Bak Mandi Bergumpal Hitam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa lagi?!"

"Itu, badanmu kotor. Lebih baik mandi dulu sebelum tidur," katanya.

Aku berdecih. Menyuruhku membersihkan diri rupanya. "Tidak perlu susah-susah. Kau tidak memiliki hidung jadi badanku yang bau keringat tidak akan menjadi masalah besar bagimu."

"Tetap saja. Kebersihan itu penting. Rambutmu saja sudah kusut begitu."

Aku diam sebentar, mengumpulkan energi agar bisa meledak-ledak. "Kalau kebersihan memang penting, kenapa kau tidak membersihkan rumah ini selama aku pergi?!"

"Aku kan tidak punya tangan," balasnya.

"Jadi apa yang kau lakukan selama selang waktu enam jam lebih itu?"

"Menunggumu kembali."

Jawabannya tidak memuaskanku sama sekali--yang ada malah tambah kesal. Menungguku kembali sama saja dengan tidak melakukan apa-apa. Aku sudah cukup sadar diri dengan menganggap bahwa tempat tinggal ini adalah tempat tinggal terbaik yang bisa kumiliki di kota ini, terlebih lagi karena aku baru di kota ini--aku bahkan benar-benar bersyukur karenanya.

Di kota lain, jika aku menjadi penyintas, mungkin aku akan tinggal di jalanan dulu selama beberapa bulan sebelum memiliki cukup uang untuk menyewa sebuah rumah.

Tapi tetap saja, jika begini terus, siapa yang tidak marah? Menjadi tawanan seisi kota sudah cukup untuk membuatku kelelahan, pula aku harus bekerja banting tulang setiap harinya demi hajat hidupku sendiri. Namun saat pulang ke rumah, ternyata aku malah disuruh bekerja lagi.

"Aku belum mau mandi. Baknya masih kotor." Aku akhirnya menyampaikan permasalahan utama mengapa aku tidak mau cepat-cepat mandi saat ini. Melihat ke dalamnya saja sudah tidak mau, apalagi mandi dengan air yang berasal dari bak yang sama dengan tempat gumpalan hitam aneh itu mengumpul.

"Tidak masalah. Kau bisa mandi dengan cara yang sama seperti tadi pagi."

"Tapi aku tidak mau. Aku sudah terlalu lelah untuk setidaknya menjerang seember air dari sumur belakang."

"Kalau begitu langsung mandi saja dari bak. Tidak apa, aku bisa menjamin kalau kau tidak akan keracunan atau kulitmu berubah menjadi seperti katak rawa setelah ini."

"Jangan bilang orang-orang di kota ini bisa berubah menjadi katak menjijikan hanya karena mandi air aneh." Walau ia sudah meyakinkanku berkali-kali, aku tetap belum bisa memercayainya. Ucapannya lebih banyak yang tidak benar dibandingkan dengan benar-benar mengatakan hal yang sesuai dengan keadaan sesungguhnya.

"Ada beberapa, tapi kami menyalahkan penyihir karena hal itu. Lagipula itu sudah cerita lama."

"Ada penyihir di kota ini?"

"Ada. Mereka bersembunyi di komplek pertokoan roh."

Mendengar fakta yang ia ucapkan barusan membuat kepalaku semakin pusing saja. Mengetahui bahwa penyihir-penyihir di kota ini tidak diberantas seperti di Blisshore membuatku sakit kepala--mengaduk ramuan obat sedikit saja sudah bisa membuat pihak tertinggi di kota dan para ksatria kikuk tapi beringas di bangsal penjaga cepat-cepat datang ke rumah si pembuat obatnya. Keesokan harinya, kami sudah bisa mendengar selentingan-selentingan tentang acara gantung diri di alun-alun.

Tapi baiklah-baiklah, dia menang lagi kali ini. Aku akan mandi. Lagipula, badanku juga sudah lengket oleh keringat dan entah kenapa aku sempat-sempatnya berpikir untuk tetap tertidur dengan keadaan seperti ini--padahal di panti, aku tidak akan mau tertidur jika tidak mandi dulu setelah melakukan kegiatan di luar gedung utama, walaupun itu sekedar duduk-duduk di bawah pohon ceri tua yang dedaunannya rontok semua saat musim dingin tiba.

Hidung, mari bekerja sama siang ini dan kulit, tetaplah hidup setelah ini.

••••

Aku sudah selesai mandi. Aku tidak bisa memutuskan apakah dengan ini bau badanku akan menjadi lebih wangi atau malah menjadi tambah aneh. Bau air di bak agak ganjil, seperti bau ganggang basah yang direndam dalam cuka apel. Tapi semoga saja sabun aroma mawar tadi bisa menutupi bau itu paling tidak setengahnya.

Aku kembali ke kamar untuk mengambil pakaian. Kuentakkan pintu lemari itu kuat-kuat agar kelihatan seperti orang marah. Siapa tahu Tuan Suara-tanpa-nama menganggapku sedang bersungut-sungut sehingga dia tidak lagi menyuruhku melakukan hal-hal lain seperti membersihkan loteng atau membongkar seisi dapur.

"Sudah mandi?"

"Tidak lihat?"

"Oh, sudah."

Aku bersumpah akan mencekik siapa pun orang yang ada di balik suara itu andai saja ia memiliki batang leher yang bisa kupegang. Ucapannya tadi benar-benar membuatku kesal--walau begitu, aku tidak tahu apakah dia memang sengaja atau benar-benar tidak melihatku pergi ke kamar mandi tadi.

Rasa kantukku hilang tanpa bekas, padahal aku sudah menguap hebat sebelum masuk ke bilik mandi tadi. Aku mengurungkan niatku untuk tertidur.

"Aku--"

"Karena sudah mandi, ayo berpikir tentang pekerjaan apa yang kiranya cocok untuk kau lakukan besok."

"Apakah aku benar-benar tidak kau bolehkan istirahat selama tinggal di kota ini?"

"Tenang saja," ucapnya. "Aku akan meninggalkanmu di malam hari, dan kembali lagi ke sini pagi-pagi buta. Anggap saja aku adalah giring-giringmu."

Aku tidak mendapat waktu untuk beristirahat selain di malam hari. Bagus.

"Di akhir minggu kau juga bisa mendapat jatah libur sehari. Itu pun kalau kau mau." Tuan Suara-tanpa-nama meneruskan kembali ucapannya--padahal aku kira dia sudah selesai tadi.

Mendengarnya membuat senyumku merekah lagi. Baguslah, paling tidak aku memiliki satu hari di mana aku bisa tertidur puas dari pagi sampai ke sorenya.

Aku memakai bajuku dengan cepat. Celana pendeknya juga. Bahannya tipis, mudah sekali untuk dimasuki angin. Tapi tak apa, malam nanti aku akan berganti lagi dengan baju yang lebih tebal.

Ini masih siang dan waktuku masih banyak sebelum malam tiba. Aku bisa saja berjalan-jalan mengelilingi kota, mendatangi rumah Bargin Meath Tua, atau pergi ke komplek pertokoan roh yang membuatku penasaran dari tadi. Kendati begitu, aku tetap memutuskan untuk berdiam di rumah.

Nanti saja mengelilingi kotanya. Ada satu hal lain yang lebih penting kali ini. Mencari pekerjaan.

"Jadi, menurutmu, aku bisa bekerja di mana besok?" Aku duduk bersila di atas lantai kayu dan menatap kosong ke dinding kamar yang ditumbuhi jamur biru-hijau. Aku tidak tahu harus menatap ke mana jadi ya sudah, aku akan menatap dinding kamarku saja.

Suara itu diam sebentar. Sepertinya berpikir. "Aku tidak tahu juga sebenarnya. Kau mau bekerja di mana kira-kira?"

Jika ditanya seperti itu, aku tidak tahu harus menjawab apa. Di panti dulu pun, Nyonya penjaga tidak pernah membahas hal seperti ini karena semua anak panti tahu kelak setelah besar pekerjaan mereka pasti tidak akan jauh-jauh dari bekerja sebagai peladang, pengembara, dan pengawal kerajaan--itu pun kalau beruntung.

"Baiklah, mari cari dari yang bayarannya paling besar dulu."

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro