Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Fatimah  bergegas menuju ruang tengah. Mainan si kembar yang tersimpan di keranjang besar tumpah semuanya di lantai. Padahal seingatnya tadi sebelum berangkat, Alif sudah merapikan mainan-mainan  itu.

“Astagfirullah!” seru Fatimah seraya mengusap dada. Ia lalu menoleh ke arah kamar. Perempuan berkerudung lebar itu segera memacu langkah menuju kamar yang pintunya terbuka itu.

“Astagfirullah, Abi! Sini cepat!” teriak Fatimah sambil memanggil sang suami yang masih berada di teras. Ia semakin terbelalak saat melihat seprai di kamar sudah tidak pada tempatnya. Bantal pun berserakan di lantai.

Fatimah menyandarkan punggung pada dinding. Untung saja Adin hanya bereaksi sedikit saat mendengar teriakan sang ibu. Napas Fatimah mulai terengah. Ia ingin sekali mendatangi rumah anak-anak itu. Kekacauan yang terjadi di rumahnya tidaklah bisa disebut  ‘oh, masih anak-anak’. Ini sudah sangat keterlaluan.

“Kenapa, Ma?” Alif tergopoh memasuki rumah.

“Lihat, Bi. Anak-anak itu mengacak-acak rumah kita. Aku udah nggak tahan lagi, Bi.”

Fatimah lalu menyerahkan Adin keada Alif. Amarahnya mulai tersulut. Ia sudah tidak bisa menambah stok kesabaran. Peristiwa kali ini bagaikan gunung api yang memuntahkan laharnya. Emosi serasa berada di ubun-ubun. Fatimah segera menuju teras rumah.

“Semoga aja anak-anak itu masih ada di luar.”

Dugaan Fatimah tepat. Dari jalan samping kiri rumah yang memisahkan antar blok,munculah Mona dan Fira. Fatimah langsung memasanga senyum termanis di wajahnya.

“Mona, Fira, sini bentar, yuk! Tante mau nanya,” ucap Fatimah penuh kelembutan walaupun dadanya sudah sesak.

Dua anak yang mulai beranjak remaja itu mendekat. Wajah mereka terlihat ketakutan.

“Kenapa, Tante?” tanya Mona dengan tatapan tegang.

“Kalian baru main ke rumah, ya?”

Mona dan Fira hanya menatap Fatimah. Wajah mereka bertambah tegang.

Fatimah menegakkan punggungnya sembari menarik napas panjang.  Ia tidak bisa berlama-lama untuk basa-basi di depan anak-anak itu. Fatimah kembali berucap dengan lembut. “Siapa tadi yang berantakin rumah tante?”

Tidak ada satu kata pun keluar dari bibir mereka. Fatimah kembali menarik napas panjang.

“Kalau yang memaki Anisa sama Anida barusan, tahu siapa?” tanya Fatimah dengan nada yang sama.

Mereka masih tetap bergeming.

“Mona, Fira, dengar ucapan Tante, ‘kan?” Fatimah mendesah kesal. Sungguh berat menahan emosi di hadapan anak kecil.

Fira memundurkan langkah. Sesaat kemudian, siswi kelas enam SD tersebut berlari sangat kencang ke arah rumahnya di blok sebelah.

Fatimah menatap Mona. Gadis berambut sebahu itu sedang mengamati Fira yang berlalu dari sisinya. “Mona ....”

“Bukan aku, Tante.” Mona menggoyangkan telapak tangan.

Fatimah kembali memasang wajah penuh senyuman.  Matanya lekat menatap Mona. “Tante cuma mau bilang, kalau berteman itu yang baik. Jangan memaki temannya dengan kata yang tidak sopan. Bicara yang baik-baik ya, Nak. Jang—“

Mona mengikuti jejak Fira, meninggalkan Fatimah yang belum selesai berucap. Fatimah mendesah pasrah. Firasatnya mulai berkata bahwa anak itu akan melapor ke mamanya. Apalagi sepengetahuan Fatimah, mama Mona memiliki hobi melabrak orang yang bertentangan dengannya. Itu sudah menjadi rahasia umum di perumahan mereka.

“Ya Allah, bocah-bocah itu.” Fatimah mengusap dada, mencoba menghilangkan amarah. “Astagfirullah, astagfirullah.”

“Ma, sini duduk.”

Alif memanggil Fatimah ke teras. Mereka pun berbincang sambil menikmati angin malam. Alif  meminta agar istrinya itu tidak tersulut emosi.

“Janganlah marah, maka bagimu surga, Ma.”

Fatimah memejamkan matanya. Ia lalu menggelengkan kepala. “Ini udah keterlaluan sekali, Bi.”

“Iya, aku paham.  Ya udah, sekarang kita ngobrol yang lucu-lucu aja.” Alif berusaha mengalihkan amarah istrinya.

Tak berapa lama, saat mereka asik berbincang. Fatimah melihat ke arah blok yang terletak di depan rumah, ada sosok yang sedang melangkah tersorot oleh lampu jalan. Fatimah tersenyum sinis. Ia melihat mama Mona melangkah cepat dengan mata melotot. Sementara itu, suaminya mengikuti di sampingnya seraya  mengendarai motor.

“Bi, lihat. Mereka pasti mau ngelabrak aku. Jalannya kelihatan penuh emosi gitu.” Fatimah meminta Alif menoleh ke arah kanan rumah.

“Sudahlah, Ma. Jangan suudzon dulu.”

Pandangan Fatimah tidak beranjak dari kedua orang tua Mona itu. Sepertinya dugaan Fatimah terbukti. Mereka berhenti di depan rumah.

“Mbak Fatimah!” seru mama Mona dengan nada penuh emosi. Matanya pun terbuka lebar.

Fatimah segera beranjak dari kursi dan menemuinya. Tampak wajah mama Mona memerah. “Iya, Bu. Ada apa?”

“Ada apa?! Nggak perlu pura-pura nggak tahu gini. Mbak Fatimah marahin anak saya ‘kan, barusan?!” Mata mama Mona seolah hendak keluar dari kelopaknya. “Anak Anda yang sukanya mengejek Mona!”

Darah Fatimah menggelegak, rasanya sudah kembali naik ke ubun-ubun. Alif yang berdiri di belakang mengusap punggung istrinya, seolah memberi tahu untuk menahan amarah. Fatimah meredam rasa sesak di dada. Fatimah masih tidak menanggapi ucapan penuh amarah itu. Ia pun menyiapkan  telinga untuk mendengar omelan perempuan yang mengenakan kaus ketat dan celana pendek selutut tersebut  hingga selesai.

“Mbak, Anda tadi marahin Mona sambil mata Anda melotot, ‘kan? Anakku sampai ketakutan, loh! Nggak nyangka aku.  Ternyata Anda aslinya seperti ini.” Mama Mona berdecak heran. Ia mengamati penampilan Fatimah dengan gamis dan kerudung lebar dari atas hingga bawah.

What? Melotot?! Ada juga Anda yang melototin saya. Fatimah hanya bisa mengomel dalam hati. Ia mencoba menahan keinginan untuk menghardik perempuan di hadapannya itu.

“Mbak! Anda diam berarti itu benar!” Mama Mona membentak Fatimah.
Fatimah berdecak lirih.
“Mbak! Saya tidak marahin Mona!” Pertahanan Fatimah runtuh. “Saya cuma bilang kalau berteman itu yang baik. Jangan ngajak musuhan. Bicara yang baik. Mata saya memang dari lahir sudah besar. Jadi, nggak marah pun keliatan besar seolah melotot!”

Fatimah sudah tidak sanggup menahan amarah yang tersimpan lama itu. Ia sengaja mengeraskan suara. Dirinya merasa sudah semakin terdzolimi.

Mama Mona sekarang yang terdiam. Fatimah pun melanjutkan ucapannya.

“Anak Anda itu sukanya maki anak-anak saya. Meneror dengan ucapan buruk saat anak saya keluar rumah. Berapa kali Anda ngelabrak orang hanya karena laporan anak Anda yang diputar balikkan?” Fatimah menatap mata mama Mona yang tampak terkejut mendengar ucapannya barusan.

“Aku nggak pernah nglabrak orang, Mbak. Aku cuma nglabrak guru-gurunya Mona aja,” ucap mama Mona seraya mengangkat dagunya. Tatapan mata perempuan itu penuh intimidasi.

“Anda anaknya cuma satu. Cewek pula! Mbok, dijaga yang bener!” seru Fatimah sembari membuka mata lebar. Ia mengungkapkan semua beban di hati.

Mama Mona hanya terdiam. Tangannya mengepal kuat. Ia lalu menghela napas pendek. Tidak ada kata-kata yang terucap. Mama Mona malah berlalu dari hadapan Fatimah, sedangkan suaminya masih tetap di atas motor.

“Memang, anak kecil seperti mereka ini udah pada paham, ya, Mas. Mona itu sudah kuajari salat sama ngaji loh, Mas,” ucap papa Mona ke Alif.

Alif tersenyum sekejap. “Anak Anda itu udah besar, Mas. Kalau lagi di mushala selalu rame, ganggu jamaah salat. Sebenarnya udah banyak jamaah yang mengeluh.”

Fatimah yang masih berdiri di tempatnya, hanya mendengarkan dua laki-laki itu berbicara. Emosinya masih belum tuntas dikeluarkan. Dirinya dan keluarga kecilnya yang teraniaya malah disebut sebagai pelaku.

“Nggak, Mas. Anak saya itu pintar. Waktunya salat ya salat di mushala dengan baik.” Papa Mona mencoba membela anaknya.

“Saya itu salat lima waktu di mushala terus, Mas. Jadi, pasti tau situasi yang sebenarnya,” ucap Alif dengan tenang.

Papa Mona menunduk, kemudian memacu motornya tanpa berpamitan kepada Alif dan Fatimah. Ia tertohok saat menyadari bahwa dirinya tidak pernah ke mushala.

“Istigfar, Ma.” Alif pun mengajak Fatimah masuk ke rumah.

“Astaghfirullahaladzim.” Fatimah memegang dadanya. Baru kali ini dirinya penuh emosional ke orang lain, tetangga pula.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro