Bab 43: USG Pertama Membawa Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haloooo, kembali lagi dengan Laeli Minu di sini. Terima kasih sudah terus mengikuti kisah ini.

Selamat Membaca.

***

Berhubung keadaan Lesha semakin membaik, hari ini dokter menjadwalkannya untuk melakukan USG. Membaiknya keadaan ini tentu salah satunya berkat sang Suami yang sudah mau menemui dirinya. Jika masih perang dingin seperti sebelumnya, sepertinya keadaan tidak akan sebaik ini.

Mentari begitu semangat menyiarkan cahayanya karena ingin semua orang sama bersemangat seperti dirinya. Dari jendela kamar rawatnya, Lesha bisa melihat sinar cerah sang matahari diantara langit biru di luar sana.

Jadwal USG Lesha bertepatan juga dengan jadwal pemeriksaan kandungan Almeera. Tentu saja Jiddan yang sudah mengatur hal tersebut. Termasuk siapa dokternya juga Abang Lesha yang atur. Yang pasti laki-laki tersebut memilih dokternya harus perempuan. Berhubung dengan dokter yang menangani Almeera pada kehamilan pertama dirasa cocok, kehamilan kedua juga bersama beliau kembali. Ditambah sang Adik juga masuk dalam daftar pasienmya.

Baik Lesha maupun Kale, keduanya sama-sama belum bisa menerima kandungan Lesha tersebut. Mau bagaimanapun asal hadirnya janin tersebut bukan dari hal baik. Jika ingin menolak juga rasanya akan menjadikan mereka manusia paling kejam.

"Mas, Adek jalan kaki aja, gak mau pake itu." Jari telunjuk Lesha mengarah pada sebuah kursi dengan dua roda dan berwarna hitam.

Sedari tadi pasangan ini berdebat mengenai nenda tersebut. Kale takut istrinya itu sakit lagi. Laki-laki ini masih takut sang Istri pingsan lagi atau malah sampai koma. Sedangkan Lesha ingin berjalan kaki saja karena merasa badannya sudah lebih baik. Lagi pula jalan kaki juga sehat.

"Pake kursi roda aja, ya? Mas gak mau kamu kenapa-kenapa. Nanti kalau Adek kayak ... " ucapan Kale terpotong.

"Mas doain Adek sakit lagi ya kayak kemaren?" Lesha sedikit menaikkan nada bicara. Sepertinya emosi ibu hamil satu ini mudah sekali tersulut. Ia memalingkan muka sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Kale lumayan pusing menghadapi istrinya yang seperti ini. Ia tidak berpengalaman menghadapi perubahan emosi ekstrem sang Istri. Biasanya, Lesha selalu berekspresi tenang dan jarang sekali marah.

"Bukan gitu, Adek." Tadinya Kale ingin menyanggah ucapannya Lesha dengan berbagi argumen, tapi tidak karena takut membuat istrinya semakin marah.

Kale mengambil napas panjang kemudian mengeluarkannya perlahan. Ia memikirkan sebuah kalimat atau penawaran yang tidak akan ditolak oleh Lesha. "Ya udah, Adek boleh gak pake kursi roda." Kale bisa melihat Lesha yang langsung menatap dirinya dengan mata penuh bintang. "Tapi ... Adek perginya digendong sama Mas, gimana?"

Mendengar kata 'tapi' yang diucapkan sang Suami saja sudah membuat Lesha cemberut lagi, ini malah ditawari untuk digendong. Jelas perempuan tersebut menolak. "Masa digendong? Adek gak mau!"

"Ya udah, berarti pake kursi roda." Kale tidak mau lagi dibantah.

"Tapi ... " Kale langsung menatap tanjam istrinya ketika hendak membantah lagi.

Lesha pasrah tubuhnya diangkut menggunakan kursi beroda dua tersebut. Ia malu sebenarnya dilihat banyak orang sepanjang perjalanan menuju ruang dokter kandungan. Dirinya bukan orang dengan penyakit parah, tapi jalan aja dibantu kursi seperti ini.

Masih beberapa meter dari ruang tunggu, Lesha seolah melihat penampakan Jiddan. "Mas ... Mas ... itu Abang kan?" Tangan kanan dengan jari telunjuk mengacung ke arah orang yang dimaksud. "Kok bisa di situ? Mau nemenin Adek kah?"

"Pede banget Adek ini. Abang tahu kali kalau Adek udah bersuami, ngapain lagi harus nemenin Adek periksa?" Sifat percaya diri sang istri semacam ini sepertinya baru Kale lihat pertama kali hari ini.

"Kalau bukan buat Adek, terus ngapain Abang di sana? Masa Abang yang mau diperiksa?" Lesha masih belum menangkap maksud kehadiran Jiddan di dalam ruang tunggu dokter kandungan.

"Abangkan juga punya istri, wajar kalau ada di sana," terang Kale, geleng-geleng kepala Mendengar pertanyaan polos sang Istri.

"Ohh, Istri Abang yang periksa." Lesha mengangguk-anggukan kepala.

Kale tidak menanggapi lagi perkataan istrinya itu. Ia memilih untuk terus melajukan kursi roda menghampiri tempat Jiddan berada. "Assalamualaikum, Bang," sapanya.

"Waalaikumsalam." Jiddan menerima kedua Adiknya itu untuk mencium tangannya takzim.

"Abang ... " Lesha merentangkan kedua tangannya meminta dipeluk.

Jiddan menuruti permintaan Adik kecilnya itu. Bagi dirinya, Lesha akan tetap menjadi Adik kecil mau berapa pun usianya, bahkan ketika sebentar lagi memiliki bayi kecil juga.

"Kak Almeera periksa hari ini juga, Bang?" Kale berusaha membangun komunikasi kembali dengan Jiddan. Sebenarnya masih agak canggung bercampur segan juga setelah menerima bentakan Abang Iparnya hari sebelumnya.

"Iya. Sengaja Abang sesuaikan jadwal periksa kandungan mereka sama. Biar lebih gampang di pantau juga," ujar Jiddan. Tangannya masih mendekap Lesha sembari mengusap puncak kepalanya.

Kale terdiam mendengar ucapan Jiddan tersebut. Ia merasa ada nada peringatan di dalamnya. Abangnya itu akan terus memantau dirinya. Mungkin agar ia tidak mengulangi kesalahan sebelumnya.

Tak lama Almeera muncul memecah suasana tegang antara dia laki-laki tersebut. Nama Almeera juga segera dipanggil oleh suster yang membuat Jiddan melepaskan pelukannya pada Lesha. " Abang mau lihat keadaan keponakan dalam perut Kakak kamu dulu, ya?" Ditatapnya mata sang Adik lekat. Pasalnya, Adiknya itu tidak mau melepaskan pelukannya.

Lesha mau tidak mau menjauh dari dekapan nyaman tersebut. Tidak rela sebetulnya, tapi tidak ada pilihan lain.

"Tuh, peluk suami kamu aja!" Jiddan melirik Kale.

Lesha merespons dengan menatap Jiddan dan Kale berganti, berulang kali hingga Abangnya itu hilang ditelan pintu masuk ruang periksa. Kale yang melihat istrinya kembali murung mengambil inisiatif untuk memeluknya. Sempat dirasakannya badan sang Istri menegang. Perlahan, kepala dalam dekapannya itu ia elus membuat Lesha melemaskan tubuhnya.

"Adek kenapa?" Almeera heran melihat Adik Iparnya itu tenggelam dalam pelukan. Sebelum masuk ruang pemeriksaan, Lesha masih menyunggingkan senyum ke arahnya. Kenapa sekarang malah bersembunyi seperti itu.

"Biasa, Kak," sahut Kale sambil melirik Jiddan.

Almeera langsung paham maksud Kale. Keempat orang itu terlibat beberapa percakapan ringan sembari menunggu Lesha mendapat giliran periksa. Jiddan dan Almeera memilih menunggu Lesha diperiksa sebelum pulang. Mereka ingin mengetahui keadaan Lesha beserta kandungannya seperti apa, mengingat sebelumnya ada insiden berdarah.

"Adek tenang aja. Gak diapa-apain kok di dalam. Gak bakal sakit juga kalau USG di perut aja." Almeera memenangkan ketika melihat raut ragu-ragu Adik Iparnya itu.

Lesha memasuki ruang periksa dengan Kale yang masih mendorong kursi rodanya. Begitu di dalam, Lesha segera berhadapan dengan seorang dokter perempuan berusia hampir setengah baya. Dokter dengan segudang pengalaman dan ilmu ternyata yang menjadi pilihan Jiddan dalam mempercayakan kandungan Istri dan Adiknya.

Dokter bertanya beberapa hal kepada Lesha. Lesha menjawab semua pertanyaan dengan jujur, mungkin malah terkesan polos alias terlalu jujur. "Adek benar Adiknya Jiddan?" Sang dokter senang melihat kepolosan Lesha dalam menjawab berbagai pertanyaannya.

"Iya, Adek Adiknya Abang jiddan." Jawaban Lesha ini menimbulkan banyak senyum dari orang yang ada di ruang periksa tersebut.

Tak lama, suster mengatakan bahwa tempat USG sudah siap digunakan kembali. Dokter mengajak Lesha untuk berbaring di ranjang periksa. "Mau USG transvaginal aja gak, Dek?"

“Vaginal? Masuk ke bawah situ?” Lesha menatap bagian bawah tubuhnya sembari membayangkan benda asing masuk ke tubuhnya. “Gak mau! Sakit!” jeritnya.

Kale langsung menenangkan dengan mengusap kepala Lesha.

Dokter tadi segera melakukan tugasnya untuk mengecek kandungan Lesha. Stik USG-nya segera digerakkan mencari posisi paling tepat supaya janin dapat terlihat jelas. “Nih, lihat yang titik hitam ini janinnya, ya. Dilihat dari ukurannya sepertinya sudah jalan minggu ke tujuh. Udah bisa nih kita dengar detak jantungnya.”

Dokter tersebut mengutak-atik mesin USG yang terdapat banyak fitur itu. Tak lama, suara detak jantung terdengar.

Entah kenapa hati Kale langsung bergetar hebat. Ia tahu janin tersebut bukan anaknya, tapi kenapa ia merasa seolah ada ikatan. Ada rasa aneh di dadanya. Rasa memiliki? Rasa ingin melindungi? Entahlah, Kale tidak bisa menjabarkannya. Yang pasti tubuhnya mematung.

Dokter bisa melihat mata berkaca-kaca dari pasangan di depannya. Dokter itu paham betapa senangnya bisa mendengar detak jantung janin, apa lagi jika ini anak pertama.

Bersambung...

***

Terima kasih sudah membaca.

Bagaimana cerita kali ini?

Adakah yang ingin didiskusikan (digosipkan atau dighibahkan)? 😁

Btw, cerita ini udah tamat di KaryaKarsa, loh 😍
Kalau kamu mau tahu duluan ending cerita ini, langsung gas aja ke sana.
No gantung-gantung Klub dan gak ada gangguan iklan 🤤🤤🤤

Cari aja aku Laeli Minu di aplikasi/web KaryaKarsa atau klik link yang ada di bio, 👌

Terima kasih 🙏😊🤗

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro