Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


20 Oktober 2019

“Gimana hari ini sakitnya, Ma?” tanya Alif selepas datang dari masjid untuk salat Zuhur.

“Alhamdulillah udah nggak parah banget sakitnya, Bi. Kayak udah turun level meskipun rasanya kayak pingin meledak aja ini.” Fatimah menunjuk buah dada yang kini sudah sebesar semangka kecil tersebut.

“Alhamdulillah.  Umma yang kuat dan semangat ikhtiarnya,” kata Alif memberi dukungan untuk istrinya. Ia lalu pergi ke dapur untuk mengecek bahan persiapan pesanan katering.

Fatimah menyandarkan punggung di dinding. Ia menarik napas panjang saat nyeri kembali terasa. Ponsel yang diletakkan di atas meja kamar berbunyi. Tampak panggilan video dari Yusuf, adik Fatimah yang sedang menempuh studi di Madinah.

“Assalamualaikum, Dek.”

“Waalaikumsalam, Mbak. Gimana kondisinya sekarang?”

“Alhamdulillah, masih nyeri ini.”

“Mbak, kalau udah nggak kuat, nggak ada salahnya buat coba operasi. Konfirmasi lagi aja sama dokternya, sapa tau masih bisa. Insya Allah, semua biaya aku yang akan tanggung.”

Fatimah menghela napas pelan. Adik satu-satunya itu selalu bisa membuat dirinya bangga. Perhatian Yusuf terhadap keluarga sudah tidak diragukan lagi.

“Percuma diangkat, Dek. Masih harus kemoterapi. Aku nggak mau kemo. Nggak papa, aku bersabar aja. Insya Allah kuat. Doakan selalu mbakmu ini ya,” ucap Fatimah sambil tersenyum. “Andaikan aja aku dioperasi, terus langsung bisa sembuh. Terus, di mana letak penghambaanku sebenar-benarnya kepada Allah?”

Fatimah menatap layar benda berbentuk persegi panjang di hadapan. Yusuf tampak menyimak dengan tenang curahan hati kakaknya itu.

“Dek, kalau aku mau segera hilang semua rasa sakit ini, di mana letak buah kesabaran, arti pengharapan kepada Allah?”

“Masyaallah. Kalau memang itu pilihan Mbak, aku cuma bisa doakan yang terbaik. Semoga semua keikhlasan menerima takdir Allah bisa menjadi penghubung semakin banyak dosa yang gugur. Semoga semakin cepat kesembuhan walaupun tanpa melewati jalur medis.”

“Aamiin allahumma aamiin. Terima kasih, adekku.”

“Oh ya, ruqyah bagaimana? Apa masih lanjut? Ada perkembangan nggak, setelah ruqyah?” Yusuf terlihat penasaran.

“Alhamdulillah ada hasilnya, Dek. Rasa sakit cenderung menurun.”

Yusuf menyunggingkan senyum di wajah. “Alhamdulillah. Oh, iya, Mbak. Ada pesan dari Ustadz Musa, ruqyah-nya diteruskan saja sampai benar-benar sehat.”

Fatimah menganggukkan kepala. Rasa syukur di hati bertambah begitu mendapat pesan dukungan dari guru Yusuf di Madinah atas pengobatan yang dijalaninya.

“Ustadz Musa cerita, Mbak. Dulu, tantenya pernah ribut sama tetangganya. Terus, si tetangga bilang ke tante Ustadz Musa gini, awas ya kamu bakal aku buat sakit. Nggak lama kemudian, tantenya kena kanker payudara. Karena tantenya belum kenal agama, akhirnya larilah ke medis. Semua alur medis diikuti. Qodarullah , ternyata Allah lebih sayang sama beliau.”

Fatimah tercengang mendengar ucapan Yusuf. “Ha?! Ribut sama tetangga? Kena kanker payudara? Kok sama, sih, kayak aku?” Fatimah pun tergelak.

Yusuf menautkan alisnya. “Lha, kok bisa, Mbak? Emangnya kamu habis ribut sama tetangga?”

“Iya.” Fatimah masih terkikik. Ia memang tidak menceritakan tentang tragedi bersama mama Mona tersebut.

Yusuf menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia  kaget mendengar kisah sang kakak. Sementara itu Fatimah masih saja tergelak mendengar kisah yang sama persis dengan yang dialaminya. Namun, ia berharap akhir yang berbeda, kesembuhan paripurna untuk dirinya itu.

“Percaya nggak percaya. Dulu, santet ‘kan, perutnya yang besar. Sekarang, kalau dunia medis mendeteksinya kanker. Makanya ada pembahasan ilmiah dan agama kalau kanker itu sel hidup dan ganas. Dalam agama larinya ke jin tadi,” jelas Yusuf.

Fatimah menyimak semua ucapan Yusuf dengan saksama.

“Ada juga, Mbak. Kisah seorang syaikh di Madinah, beliau juga kena kanker. Ternyata itu kena ain dari mahasiswanya sendiri.”

“Astagfirullah.” Fatimah menutup mulutnya. Orang salih saja masih bisa terkena hal buruk, apalagi dirinya yang banyak dosa.

“Kalau gitu ruqyah-nya dilanjutkan ya, Mbak. Ada rekomendasi juga untuk terapi PAZ dari ustadz-ustadz di Madinah. Coba Mbak cari info di daerah sana.”

“Siap, insyallah.”

Panggilan video pun diakhiri. Percakapan dengan Yusuf tadi semakin membuat semangat untuk segera sembuh begitu menggelora. Fatimah segera mencari informasi tentang terapi PAZ atau Pengobatan Akhir Zaman di Kota Malang. Beruntung, ternyata ada di tengah kota.

Fatimah segera menghubungi Yusuf kembali untuk memberitahukan info tempat PAZ. Tidak hanya itu, sang adik pun segera mendaftarkan dan membiayai semuanya dari Madinah.

Alhamdulillah, nikmat mana lagi yang harus kudustakan? Fatimah menangis haru. Tak henti-hentinya ia mengucap syukur. Jalan menuju kesembuhan terbentang luas.

***

Sore harinya, Fatimah kembali ke rumah Pak Salim untuk melanjutkan ruqyah. Prosesnya masih tetap sama, diawali meminum ramuan air zamzam, habbatussauda, minyak zaitun, dan daun bidara.

Nasihat masih terus diberikan oleh Pak Salim. Fatimah kembali memejamkan mata. Tampak bayangan molekul dengan latar warna hijau lemon, datang kembali saat surat Al Falaq dibacakan.

Fatimah mencoba bertahan dalam posisi sadar. Istigfar masih dilantunkan di hati dan lisan. Molekul-molekul yang hadir seolah dirinya sedang menyaksikan sebuah video.

“Wahai Jin, wahai kanker, wahai hamba Allah, keluarlah dengan cara kalian sendiri. Jangan menyakiti jasad ini.”

Fatimah tiba-tiba terus berserdawa. Dalam pejaman mata, ia seolah dibawa ke lorong gelap sekali. Di ujung lorong tehampar padang pasir yang luas. Tak berapa lama, video yang dilihatnya dengan mata tertutup itu berganti layar. Kali ini, Fatimah seperti dibawa ke pelabuhan luar negeri yang indah sekali dengan banyak kapal pesiar berjajar.

Kenapa ini seperti nyata?

Sayup-sayup dari sisi kiri, Fatimah mendengar sang ayah berkata, “Ayo fokus istigfar, mohon ampun sama Allah.”

Tiba-tiba, bayangan yang seolah nyata itu langsung kembali ke layar hijau lemon. Proses ruqyah hari ini pun selesai. Fatimah bergegas menuju kamar mandi, rutinitas yang dilakukan setiap selesai ruqyah.

Malam ini, payudara atas dirasakannya sedikit mengempis. Namun, payudara bawah dan samping puting, semakin menonjol keras seperti akan pecah. Rasa takut selalu datang karena peyakit kanker jika sudah pecah, itu tandanya sudah masuk fase kritis. Naudzubillah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro