Penyelidikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semua murid kelas X Super Akja High School telah berpencar. Mereka melihat ke sekeliling sudut ruangan di lantai 1 gedung sekolah. Terdapat beberapa kelas, kantin, pembuangan limbah, ruang lab auditorium, serta kamar tidur untuk setiap orang.

Setiap sisi sudut atas lorong. Terdapat kamera CCTV yang merekam segala aktifitas mereka.
.
.
.
.

Di Kantin...

Di sana terdapat beberapa orang. Di antaranya Huda, Seila, Diane, Karin, Nico dan Novi. Mereka duduk di bangku kantin. Suasana sunyi menyelimuti ruangan kantin.

Di sebelah kanan mereka, terdapat bahan makanan yang lengkap. Baik itu sayur-sayuran, daging, ikan, buah-buahan, sembako, bumbu penyedap, tepung dll. Ini semua cukup untuk beberapa bulan ke depan.

Sebuah kulkas, kompor gas, laci untuk menyimpan peralatan makan dan minum, alat-alat masak yang menggantung di dinding dapur, dll. Bagi yang suka makan ataupun memasak inilah bagaikan surgawi mereka.

"Aku lapar sekali," gumam Nico yang memegang perutnya. Ia duduk di sudut ruangan kantin. Di sebelahnya ada Diane dan Karin yang sedang melamun.

"Kalau lapar di dapur banyak makanan." Sahut Huda. Ia melirik ke arah Seila yang berada di depannya.

"Apa kau tidak apa-apa?" Tanya Huda cemas. Seila hanya diam menundukkan kepala.

"Huh!" Helaan napas berat darinya. Ia melirik ke arah Novi. Ia tengah berdoa.

"Tuhan, aku mohon padamu. Aku tidak ingin mati di sini, hiks!" Ucap Novi terisak.

Nico berjalan ke arah dapur. Beberapa menit, ia kembali dengan membawa sebuah nampan berisi makananan. Terdapat kue coklat, puding, sebuah minuman soda dan beberapa snack.

Kue coklat dan puding adalah buatan Karin. Ia membuat beberapa kue untuk teman-temannya. "Ini enak sekali," gumam Nico. Ia memakan dengan lahap sekali.

"Kita harus apa sekarang?" Tanya Diane tiba-tiba. Semua orang yang berada di kantin menoleh ke arah dirinya.

"Aku tak betah berada disini. Ada beberapa jadwal yang harus aku isi." Kata Diane. Ia takut popularitasnya terancam turun.

"Menunggu yang lainnya datang kemari setelah menyelidiki beberapa tempat di lantai 1 ini." Jawab Huda seadanya. Ia tak habis pikir dengan Diane yang malah mementingkan jadwal tampilnya daripada keselamatan dirinya.

"Bagaimana kabar mama, papa dan adik-adikku disana?" Tanya Seila pada dirinya sendiri. Ia merasa sedih harus berpisah dengan keluarga tercinta.

"Mereka pasti baik-baik," jawab Huda menenangkan. "Darimana kau tahu?!" Tanya Seila lagi. Terdengar sedikit nada emosi.

"Huh! Entahlah. Lebih baik kau memikirkan keadaanmu di sini." Jawab Huda datar.

"Cks! Kalian ini berisik sekali!" Ucap Vero yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Ia berdiri dengan angkuhnya di depan pintu. Ia melangkah maju ke arah dapur.

"Dasar menyebalkan!" Gerutu Karin yang daritadi hanya diam. Ia tak suka berada di dekat orang yang bersikap sombong dan angkuh. Suasana pun kembali tenang untuk sementara waktu.
.
.
.
.

Di ruang lab auditorium...

Beberapa komputer tersusun rapi di setiap meja panjang. Di sana terdapat Fiki, Rifki dan Uli. Uli sedang berkutat dengan laptopnya. Namun, tiba-tiba laptopnya mati total.

"Ahh sial! Laptopku mati total!" Seru Uli kesal. Ia menyenderkan punggungnya di bangku.

"Hmm... kita tak bisa menyelidiki lebih lanjut lagi," ucap Rifki. Ia berpikir untuk menemukan sesuatu jalan ataupun petunjuk. Tetapi hasilnya nihil. Yang didapatkan hanyalah ruangan dengan jendela yang terpasang jeruji besi dan beberapa besi yang menempel di dinding.

"Apa yang kita harus lakukan?" Tanya Fiki. Ia bingung harus melakukan sesuatu hal lainnya.

"Kita hanya bisa berkumpul dengan lainnya di kantin dan membicarakan tentang penyelidikan." Jawab Rifki berusaha tetap bersikap tenang.

"Aku harus memperbaiki laptop ini secepatnya," Ucap Uli. "Tetapi aku mempunyai suatu kendala." Lanjutnya bernada serius.

"Apa kendalanya?" Tanya Rifki penasaran.

"Aku membutuhkan kabel penghubung. Namun, saat aku mengecek komputer-komputer ini--" perkataan Uli tergantung.

"Hei, kenapa dengan komputer-komputer di sini?!" Tanya Fiki tak sabaran.

"Semuanya komputer disini tak bisa dinyalakan." Jawabnya lemas.

"Ini benar-benar buruk," ucap Fiki frutasi.

"Kau harus tenang. Sebaiknya kita kembali ke kantin untuk memberikan informasi yang kita dapat." Sahut Rifki. Ia pun meninggalkan ruangan, lalu diikuti oleh Uli dan terakhir Fiki dengan berjalan gontai.
.
.
.
.

Di ruang kelas...

"Tak ada yang aneh dengan ruang kelas ini," kata Lusian.

"Iya, hanya ada bangku, meja dan juga kamera CCTV." Tambah Aldo setengah berbisik.

Mereka hanya berdua di dalam kelas. Keduanya mempunyai prinsip yang sama. Tak suka beramai-ramai.

"Kalau tak salah kau itu penari tradisional Jepang kan?" Tanya Aldo. Ia sebenarnya ingin menanyakan kepadanya. Namun, belum menemukan waktu yang tepat saja.

"Hmm iya..., aku merasa tersanjung kau mengenaliku pengusaha muda." Jawab Lusian terkekeh pelan.

"Yaa begitulah. Aku sebenarnya menyukai penampilanmu itu." Kata Aldo malu-malu.

"Terima kasih," hanya itu yang bisa dilontarkan olehnya.

Beberapa menit terasa hening...
"Ayo kita kembali berkumpul dengan lainnya," ajak Aldo. Ia berjalan mendahului Lusian. Ia tak ingin wajah merahnya ini dilihat olehnya.

"Ahh iya, baiklah." Balas Lusian spontan. Ia juga saat ini sedang tersipu malu. Dia pun berjalan cepat untuk menyamakan posisi berjalan dengan Aldo.
.
.
.
.

Di tempat pembuangan limbah...

Terlihat dua pemuda sedang berdiam diri. Tapi hanya satu pemuda saja. Yang satu lagi asyik memfoto beberapa objek tak jelas.

Cekrek!

"Tempat ini bagus juga," komen Oriza. Ia telah selesai memotret. Dia berjalan mendekati Teguh yang sedang bersandar santai.

"Kau itu aneh!" Cibir Teguh tiba-tiba. Ia menatap lurus ke depan tanpa melihat ke arah lawan bicara.

"Aneh kenapa?" Tanya Oriza bingung. Ia berpikir tidak melalukan hal-hal yang aneh daritadi.

"Cih! Kau itu aneh. Selalu memotret hal yang tak jelas dan penting." Jawab Teguh datar namun menusuk.

"Hehehe... habisnya aku bingung ingin melakukan apa." tawa Oriza terkekeh kecil.

Teguh tak membalas lagi. Ia berjalan menjauhi Oriza. Langkahnya terlihat panjang dan cepat.

"Heh! Tunggu aku!" Teriak Oriza kaget. Ia tak ingin ditinggal sendiri. Akhirnya ia menyusul kemana Teguh pergi.
.
.
.
.

Di salah satu bilik kamar tidur...

Opick sedang terbaring di ranjang miliknya. Kenapa ia bisa mengetahui bahwa itu kamarnya? Saat ia berjalan, ia melihat nama dan wajah para teman-teman barunya. Ia pun memutuskan untuk melihat kamar miliknya di bagian tengah.

Di dalam kamar, terdapat kasur, meja nakas, bangku, serta toilet. Tapi ada hal yang ia pikirkan daritadi. Ada satu benda yang membuat ia tertarik sekaligus penasaran.

"Kenapa ada sebuah senjata berbentuk pedang di dalam kamar ini?" Tanyanya pada diri sendiri.

"Apakah ini sengaja diletakkan di dalam setiap kamar untuk membunuh?" Tanyanya lagi.

Saat ia akan masuk ke dalam kamar. Ada sebuah layar monitor kecil di samping pintu. Ternyata itu adalah sebuah alat pendeteksi.

Opick mulai bangun. Ia akan merahasiakan hal ini kepada lainnya. Ia tak ingin ada seseorang di antara mereka ada yang terbunuh.

Srek!

Pintu kamar terbuka secara otomatis lalu tertutup kembali. "Keamanan di sini cukup canggih juga," gumamnya.

Ia pun berjalan ke arah kantin. Dan memasang wajah tanpa mengetahui apapun yang ia telah temukan.
.
.
.
.

Di kantin...

Semuanya telah berkumpul. Mereka memberikan informasi yang didapatkan dari masing-masing ruangan yang telah diselidiki.

"Bagaimana dengan kantin?" Tanya Rifki.

"Stock makanan yang lengkap, terdapat dapur dan peralatan memasak juga lengkap." Jawab Huda mewakili lainnya.

"Lalu, di ruang kelas?" Tanya Rifki kembali. Ia melirik ke arah Aldo dan Lusian yang terdiam.

"Ehmm... Hanya peralatan sekolah, kamera CCTV. Tidak ada yang mencurigakan," jawab Lusian.

"Dan semua jendela yang tertutup rapat oleh jeruji besi." Tambah Aldo.

"Baik. Berikutnya tempat pembuangan limbah dan tempat tidur?" Tanya Fiki kemudian.

"Saluran pembuangan limbah. Tetapi itu ditutupi oleh jeruji besi. Jadi kita tak bisa melihatnya lebih ke dalam." Jelas Oriza.

"Di tempat tidur berjumlah 15 seperti kita. Lalu masing-masing kamar hanya bisa dibuka dengan alat identitas kita atau handphone." Lanjut Opick.

"Ruang auditorium sendiri bagaimana?" Tanya Huda.

"Ada beberapa komputer, layar monitor dan-," ucapan Fiki menggantung.

"Dan apa?" Tanya Diane penasaran.

"Kita menemukan masalah yang cukup serius. Laptop milikku mati dan tak ada kabel penghubung yang bisa di temukan di sana." Jawab Uli tak semangat.

"Apa?!" Teriak Vero keras.

"Berisik sekali kau!" Bentak Lusian.

"Dasar tak berguna!" Cibir Vero. Ia kembali menghirup secangkir teh sejenak.

"Apa kau bilang?!" Tanya Lusian kesal. Ia ingin sekali menampar mulut pedas Vero.

"Sudah hentikan, hiks..," ucap Seila menangis. Ia tak suka melihat orang bertengkar.

"Tuhan..." doa Novi meneteskan air mata sedih.

Suasana menjadi hening kembali. Yogi beranjak pergi dari kantin. Di susul oleh Vero dengan sengaja menyengol pundak Lusian. Lalu Karin yang hanya diam seribu bahasa.

"Kacau sekali," komentar Nico. Ia memainkan game PSP nya dengan nikmat.

"Karin tunggu aku!" Panggil Diane menyusul Karin sahabat kecilnya.

"Lebih baik kita menenangkan diri dulu," usul Rifki.

"Iya, aku rasanya ingin tidur. Kepala ku pusing dengan semua hal ini." Sahut Aldo. Ia melenggang pergi menuju kamar miliknya.

Satu persatu pun pergi meninggalkan kantin sekaligus dapur. Semua hanya bisa diam dan mengistirahatkan pikiran serta hati masing-masing.
.
.
.
.
.

Bersambung... 😂

Selamat membaca! 😎

Sampai jumpa di cerita selanjutnya... 😀😁😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro