Bagian 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Vini benar-benar tidak ingin membuat repot orang sekitarnya itu mungkin memang benar adanya. Ia tidak ingin membuat orang lain kesusahan atas perbuatannya. Buktinya, saat ini, ia mendapat tugas untuk membawa tumpukan kertas ke bagian Staf Pemasaran. Bahkan, tumpukan itu bisa dibilang bukan hanya tumpukan selembar dua lembar, tapi satu kardus penuh. Dan itu sudah pasti sangat berat.

Vini yang mempunyai badan kecil, tidak tinggi, bahkan bisa dikatakan jika dia masih pantas menjadi calon mahasiswi baru karena postur badannya yang kecil dan mukanya yang imut itu mengangkat kardus tersebut sendiri, tidak meminta pertolongan orang lain.

Dengan sedikit sempoyongan, Vini berjalan melewati teman-temannya yang sibuk dengan kertas dan komputer di depannya. Salah satu temannya menyenggol lengan Ermin, untuk melihat apa yang dilihatnya.

Dengan sigap, Ermin langsung berdiri dan mengambil alih kardusnya, tapi Vini menolak. “Nggak usah, Er. Aku kuat, kok. Percaya, deh,” senyumnya menunjukkan deretan giginya yang rapi.

Senyum Vini membuat Ermin enggan untuk berpaling. Ia terus menatapnya hingga beberapa detik, keduanya berhenti dan saling pandang.

Jangan ada yang berpikir jika ini adalah adegan romantis seperti yang ada di film-film atau drama Korea, ketika si cowoknya memberikan bantuan pada si cewek dan berakhir saling pandang. Ini benar-benar terjadi antara Vini dengan Ermin. Keduanya seperti pasangan baru yang sedang jatuh cinta meskipun mereka sudah menjalin hubungan ini selama satu tahun.

“Ehm....” Dita menyadarkan keduanya, yang masih saling pandang dan merebut kardus yang dibawa. “Ini kardus udah ditungguin di ruang meeting, gaes. Kalian malah asyik pandang-pandangan kek film Bollywood aja.”

Dita membayangkan adegan film Bollywood yang sering ia tonton, saat Sahrul menatap Tina di bawah anak tangga. Di sana, juga ada banyak teman kuliahnya, tapi keduanya seperti tidak peduli. Seperti sahabatnya saat ini. Di kantor pun, mereka masih sempat-sempatnya beradegan layaknya sedang syuting film.

Dita menggelengkan kepala, mengenyahkan pikirannya saat membandingkan adegan film Bollywood dengan yang ada di hadapannya, dan bergegas menuju ruang meeting karena kedatangan dokumen ini sangat ditunggu untuk memulai rapat.

Sementara Vini, masih mencoba memanggil Ermin dengan menjentikkan jemarinya, tapi tidak ada tanggapan. Ia pun mencubit pelan lengan pacarnya agar sadar akan lamunannya.

“Ke-kenapa?”

“Apanya yang kenapa? Kamu ngeliatin aku kayak fans lagi ketemu idolanya aja.” Vini berjalan ke mejanya yang berada di ruang tengah, yang hanya tertutup tembok pendek.

Ermin yang sadar langsung mengikutinya, berdiri di pembatas tembok dengan tangan berada di atas, badan sedikit mendoyong ke arah Vini, satu tangan lainnya berada di saku.

Ketahuilah, tinggi badan Ermin seperti cowok pemain basket. Tahu, ‘kan, ya, cowok pemain basket itu seperti apa tingginya? Yups, sekitar 180 senti, dan Vini hanya sedada Ermin. Inilah, alasan mengapa Vini sering disebut bocil di kantornya.

“Nanti pulang kerja, bunda pengen ketemu kamu.”
Vini langsung menatap Ermin terkejut. Bukan soal pertemuannya dengan bunda Ermin, tetapi ia belum berani untuk tatap muka langsung dengan calon mertuanya itu.

Kemarin pagi saja, rencana akan bertemu gagal karena bunda tiba-tiba sedang ada acara dengan teman arisannya.

Mengingat terakhir kali bertemu dengan calon mertua tiga bulan yang lalu, saat itu tidak sengaja bertemu di mal. Dia bersama teman arisannya, dan membisikkan sesuatu yang membuat Vini berpikir.

Sesuatu yang membuat Vini untuk memikirkan apakah ia harus bertanya pada Ermin atau tidak tentang perkataan bundanya. Erita mengatakan jika tidak ingin sakit hati, maka jauhi atau putus dari Ermin.

Sampai saat ini, ia masih memikirkan ucapan Erita. Tatapan Vini berubah menjadi tatapan penuh pertanyaan, tapi dirinya merasa enggan untuk menanyakan.

“Harus sekarang, ya?” Vini tidak ingin dirinya menjadi pusat kemarahan Erita.

“Bukan. Nanti sore,” jawabnya santai. Ermin menegakkan tubuhnya, dengan satu tangan masih berada di saku. “Nggak lembur, ‘kan? Aku tunggu di depan nanti.”

Masih ada satu jam sebelum pulang. Vini segera menyelesaikan pekerjaannya, dan tak lupa menyiapkan hati agar kebal terhadap ucapan calon mertuanya.

Setelah mematikan komputer, merapikan meja kerja, dan membuang kertas yang tidak terpakai, Vini akhirnya bisa pulang lebih awal mengingat minggu-minggu sebelumnya, dirinya selalu lembur, hingga tidak sempat untuk pulang bareng cowoknya.

Hari Senin seperti menjadi sebuah kebiasaan jika jalanan akan macet dan suara klakson akan terdengar ke telinga. Entah itu klakson motor, atau mobil. Semua seperti berlomba-lomba siapa yang akan lebih dulu maju. Hal ini, membuat mobil Ermin selalu dibalap sama mobil lain.

“Er, itu, ‘kan, bisa maju. Jangan ngalah! Kalo ngalah terus kapan sampenya?” gerutu Vini sambil cemberut.

“Kasian, mungkin dia udah pengen cepet sampe.”

“Berarti kamu nggak pengen? Oh, apa mungkin kamu sengaja lama-lama di jalan soalnya bunda nggak ngajak ketemu?” Mata Vini memicing, tangannya terulur menarik lengan baju Ermin untuk menjawab pertanyaannya.

Ia ingin kepastian dari seorang Ermin Hendrawan. Kepastian tentang hubungannya dengan Erita. Kepastian tentang restu dari seorang Erita untuk Vini.

Ermin masih fokus ke jalanan. Sebentar-sebentar menengok ceweknya yang masih manyun dengan muka ditekuk, dan tangan bersedekap di dada.

Ermin mengunci mobilnya saat di depan lampu merah menyala. Ia pun menarik tangan Vini lalu dibawa ke depan muka untuk dicium. Satu tangan lainnya mengambil ponsel di saku celananya, lalu diberikan ke tangan Vini.

“Telpon bunda sendiri kalo nggak percaya!”
Vini terkejut? Pasti. Ia tidak menyangka jika Ermin akan memberikan ponselnya pada Vini. Dengan tersenyum canggung, ia membalik ponsel itu ke telapak tangan Ermin, dan menutup jari-jari agar menggenggam ponselnya.

“Nggak perlu. Kamu udah cukup sebagai bukti untuk melakukan hal manis yang nggak pernah aku bayangkan.”

“Aku cuma nggak mau, kamu selalu curiga ke aku. Mungkin bunda emang belum ngerestuin kita, tapi aku yakin suatu saat nanti pasti ngasih jalan.”

Vini pun melebarkan senyumnya. Tidak menyangka jika pacarnya akan selalu memberikan hal terindah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia pun mengubah posisi duduknya menghadap ke sisi kiri, dan ia pun terkejut.

“Er, berhenti dulu, deh!” Vini segera menoleh ke belakang, menatap seseorang itu.

Namun, tatapannya terhalang mobil lain.

“Gimana mau berhenti? Ntar ditabrak dari belakang. Di sisi kiri aja ada pemotor juga.” Sesekali Ermin melihat ke belakang, untuk memastikan mobil belakang.

Setelah mobil terparkir di tepi jalan, Vini berlari keluar, tapi tidak menemukan seseorang itu.

Apa iya dia seseorang yang Vini cari selama ini? Namun, tidak mungkin. Dia telah lama menghilang dan tidak ada kabar dari teman-teman sekolahnya.

“Nyari siapa, sih? Ada yang kamu kenal?” tanya Ermin saat Vini sudah kembali ke mobil. Ermin berdiri di samping pintu penumpang.

“Tadi kayak Lely. Apa aku salah liat, ya?”

“Lely siapa?”

“Anak kelasku dulu, yang sering aku rundung.”

“Masuk dulu, yuk! Bunda udah telpon, nih.” Mereka akhirnya masuk mobil dan Ermin melajukan mobilnya. “Lely yang tinggi kurus itu?”

“Iya, yang anaknya pinter juga. Aku dulu, ‘kan, sering menggaduhkan dia, sampe nggak sengaja aku dorong dan dia celaka.”

“Celaka gimana?” Ermin memarkirkan mobilnya. “Udah sampe, yuk!” melepas melepas seatbelt-nya dan mengajak Vini untuk turun.

“Panjang ceritanya. Masa kamu belum denger, sih?” Ia curiga jika Ermin pura-pura untuk tidak tahu atau bahkan mengetahui tetapi tidak peduli karena bukan urusannya.

Mereka memasuki rumah dan Ermin mempersilakan Vini untuk duduk. “Nanti dilanjut lagi, ya! Sekarang mau minum apa?”

‘Air putih aja.”

“Oke. Aku tinggal bentar.”

Vini baru mendudukkan pantatnya ke sofa, Erita muncul dengan segelas air minum di tangannya.
“Bun,” panggil Ermin yang sedikit terkejut dengan kemunculan Erita di belakangnya.

“Vini?”

Yang dipanggil pun berdiri kembali, dan mendekat untuk mencium tangan calon mertuanya. Ia senang jika akhirnya bisa bertemu dengan keadaan baik-baik saja.

Tidak seperti saat pertama kali bertemu. Vini dipermalukan di depan teman-teman arisan Erita yang saat itu sedang makan-makan di rumah makan.
Semua memandangnya dengan tatapan seperti bos pada bawahannya. Namun, Vini tidak bisa marah karena Erita adalah ibu dari cowoknya. Yang akan menjadi mertuanya nanti.

Sesuai ucapan Ermin kemarin pagi, jika bundanya sudah tidak marah dan mengizinkan Ermin untuk memacari Vini. Terbukti hari ini Vini berada di rumah Ermin untuk bersilaturahmi.

Saat akan mengambil tangan Erita, rambut Vini merasa dingin, seperti ada aliran air yang membasahi wajahnya. Ia pun memegang pelipisnya. Erita telah menyiramnya dengan air dingin.

“Bunda!” Suara tinggi Ermin melengking, karena terkejut kejadian tiba-tiba yang Erita lakukan.

“Kenapa? Kamu berani bentak bunda? Demi perempuan ini, Huh?”

Tbc


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro