Bab 6: Apa Salah Lesha?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haloooo, kembali lagi dengan Laeli Minu di sini. Terima kasih sudah terus mengikuti kisah ini.

Selamat Membaca.

***

Sorot matahari yang memasuki kamar, menjadi teman Lesha saat menyiapkan keperluan harian sang suami. Hangat sinar yang menyusup itu membuat perasaannya lebih tenang. Ia berusaha memulai hari ini dengan semangat secerah mentari pagi. Dirinya berupaya melupakan sikap aneh Kale akhir-akhir ini.

Gak mungkin Mas Kale macem-macem. Aku percaya Mas Kale, kok, pikir Lesha.

Pagi ini, Lesha memasak lebih pagi dari biasanya. Secara spesial ia menyiapkan rendang ayam sebagai menu sarapan. Tentu saja yang dia masak ala rumahan, bukan yang persis ada di warung makan padang, kalo yang seperti itu pasti effort lebih. Bahkan, istri Kale ini mengabaikan cucian baju kotor demi memasakkan menu istimewa padahal di luar cuaca sangat cerah.

"Oke, nasi udah matang. Lauk juga udah matang." Lesha berbicara sendiri sambil menyusun makanan tersebut di meja makan. "Tinggal panggil Mas Kale aja, deh" lanjutnya dengan senyum manis mengembang sempurna, senang bisa menjalankan kewajibannya melayani suami dengan baik.

Lesha segera memasuki kamar untuk memanggil suaminya itu. Langkahnya begitu ringan dengan senyum yang tak kunjung pudar. Namun,...

"Mas?" Lesha melihat suaminya itu tengah berjongkok dengan kepala masuk ke lemari. "Lagi ngapain?" sambungnya sambil melangkah mendekati suaminya itu, dahinya mengerut.

"Aduh!" Kepala Kale terbentur pintu lemari.

Lesha langsung lari menghampiri dan menguap kepala sang suami. "Hati-hati, dong!" Katanya.

"Eh, Adek!" Kale menatap sang istri sambil tersenyum malu.

"Mas lagi ngapain, sih, sampe kepala masuk ke lemari gitu?" Lesha memiringkan kepala tidak habis pikir dengan tindakan sang suami.

"Ini, lagi cari celana," jawab Kale yang kini sudah duduk di ranjang, tapi masih mengelus-elus kepala yang tadi terantuk.

"Kan udah Adek siapkan, itu di samping Mas, apa?"  Lesha menanggapi masih dengan kerutan di dahi.

"Iya sih" sahut Kale. "Cuma Mas pengen pake celana panjang gitu."

"Tiba-tiba banget, Mas?" Kini mata Lesha menyipit, menatap Kale penuh selidik.

"Gapaplah. Sekali-sekali." Kale menjawab santai, tapi tidak berani menatap mata sang istri.

"Kemaren sekali. Kemarennya lagi sekali. Kali ini sekali." Gerutu Lesha. "Sekalinya berkali-kali, yah?" semburnya dengar mencebikkan bibir.

"Gak, gitu, Adek. Kebetulan aja." Sanggah Kale.

"Gak, gitu, Adek." Lesha menirukun perkataan Kale dengan sengaja memanyunkan bibir secara berlebihan.

"Ini bibirnya kenapa manyun, gitu" sentil Kale pada bibir Lesha dengn pelan. "Minta dicium, ya?" Ia memajukan wajah hingga bibirnya dengan sang istri tetap sejajar.

"Apasih!" sentak Lesha memalingkan muka, pipinya berona merah.

Karena sudah mengenakan pakaian dengan rapi dan sesuai keinginan, Kale mengajak sang istri menuju meja makan. Ia merangkul bahu Lesha dengan mesra sembari lanjut menggoda istrinya itu. Sekalipun sudah tiga tahun menikah, Lesha masih saja sering merona merah bila sang suami menggodai.

Begitu Kale duduk di salah satu kursi meja makan, Lesha segera memberikan segelas kopi. "Nih, sesuai permintaan Mas semalem yang minta Adek siapkan kopi. Katanya udah bosen sama teh bikinan adek."

"Bukan bosan sama adek, loh, ya?" ledek Kale.

Lesha hanya tertawa kecil saja sebagai respons. Kemudian ia mengambilkan nasi untuk suaminya itu.

"Eist, udah cukup, segitu aja." Kale menahan tangan Lesha yang hendak menuangkan cantong nasi ke dua untuk piring sang suami.

"Kok sedikit Mas, makannya? Padahal udah Adek bikinin rendang spsial, loh." Lesha cemberut.

"Ya, karena udah banyak daging jadi nasinya gak usah terlalu banyak." Pandai sekali Kale ini membuat jawaban. Tidak heran memang jika toko sembako miliknya selalu laris. Pemiliknya memiliki mulut manis yang sering digunakan untuk menyanjung para pembeli. Namun, kali ini korbannya adalah istri sendiri.

Lesha tak banyak komentar lagi setelahnya. Mereka makan dengan tenang setelah Kale memimpin doa makan terlebih dahulu tentunya. Denting sendok yang beradu dengan piring mengisi suasana sarapan mereka. Ketenangan seperti inilah yang Kale suka ketika makan.

Cahaya matahari juga menyorot masuk melalui kaca jendela, ikut menyaksikan pasangan yang tengah makan bersama itu. Di luar rumah terdengar bising sepeda motor berhalangan lalang, pun suara ibu-ibu yang menyuruh anaknya bergegas berangkat sekolah.

"Seandanya di rumah ini jug ada anak, pasti ramai" batin Lesha bersuara. Ah sudahlah pikirannya kemudian mengusir pengandaian tersebut. "Semua pasti ada waktunya," lanjutnya dalam hati.

Mungkin setelah suapan kelima, Lesha tak lagi bisa berdiam diri. Ia mulai mengajukan pertanyaan lagi untuk sang suami. "Oh, iya, Mas, nanti makan siang di rumahkan?" Sembari ia merapatkan badan ke meja makan.

"Maaf. Adek. Hari ini gak bisa dulu, ya?" Kale menatap sang istri dengan senyum meminta maaf.

"Yahhh" Lesha memanyunkan bibir. "Kalo gitu adek ikut ke toko yah?" pinta Lesha menatap suaminya penuh harap.

Kale urung menyuapkan sesendok nadi untuk menolak permintaan sang istri tersebut. Ia meminta istrinya untuk tetap di rumah saja. Tentu Lesha tidak bisa menerima keputusan tersebut begitu saja.

Lesha menatap suaminya tak suka. "Kemaren Adek ke toko, Mas gak ada. Udah di tunggu sampe dua jam masing belum balik ke toko juga." Kemudian ia melanjutkan dengan tebakan. "Kalo hari ini Adek anterin makan ke toko juga, pasti Mas gak ada di sanakan?"

Suaminya itu hanya menatap Lesha lalu menggeleng sebagian jawaban. Kemudian Kale melanjutkan makan kembali. Tapi baru juga nasi masuk ke mulut, Lesha kembali berucap. "Mas kenapa sih akhir-akhir ini aneh?"

Tatapan yang semula mengarah pada potongan rendang, Kale alihkan ke arah Lesha. Istrinya itu apa tidak bisa membiarkan dirinya makan dengan tenang. Gurihnya perpaduan bumbu dalam hidangan buatan perempuan di depannya ini mulai terasa hambar. Perlahan ia kehilangan selera untuk melanjutkan santapan itu.

Kale menghela napas lalu mencoba menghabiskan makan yang masih tersisa setengah itu di piringnya. Jika tidak dihabiskan tentu akan mubazir. Baru hendak menyuapkan sepotong daging, Lesha kembali membuka mulut.

"Mas mau ketemu Risma, yah?" celetuk Lesha tiba-tiba. Entah ia dapat keberanian dari mana hingga bisa mengajukan pertanyaan itu.

Seketika Kale mendongakkan kepala. Ia tidak menduga akan mendapat tuduhan seperti itu. "Risma? Siapa?"

Lesha menyakini dugaan tersebut sekalipun suaminya mengelak. Tuduhan tersebut bukan tanpa alasan karena sebelumnya ia tahu nama tersebut dari pesan balasan yang diterima dari Kale beberapa waktu lalu. Lesha baru mengingat hal itu lagi saat ini.

Kale hanya mengerutkan kening sambil menyanggah perkataan sang istri. Ia tak suka mendengar istrinya terus menyebut nama tersebut. "Emang siapa Risma?"

"Itu, kemaren Adek kirim Mas chat, tapi malah dapat balasan nama itu!" Lesha menjawab dengan bibir makin maju. Mukanya merah, tatapannya semakin tajam.

Kale terus menolak pernyataan sang istri. Wajahnya juga tak kalah merah, rautnya tegang. Ia remas kuat alat makan yang dalam genggaman.

Lesha juga tidak mau mengalah, menganggap apa yang dirinya katakan adalah yang kebenaran. Ia terus berkeras hati sedangkan Kale semakin mengelak, berkilah bahwa tidak boleh menuduh tanpa bukti.

"Ada, kok, buktinya!" Kini mata Lesha sudah melotot, nada biacaranya mulai tidak terkontrol.

Lesha masuk ke kamar untuk mengambil ponsel. Mengecek riwayat chat yang masuk, terutama dari suaminya. Beberapa kali dicek, tapi hasilnya nihil. Kemudian ia kembali ke meja makan sambil menggerutu.

"Mana?" Kale menangih istrinya yang berkata memiliki bukti. Lesha ngotot bahwa kemaren memang ada pesan singkat tersebut. Namun, entah kenapa sekarang sudah tidak ada.

"Jangan asal nuduhlah. Adek pikir, Mas gak sakit hati apa!" Nada bicara Kale meninggi. Sepertinya kontrol dirinya juga mulai lepas.

"Mana ada, sih, Adek bohong. Orang kemaren beneran ada, kok." Lesha tak terima Kale berkata seperti itu.

Kini, Kale sudah kehilangan selera makan sepenuhnya. Di letakkannya kasar alat makan yang di pegang. Ia bangkit lalu segera meninggalkan rumah, tanpa menghabiskan makanan apalagi berpamitan.

"Mas ... Mas ... " teriak Lesha "Mas, gak diabisin dulu makannya?" lanjutnya. Jawaban yangg ia dapat hanya bantingan pintu yang dilempar keras.

"Mas Kale, kok, gitu, sih?" Lesha menatap tajam pintu rumah sambil mengentak-entakkan kaki. Kemudian tatapannya mengarah pada makanan yang masih banyak di atas meja. Wajahnya berubah mendung seketika, berbanding terbalik dengan langit yang semakin cerah. Melihat piring bekas makan sang suami yang masih terdapat sisa, membuat ia juga enggan menghabiskan makanannya.

"Ahhh!" Lesha mengerang dengan air mata mulai berlinang, perlahan menuruni pipi tanpa sempat mengusapnya.

***

Terima kasih sudah membaca.

Bagaimana cerita kali ini?

Adakah yang ingin didiskusikan (digosipkan atau dighibahkan)?

Silakan tinggalkan jejaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro