Bab 38: Siapa Ayahnya!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haloooo, kembali lagi dengan Laeli Minu di sini. Terima kasih sudah terus mengikuti kisah ini.

Selamat Membaca.

***

Siang ini, Jiddan kembali ke rumah sakit. Ia akan menggantikan Kale untuk menjaga Lesha. Tentu setah dirinya menyelesaikan semua urusan di kampus.

Abang Lesha yang kini mengenakan Chino panjang dan polo shirt lengan pendek tidak datang dengan tangan kosong. Almeera sudah menyiapkan makanan lunak untuk Lesha dan cemilan serta nasi beserta lauknya untuk Kale. Jiddan juga membawa beberapa pakaian milik sang Adik, tentu istrinya yang menyiapkan juga.

Tiba di halaman parkir rumah sakit, Jiddan menghela napas sembari menatap ke arah pintu masuk rumah sakit. Ia tidak pernah mengira Adiknya mesti merasakan tinggal di tempat yang memiliki dinding dominan berwarna putih ini. Meski Lesha menginap bukan karena penyakit berbahaya, tetap saja rasanya tidak nyaman harus bolak-balik ke sini.

"Assalamualaikum!" Diketuknya pintu ruang rawat kelas satu yang ditempati Lesha.

"Waalaikumsalam, masuk Bang!" Kale membukkan pintu sekaligus mempersilakan Jiddan masuk.

Begitu masuk, Jiddan bisa melihat sang Adik yang tidak mau menatap ke arah jendela. Ia bersyukur, meski Lesha berada di ruang rawat kelas tiga, tapi hanya adiknya yang menjadi pasien di ruangan tersebut. "Nih, Kal, titipan dari mamanya Shafi," katanya sambil menyerahkan barang bawaannya. Kakinya melangkah menghampiri Lesha.

"Adek, sehat-sehat, ya. Jangan sakit lama-lama." Jiddan membelai puncak kepala sang Adik.

Lesha mengalihkan pandangannya ke arah Jiddan sembari berusaha mengulas senyum. Ia mencoba untuk terlihat baik-baik saja agar tidak membuat orang-orang tersayangnya semakin khawatir. Mereka tengah berbahagia dengan kabar kehamilannya, seharusnya ia juga demikian. "Abang," lirihnya.

"Iya. Tadi Abang bawa makanan buat Adek sama sama Mas Kale. Harus dimakan, ya, spesial disiapkan sama Kakaknya Adek soalnya." Jiddan mengambil kursi untuk duduk di samping ranjang Lesha.

Tatapan Lesha mengarah pada sang suami yang sedang mengeluarkan mengeluarkan berbagai makanan dari salah kantong kertas. Tadi Jiddan membawa dua paper bag. Satu berisi makanan, sedangkan satunya lagi berisi pakaian Lesha, begitu yang disampaikan Almeera ketika Jiddan hendak ke rumah sakit

"Ada bubur, Dek. Makan dulu, yuk." Kale menghampiri Lesha dengan sebuah kotak makanan di tangannya.

Lesha sempat melihat isi kotak tersebut yang berisi nasi lembek berwarna putih. Meski terdapat suwiran ayam, tetap tidak membuatnya memiliki keinginan untuk makan. Ia memalingkan wajah ketika sebuah sendok tiba di depan mulutnya.

"Ayo makan, dong, Dek." Kale berusaha membujuk sang istri.

"Iya, nanti." Lesha masih dengan penolakannya.

Ketika Kale hendak kembali memaksa sang istri, Jiddan mencegahnya. "Biar Abang aja. Kamu juga makan dulu sana."

Suami Lesha ini menurut. Pasalnya, ia belum makan apa pun sedari tadi malam, kecuali mencoba makanan rumah sakit yang disiapkan untuk istrinya. Untuk dirinya yang sehat saja butuh usaha keras untuk menelannya, apa lagi mereka yang menjadi pasien.

Kale duduk di sisi lain ranjang yang istrinya huni setelah mengambil salah satu kursi dari bed pasien lain. Ia memperhatikan bagaimana Jiddan begitu telaten menyuapi Lesha.

"Sedikit aja, Adek makan. Kasian, loh Kak Almeera sudah menyiapkan semuanya kalau gak Adek makan." Jiddan mengarahkan sendok berisi bubur dan ayam ke hadapan mulut sang Adik.

Sedikit demi sedikit, Jiddan berhasil memaksa Sang Adik untuk makan. Meski tidak lebih dari sepuluh suap, itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Setelahnya, ia kembali membujuk Lesha untuk mengkonsumsi vitamin.

Bertepatan dengan itu, Kale juga menyelesaikan acara makannya. Setelahnya, ia bersama Jiddan membiarkan Lesha tidur.

Di depan kamar rawat, Jiddan menanyakan hasil tes darah yang kemarin Lesha lakukan. "Gimana, Kal, hasil ternyata," ujarnya sembari bersandar pada dinding ruangan.

"Alhamdulillah, Bang, positif. Usianya sudah enam minggu kata dokter." Kale menatap sahabat sekaligus Abang Iparnya sejenak.

Jiddan membalas tatapan tersebut. "Alhamdulillah, kalau begitu. Selamat, ya, akan menjadi seorang ayah setelah menunggu tiga tahun."

"Makasih, Bang," sahut Kale.

Kedua laki-laki tersebut terdiam untuk beberapa waktu. Masing-masing hanya menatap lalu lalang perawat mau pun keluarga pasien dari ruang rawat lain. Sebelum akhirnya Kale kembali membuka mulut.

"Bang, aku pulang dulu, ya. Mau bersih-bersih sekalian ambil baju ganti. Adek masih harus di rawat beberap hari lagi soalnya." Kale bangkit dari acara bersandarnya kemudian menatap sosok Abang Iparnya.

Jiddan mempersilakan Adik Iparnya itu untuk pergi. Ia memang datang untuk bergantian menjaga Lesha. Dirinya bisa melihat Kale yang sedang mengusap kepala Adiknya sembari mengucapkan beberapa kata. Setelahnya, Kale mencium kening Lesha, cukup lama.

Selesai berpamitan, Kale berniat segera kembali ke rumah. Namu sayangnya, Aldi menghubungi dirinya karena ada masalah di toko. Mau tidak mau ia akan menyelesaikan hal tersebut terlebih dahulu.

Selesai dengan urusan tokonya, hari hampir petang. Kale bergegas kembali ke rumah. Ia membersihkan diri lalu mengambil perlengkapan untuk keperluan menginap di rumah sakit. Ketika mengambil salah satu jaket dari tumpukan pakaian paling bawah, sebuah amplop terjatuh.

Kale bisa melihat logo sebuah rumah sakit pada muka amplop tersebut. Terdapat pula tulisan namanya di ujung bawah benda tersebut. Entah kenapa jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar ketika membuka penutup amplop.

Sebuah kertas berhasil Kale keluarkan. Di sana tertera namanya yang dicetak huruf kapital. Kemudian ia lanjutkan membaca hingga bagian keterangan yang menyatakan dirinya mengidap Azoospermia.

"Azoospermia ... mandul ... gak bisa punya anak ... " lirih Kale. "Lesha ... hamil?" lanjutnya.

Dadanya seketika bergejolak ketika mengingat hal tersebut. Ia madul, bagaimana bisa istrinya hamil?

Tanpa memikirkan apa pun lagi, Kale langsung meninggalkan rumah dengan mengendarai motor secepat mungkin. Ia harus segera bertemu Lesha untuk menanyakan kehamilannya. Sayangnya, saat ini bertepatan dengan jam pulang kerja sehingga jalanan sangat ramai. "Sial!" umpatnya ketika tiba-tiba mobil di depannya berhenti.

Begitu tiba di kamar rawat, terlihat Lesha tengah duduk bersandar. Jiddan tidak ada di ruangan tersebut, entah ke mana.

"Hamil anak siapa kamu!" Tanpa basa-basi Kale berkata demikian setelah membanting pintu. Lesha tersentak dari duduknya.

"Maksud Mas, apa?" Lesha tidak paham dengan apa yang suaminya katakan.

Kale langsung saja melempar kertas vonis dirinya yang sudah tidak berbentuk.

Lesha membuka kertas tersebut. "Azoospermia ... " lirihnya dengan kening berkerut. Matanya mengarah kembali pada sang suami.

"Aku mandul! Gimana caranya kamu hamil!" bentak Kale tepat di depan wajah sang istri.

Jantung Lesha serasa berhenti berdetak mendengar hal tersebut. Sejenak tubuhnya mematung. "Ini anak kita, Mas," ujarnya.

"Kan udah ku bilang, aku mandul. Gimana caranya bisa punya anak!" Dengan gigi rapat Kale berujar.

"Tapi, Mas ... " Perkataan Lesha dipotong oleh Kale. "Ohh, berarti benar, ya, kata Risma, kamu selingkuh! Makanya bisa hamil. Terus sekarang ngaku anak aku gitu? Enak banget, ya!"

"Enggak, Mas. Adek gak mungkin begitu." Lesha coba menjelaskan.

"Alahhhh!" Kale mengerang emosi kemudian ke luar dari ruang rawat Lesha dengan membanting pintu, meninggalkan Lesha yang luruh bersama air mata.

Bersambung...

***

Terima kasih sudah membaca.

Bagaimana cerita kali ini?

Adakah yang ingin didiskusikan (digosipkan atau dighibahkan)? 😁

Btw, cerita ini udah tamat di KaryaKarsa, loh 😍
Kalau kamu mau cepetan tahu ending cerita ini, langsung gas aja ke sana.
No gantung-gantung Klub dan gak ada gangguan iklan 🤤🤤🤤

Cari aja aku Laeli Minu di aplikasi/web KaryaKarsa atau klik link yang ada di bio, 👌

Terima kasih 🙏😊🤗

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro