PROLOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


13 Oktober 2019

"Aduh, kok, sakit?"

Fatimah meraba buah dada sebelah kanan miliknya. Ia mengernyit heran. Ada benjolan kecil yang terasa keras. Fatimah pun menekannya, tetapi rasa sakit kembali dirasakannya.

"Kenapa?" tanya Alif, suami Fatimah. Laki-laki bertubuh besar itu mendekati sang istri yang sedang termenung di atas karpet samping ranjang.

"Tiba-tiba payudaraku sakit, Bi." Fatimah masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia yakin jika tadi pagi saat mandi, tidak ditemuinya benjolan tersebut. "Kenapa, ya, Bi?"

"Mungkin ASI masih penuh?"

"Oh, iya. Bisa jadi kayak gitu."

Fatimah tersenyum mencoba meredakan kekhawatiran yang muncul. Ia sudah memiliki lima orang anak. Semuanya diberikan ASi hingga usia dua tahun. SI bungsu, Adin masih berusia lima bulan. ASI yang diberikan masih eksklusif tanpa tambahan susu formula. Masalah dengan payudara dalam menyusui, hanya dialami saat anak pertama dahulu. Selanjutnya, semua lancar sampai masa penyapihan.

"Coba dikasih ASI sampai beneran kosong, Ma," saran Alif.

Fatimah segera menghampiri Adin yang sedang tengkurap. Ia lalu mengangkat bayi yang sedang asik bermain sendiri tersebut. Fatimah memangku tubuh bungsunya itu. Ia lalu memberikan ASI lewat payudara sebelah kanan.

"Bismillah."

Fatimah menatap buah hatinya yang mulai menyesap makanannya itu. Adin sangat bersemangat melakukannya.

"Abi, kok, masih sakit gini?" Fatimah meringis.

"Digigit mungkin, Ma?" Alif berusaha menenangkan istrinya.

"Enggak kayak gini kalau digigit." Ia menjauhkan Adin, kemudian memindahnya ke sisi sebelah kiri.

Rasa penasaran semakin membuncah dalam pikiran. Fatimah memeriksa lebih teliti ke arah buah dadanya. Ia melihat di sekitar pu*ing bagian bawah ada warna kemerahan. Fatimah kembali menekannya, masih terasa keras.

"Ya Allah, tambah sakit. Astagfirullah, kenapa ini?" Tak terasa air mata Fatimah menetes. Antara rasa sakit dan cemas bercampur jadi satu.

"Kenapa, Umma?" Alif berjalan mendekati Fatimah. Ia kaget mendegar tangisan istrinya.

"Tambah nyeri, Bi." Fatimah memejamkan matanya menahan rasa sakit tersebut. "Ambil Adin, Bi."

Alif meraih sang anak dalam pelukan. Bayi yang belum puas menyusu itu meronta. Namun, segera ditenangkan oleh ayahnya.

Sementara itu, Fatimah berbaring dengan posisi meringkuk. Ia mencoba mengambil napas panjang dan mengembuskannya. Namun, semua masih terasa sama. Sakit!

"Apa ini gara-gara aku nggak bisa nahan emosi semalam ya, Bi?" Tiba-tiba saja terlintas pikiran tentang kejadian semalam.

"Ya udah, Umma istighfar terus aja sekarang. Insya Allah nanti membaik."

Fatimah mengangguk pelan. Bibirnya mulai melantunkan dzikir. Peristiwa tadi malam mulai berputar kembali dalam pikirannya. Baru kali ini dirinya memiliki konflik yang cukup parah dengan tetangga yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Selama satu tahun menetap di perumahan itu, Fatimah beserta keluarga kecilnya memiliki hubungan yang harmonis dengan para tetangga. Namun, peristiwa yang dipicu karena masalah anak-anak mereka, membuatnya kehilangan kontrol atas emosinya.

"Seandainya aja aku nggak terpancing emosi. Ya ... seandainya aja."

Penyesalan mulai menghantui Fatimah. Ia yakin jika rasa sakit ini adalah dampak dari emosi brutal yang diluapkan kepada tetangganya itu. Fatimah percaya jika pikiran yang memicu stress, mampu menimbulkan masalah pada fisik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro