Bab 35: Biarkan Kale Iri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haloooo, kembali lagi dengan Laeli Minu di sini. Terima kasih sudah terus mengikuti kisah ini.

Selamat Membaca.

***

"Ngapain kamu ke sini?" Sembari merangkul sang istri, Jiddan melangkah tatapan tajam ke arah Kale.

"Assalamualaikum, Bang." Kale menghampiri Jiddan untuk mencium tangannya takzim. "Ini, Bang, aku pengen ketemu Adek," jelasnya.

Mendengar jawaban Kale, Jiddan justru mengalihkan tatapannya ke arah istrinya. "Adek udah mau ke luar, Umi?" Tentu saja ia bertanya dengan nada lembutnya. Tak lupa dengan lingkungan tipis yang tersungging di bibirnya.

Almeera balas tersenyum sambil menatap suaminya itu sebelum menjawab, "Belum, Abi. Umi udah coba ketok pintu kamarnya beberapa kali, tapi gak ada respons apa-apa dari Adek."

Jiddan mengelus pelan kepala sang istri dengan lembut, sebelum mengalihkan kembali pada Adik Iparnya. "Kalau sudah ketemu Adek, Kamu mau apa?" ujarnya.

"Aku mau minta maaf, Bang. Aku ngaku salah. Aku mau jelasin semuanya sama Adek," jelas Kale sembari menatap Abang Iparnya tersebut.

Jiddan terdiam sejenak, lalu menatap jam yang ad di tangan kirinya. Sebentar lagi waktu magrib tiba. "Ya, sudah, ayok masuk," ajaknya, yang disambut tatapan penuh tanya dari sang istri.

Seketika Kale mengulas senyum lebar. Ia tidak menyangka Abang Iparnya itu akan mengizinkannya bertemu Lesha dengan mudah. "Makasih, Bang!"

Masih dengan merangkul sang istri-tepatnya pada pundak Almeera-Jiddan memasuki rumah diiringi Kale di belakangnya.

Almeera sudah berusaha menurunkan tangan sang suami yang nangkring di pundaknya. Namun, suaminya itu malah merangkul pinggangnya. Beberapa kali ia berusaha menyingkirkan lengan itu, tapi tidak berhasil. Akhirnya ia biarkan saja, meski harus menahan malu karena menjadi tontonan Adik Iparnya sendiri.

Sementara Jiddan, dirinya sengaja bermesraan dengan sang istri di depan Kale. Ia ingin sedikit memberi pelajaran. Biarkan saja Adik Iparnya itu iri. Salah siapa punya istri baik hati, tapi malah disakiti.

Kale yang melihat kelakuan pasangan di depannya hanya bisa meratapi nasib. Jiddan memang tidak segan mengumbar kemesraan di mana pun. Di tempat umum saja tidak ragu menggandeng atau pun merangkul istrinya, apa lagi ini di rumah. Ia juga ingin seperti itu, tapi ...

"Duduk dulu!" ujar Jiddan sambil menunjuk salah satu kursi di ruang makan. Padahal jarak teras depan ke sini tidak begitu jauh, tapi bagi Kale rasanya sangat jauh. Mungkin karena suguhan kemesraan dari pasangan Jiddan-Almeera.

Setelah mempersilakan Kale duduk, Jiddan mengajak sang istri masuk ke kamar. Ia tidak mungkin membiarkan Almeera berduaan dengan Adik Iparnya.

Jiddan mengambil pakaian dan handuk dari lemari miliknya begitu sudah di dalam kamar. Sang istri ia dudukkan di ranjang. "Umi di sini aja. Bangunin Shafi, bentar lagi magrib. Pokoknya jangan ke luar kamar sebelum Abi balik ke sini!" Tatapan penuh peringatan dirinya berikan untuk Almeera.

"Inggih (iya), Abi." Almeera tersenyum saja untuk merespons perkataan sang suami sembari mengelus tangan sang suami.

Setelahnya, Jiddan ke luar kamar dengan membawa pakaian bersih dan handuk. "Nih, pakai. Mandi dulu sana." Begitu tiba di ruang makan, baju yang dibawanya itu ia letakkan di meja depan Kale. Suami Lesha ini malah menampilkan muka penuh tanya. "Bentar lagi magrib, mandi dulu di sana," lanjutnya sambil tangan kanannya mengarah ke kamar mandi yang ada di dapur.

Kale yang sudah memahami maksud Abang Iparnya segera menurut.

Setelah memastikan Kale masuk ke kamar mandi, Jiddan melanjutkan langkah ke kamar yang digunakan Lesha.

"Adek ... Adek gak tidur kan? Ini udah mau magrib, loh." Diketuknya ruangan tersebut beberapa kali, tapi tidak ada sahutan sama sekali. "Kalau Adek gak mau ke luar, biar Abang yang masuk," Jiddan memutuskan.

Begitu pintu terbuka, Jiddan bisa melihat sebuah tubuh terbarut selimut hingga ujung kepala. Ia kemudian duduk di sisi ranjang. Suami Almeera ini coba untuk membuka bungkusan tersebut. Sempat terjadi aksi saling tarik dengan sang Adik. Sebelum Lesha menyerah dan membiarkan kepalanya lepas dari kungkungan kain yang menutupi tubuhnya.

Terlihat posisi Lesha yang ternyata membelakangi pintu di mana Jiddan masuk. Kini, perempuan tersebut berusaha menyembunyikan wajah dengan membenamkannya pada bantal.

Lagi-lagi Jiddan hanya bisa menghela napas melihat keadaan sang Adik. Ia bisa memahami perasaan Lesha. Sebenarnya dirinya juga belum mau melihat Kale. Tapi tetap saja, Adiknya ini masih terikat pernikahan yang sah dengan Kale. Suka tidak suka, Lesha memang harus segera bertemu suaminya. Jika ingin berpisah pun, harus dibicarakan baik-baik.

Jiddan mengelus rambut hitam kecokelatan milik sang Adik. "Adek, ke luar sebentar, yuk! Ada suami kamu di luar."

Lesha mendengar dengan jelas apa yang Abangnya ini katakan. Namun, ia tidak ingin bertemu sang suami. Bukan karena masih marah, melainkan karena takut. Sehingga dirinya tetap diam. Biarkan saja Jiddan menganggapnya sedang tidur.

"Abang tahu Adek denger ucapan Abang, kan?" Jiddan tetap membelai puncak kepala Lesha.

Lesha bisa merasakan kenyamanan dari sentuhan tangan Abangnya itu. Perlahan kantuk benar-benar menghampirinya.

"Heh, jangan tidur! Mau magrib ini." Baru saja Lesha hendak memejamkan mata, Jiddan malah mengusap kasar kepalanya.

"Ah, Abang!" rajuk Lesha, sambil membalikkan badan menjadi menghadap Jiddan.

Jiddan malah terkekeh melihatnya. Ia sengaja menggoda sang adik agar mau menatap dirinya. "Makanya, temui dulu Mas-mu. Sebentar aja," lanjutnya kembali membujuk.

Lesha tidak menyaut, tapi kembali membalikkan badan memunggungi Jiddan.

"Ya sudah, gak kalau gak mau sekarang. Abang tinggal dulu. Jangan lupa Adek abis ini siap-siap buat salat," pesan Jiddan.

Setelahnya Jiddan meninggalkan kamar sangat Adik guna membersihkan diri. Pasalnya, Azan Magrib akan segera berkumandang, sementara dirinya bahkan belum mengganti baju.

Dalam perjalanan ke masjid, Jiddan sembari memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada Kale. Apa yang ia katakan harus mengena di hati, tapi tidak boleh menyakiti.

Sementara, Kale yang harus berjalan bersisian dengan Abang Ipar sekaligus sahabatnya ini hanya bisa harap-harap cemas. Wajah Jiddan saat ini datar. Tidak seperti ketika di rumah tadi. Hal tersebut membuatnya sulit menebak perasaan Abangnya Lesha ini.

"Bang!" Kale mencoba memulai pembicaraan, berharap bisa sedikit memecah ketegangan. Jiddan menoleh ke arahnya. Baru saja hendak membuka mulut, sudah terdengar suara ...

Allahu Akbar Allahu Akbar

Azan Magrib sudah berkumandang.

"Nanti aja ngomongnya," kata Jiddan sembari mempercepat langkah menuju masjid yang sudah berada di depan mata.

Mau tidak mau Kale harus mengikuti langkah Abang Iparnya tersebut. Meski begitu, ia merasa sedikit kesal. Padahal tadi dirinya sudah berusaha kuat mengumpulkan nyali untuk memulai pembicaraan, tapi terpotong suara azan. Artinya, nanti ia harus kembali mengumpulkan keberanian lagi dan itu tidak mudah.

Di sisi lain, Lesha di kamarnya kembali mengeluarkan air mata. Diambilnya ponsel yang terletak di samping tempat tidur. "Maaf," katanya sembari menatap foto sepasang manusia yang dibalut pakaian putih khas pernikahan.

Bersambung...

***

Terima kasih sudah membaca.

Bagaimana cerita kali ini?

Adakah yang ingin didiskusikan (digosipkan atau dighibahkan)? 😁

Btw, cerita ini udah tamat di KaryaKarsa, loh 😍
Kalau kamu mau tahu ending cerita ini duluan, langsung gas aja ke sana.
No gantung-gantung Klub dan gak ada gangguan iklan 🤤🤤🤤

Cari aja aku Laeli Minu di aplikasi/web KaryaKarsa atau klik link yang ada di bio, 👌

Terima kasih 🙏😊🤗

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro