Mantel Hitam Abu Perapian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini masih hari kedua dari total jatah kerja semingguku di tempat Nyonya Peruglia. Sepertinya hari ini tidak akan jauh berbeda dari kemarin. Keluar masuk dapur, mengangkat lusinan roti dari pemanggangan, lalu menguleni banyak adonan kue hingga kalis. Pun, tidak ada hal-hal aneh yang terjadi kepadaku selama bekerja di tempat itu kemarin jadi aku akan menganggapnya sebagai sebuah berkah.

Jarang-jarang aku diberi nasib baik di kota ini.

Ah, perihal Tuan Suara-tanpa-nama, sepertinya ia tengah bersungut-sungut gara-gara ucapanku semalam. Ia absen dari kegiatan 'Membangunkan seorang Arthur yang sebenarnya tidak pemalas namun kelihatannya pemalas hanya karena gaya tidurnya yang seperti orang mati' hari ini. Jika begini jadinya, aku tidak akan menanyakan pertanyaan itu lagi kepadanya.

Hari ini hujan. Rebas-rebas, gerimis. Awalnya begitu. Tapi tak lama setelahnya, hujannya jadi lebih deras daripada badai gelap tempo hari.

Ini kali pertama aku merasakan hujan pagi hari di kota awan ini. Kusangka, kota ini tidak akan mengalami satu pun hujan karena kata para penduduk, kota ini adalah kota awan. Letaknya pasti sejajar dengan awan-awan yang lainnya--setidaknya aku berpikir seperti itu.

Dari kemarin juga, aku tidak melihat adanya satu pun awan berjalan lambat seperti kakek tua dari peternakan di langit sana--yang sebenarnya hal ini masih kuragukan jika mengingat air sumur di belakang rumah yang saat kuperiksa terakhir kali  masih memenuhi tiga per empat bagian sumur.

Ah.

Hujan di luar tambah deras. Ranting pohon kering yang sudah kehilangan daunnya mengetuk-ngetuk kaca jendela rumah Tuan Bargin.

Sial.

Aku tidak memiliki payung, pelindung pakaian, apalagi kereta kuda yang di bagian bangku penumpangnya ada atap kecil dari kayu bercat putih dengan air yang merembes-rembes tiap kali terguyur hujan.

Nyonya Peruglia pasti akan naik darah jika melihatku datang ke tempat kerjanya dengan pakaian basah, rambut acak-acakan, dan bau keringat bercampur air hujan yang kudapat gara-gara berlari di jalanan kota--ah, jangan lupakan juga sepatuku yang bisa kutebak akan memiliki noda lumpur hasil dari menginjak kubangan air di dekat blok pertokoan roh.

Aku hendak menunggu sampai hujannya reda sebelum pergi ke luar. Tapi, tampaknya hujan akan tetap turun sampai sore hari dan aku sudah frustasi duluan jika memikirkan hukuman apa yang akan diberikan oleh Nyonya Peruglia di toko nantinya.

"Kenapa belum pergi?"

Sekaget-kagetnya aku ketika melihat rombongan kurcaci di dalam lumbung Tuan Gulliver, aku lebih kaget lagi ketika menyadari bahwa Tuan Suara-tanpa-nama tiba-tiba datang lagi entah dari mana sambil bertanya.

Baguslah, artinya dia masih menaruh perhatian kepadaku.

Tapi tetap saja, pertanyaannya tidak ada yang tidak membuat naik pitam.

"Di luar ada apa?" jawabku malas.

"Hujan," jawabnya singkat.

Aku berhenti sebentar, memberikan satu sudut ruang tengah tatapan sinis, lalu kembali melanjutkan. "Jadi, apa yang sudah diperbuat hujan kepadaku?"

"Menghambatmu pergi."

"Lalu, kenapa masih bertanya?" Aku membalas dengan tajam, berusaha mengakhiri pembicaraan yang akan mengarah ke perdebatan yang tidak ada artinya ini.

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan makhluk ini. Setelah kujawab seperti itu pun, ia hanya tertawa terpaksa seperti melihat pertunjukan dari badut kerajaan yang sebenarnya tidak lucu sama sekali--malah kelihatan seperti orang bodoh yang hanya bisa memutar-mutar piring porselen palsu sambil mengoceh tidak jelas.

Aku berganti dari posisi berdiri menjadi berjongkok lalu mulai memangku dagu menggunakan tangan sambil melihat lomba lari dari tetesan air di atas genting. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku tidak bisa berjalan dengan kecepatan super, memiliki tubuh yang anti air, apalagi menghentikan hujan.

Jika bisa pun, aku tidak akan memilih untuk bekerja sebagai asisten tukang kue di kota antah berantah.

Pikirku Tuan Suara-tanpa-nama tidak akan marah setelah aku menjawab pertanyaannya dengan baik-baik. Aku salah. Dia malah kembali menyerangku dengan pertanyaan yang tidak jauh bodohnya dengan pertanyaan pertama.

"Mau sampai kapan kau berjongkok di tempat itu terus?" ucapnya, sambil memberikan penekanan di tiga kata pertama.

"Sampai hujannya berhenti."

"Jika menunggu hujannya berhenti, statusmu sebagai pekerja di Toko Kue Nyonya Peruglia pasti akan ikut berhenti."

Aku berdecih keras-keras. Ucapannya benar, tapi entah kenapa aku tidak senang mendengarnya.

"Setidaknya aku punya alasan untuk datang terlambat ke sana," ucapku lelah. "Aku lebih memiliki kemungkinan untuk diberhentikan jika datang ke tempat itu dalam keadaan basah kuyup dan mengotori lantai tokonya dengan air lumpur bercampur rumput pengganggu."

"Kutebak, pegawainya satu lagi, si Peruvila--ah, tidak. Si Perulena--ah, bukan itu namanya. Siapa namanya?"

"Yang mana?"

"Pegawai satunya."

"Tidak tahu. Aku tidak sempat.bertanya kemarin."

Suara itu mencak-mencak. "Bagaimana mungkin rekan kerjanya sendiri tidak tahu siapa nama orang yang berada di satu bangunan yang sama dengannya selama berjam-jam itu?"

Aku berdiri lagi kemudian meninju udara. "Cepatlah, apa yang kau inginkan sekarang? Tumben sekali kau datang ke sini di jam seperti ini. Padahal pun, malam tadi kau masih marah-marah kepadaku."

"Itu masalah lain. Sudah kubilang berkali-kali, ada banyak hal yang seharusnya tidak kau tahu tapi kau malah makin mendekatkan diri ke hal-hal itu. Sudahlah, cepat berkemas dan ambil mantel hitam abu perapian di kamarmu!"

Aku mematung sebentar.

Mantel hitam?

Di kamarku?

Yang benar saja! Aku tidak mungkin memiliki pakaian yang harganya membuat seluruh tabungan dari dua puluh anak panti habis tak bersisa.

Lama aku bergeming hingga akhirnya Tuan Suara-tanpa-nama memarahiku lagi sehingga aku lekas berjalan menuju kamarku. Jika mantelnya tidak ada pun, aku masih memiliki keuntungan berupa alasan bagus untuk marah-marah kepadanya setelah ini.

Memasuki kamar, ternyata mantel hitam yang ia maksud sudah tergantung mantap di dekat kusen jendela. Antusiasmeku yang awalnya akan kuhabiskan untuk mengomeli Tuan Suara-tanpa-nama tiba-tiba langsung berubah haluan ke mantel hitam itu.

Bahannya tebal, berat, lembut, dan berbau orang kaya. Pakaian terbaikku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mantel mewah ini--walau aku bisa menebak bahwa atasan ini berasal dari toko loak jika dilihat dari tambalan di daerah sekitar ketiaknya, aku tidak akan protes banyak-banyak setelah melihat bentuknya yang bisa mengubahku menjadi bangsawan dadakan itu.

"Pakai!" perintahnya. Telingaku pengang jika lama-lama mendengar seruannya.

Aku memakainya. Agak susah memang, tapi setidaknya masih bisa kugunakan dengan benar. Lagi-lagi, bagian lengannya kebesaran. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa berjalan-jalan di luar dengan pakaian seberat ini--ditambah lagi hari ini sedang hujan.

"Sekarang pergi!"

Lagi-lagi aku menurutinya seperti Tuan Rudolf yang mengekor Nyonya penjaga panti tiap kali jam makan siang tiba.

Aku bergegas menuju pintu depan, keluar, membanting pintu hingga ada suara berdebum yang bisa membangunkan Nona Ruby, lalu masuk lagi ke dalam rumah sekedipan mata setelahnya.

Jika saja Tuan Suara-tanpa-nama memiliki wajah, ia pasti akan kebingungan dengan apa yang baru saja kulakukan di pintu depan.

"Mantelnya tidak tahan air."

"Apa maksudmu?"

"Mantelnya masih basah jika terkena air hujan."

"Kau mengharapkan apa sebenarnya? Mantel anti air yang tidak akan basah sekali pun diceburkan ke dalam danau, atau mantel yang bisa membawamu terbang menuju toko milik Nyonya Peruglia dengan mudah? Jika ada yang seperti itu, aku tidak akan memberikannya kepadamu." Tuan Suara-tanpa-nama tertawa setelahnya.

"Jadi, aku masih harus berjalan cepat-cepat menuju tempat itu walau aku sudah memiliki mantel ini?"

"Benar. Nah, jika kau pintar seperti ini, aku juga jadi ikut senang, kan? Hahahaha."

Cih.

Tbc.


Author Note:

Hae

Itu siapa? Itu Arthur, MC cerita ini.

Bagus, kan? Bagus banget pasti. Saya aja nangis pas ngeliatnya. Bikin minder huehuehue.

//nangis

renulis_ BIG THANKS TO REN YANG UDAH BUATIN SAYA FANART ARTHUR

HUAAA ENDAK TAU LAGI SAYA MO GIMANA NGEBALAS KEBAIKAN KAMU. MAKASIH BANYAK POKOKNYA.

Arthur: "Itu aku?"

Yaiya.

Arthur: "Kenapa bagus sekali? Wajah asliku saja tidak sebagus itu. Tuan Ren, terima kasih banyak!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro