ada."

"Kita harus segera bergerak, Seta!" desak Piyung.

Banyak Seta mengangguk. Tekadnya semakin membara. Ia harus melupakan Gayatri sejenak untuk menjalankan amanat yang lebih penting. Dengan mata menyorotkan keteguhan, ia meminta semua orang kepercayaan itu untuk merapat. "Kita susun rencana sekarang juga!"

Orang-orang itu berkumpul untuk mengisi perut dan menyiapkan bekal. Sebelum matahari benar-benar mencapai puncak langit, empat belas orang bergerak diam-diam menuruni lereng Gunung Arjuna, menuju utara. Tempat persembunyian itu dijaga oleh dua orang murid Mpu Nadajna.

______________

[1] Kasurangganan atau taman bidadari disebut dalam Negarakertagama sebagai salah satu tempat yang dikunjungi Hayam Wuruk dalam perjalanan keliling negeri. Pada era Majapahit, di tempat itu didirikan Candi Sumberawan dan biara Budha. Letaknya di barat laut ibukota Singasari, di lereng Gunung Arjuna.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro