Penjaga yang Kebingungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Menurutmu, patung yang pertama bisa berbicara tidak?"

Menempatkan gadis itu dengan jarak kurang dari tujuh puluh langkah nampaknya bukan keputusan yang tepat untuk diambil. Dari tempatnya, aku bisa mendengar seruan gadis itu yang tiba-tiba saja mengeluarkan pertanyaan bodohnya yang keempat.

"Annabeth, ada tiga hal yang lebih penting daripada mengetahui tentang bisa atau tidaknya patung yang saat ini tengah bertegak-tegak di belakang kita dengan pandangan membunuh itu, memiliki kemampuan berbicara atau tidak."

Di depan gerbang masuk, Annabeth malah semakin tidak waras. Dugaanku salah total karena sebelumnya telah mengira bahwa otaknya sudah membeku oleh udara dingin sehingga omongannya jadi macam-macam--nyatanya, di gurun pasir tandus pun, gadis ini pasti akan tetap bertingkah seperti batita aneh dari salah satu rumah nelayan yang ruang tengahnya bau rumput laut itu.

"Apa saja?" Annabeth melompat ke arahku. Kalau saja aku tidak menghindar, kakiku pasti sudah memerah saat ini gara-gara terinjak oleh sepatunya yang mengeras terkena salju itu.

"Pertama, aku tidak tahu."

"Wah, aku baru tahu kalau kau tidak tahu."

Cih.

Demi Tuhan, aku kesal sekali dengan gadis ini. Wahai burung peliharaan Nyonya Griffith yang membawa kue perayaan hingga turun ke Blisshore, aku membencimu karena sudah membuatku terperangkap bersamanya di kota ini.

"Kedua, menanyakan hal itu tidak lebih penting daripada mendermakan dua puluh koin emas Blisshore ke walikota kita yang perutnya menggembung karena setiap hari selalu diisi oleh lemak itu."

"Lalu," ucap Annabeth, "apa yang ketiga?"

"Yang ketiga, aku tidak mau diganggu. Aku hanya ingin serius dalam bekerja di tempat ini dan aku tidak akan bisa serius jika kau terus-terusan menggangguku seperti ini. Jika aku tidak serius dalam bekerja, maka akan semakin lama juga kita berdua bisa mengumpulkan koin emas Scallian, membayar hutang kepada Nyonya Griffith, dan ditunda lagi perjalanan pulang kita menuju Blisshore."

Haahh ....

Wajahku sepertinya sudah membiru karena nekat mengatakan alasan nomor tiga hanya dalam satu kali tarikan napas.

Annabeth mengangguk. Dia berjalan ke posisi awalnya yang tanahnya sudah agak tertekan ke bawah di dekat bagian kakinya, lalu berdiri dengan serius. Kala itu, aku bersyukur karena akhirnya otak gadis kurus itu bisa bekerja juga setelah dari pertama kali datang ke kota ini, pikirannya sudah cukup rusak seperti lampu di gudang panti.

Pikirku begitu sebelum dia berjalan lagi beberapa menit setelahnya, mengetuk pundakku tiga kali, lalu mulai bertanya lagi. "Kita mau serius bekerja seperti apa jika tidak tahu apa yang harus dikerjakan?"

Hmm.

Benar juga.

Aku menoleh. Aku tidak bisa menentukan apakah gadis dengan wajah berbintik-bintik di depanku ini sedang bercanda, mau menyindir, atau memang benar-benar serius dengan ucapannya barusan.

"Kita di sini adalah penjaga gerbang. Apalagi yang harus kita lakukan jika bukan menjaga gerbang? Tidak mungkin sekali rasanya jika seseorang tiba-tiba menyuruh kita untuk menyamak kulit hewan ternak sedangkan pekerjaan kita adalah sebagai penjaga gerbang."

Ucapanku dibuat serius agar Annabeth tidak datang untuk yang ketiga kalinya. Pun, pada akhirnya, aku juga kebingungan karena penugasan kami sebagai penjaga gerbang ini sama sekali tidak jelas juntrungannya.

"Tapi, tapi, tapi, apa yang harus kita jaga?"

"Gerbang."

"Bukankah sudah ada patung-patung di belakangmu itu? Kalau memang tidak bisa menjaga gerbang dan masih membutuhkan bantuan penduduk, kenapa mereka setiap hari selalu berdiri di depan sini seperti orang sinting yang menunggu jatah pembagian roti dan daging asap gratis dari pengatur kota?"

"Kau sudah pernah melihat pembagian roti dan daging asap di kota?"

"Tentu saja," ucap Annabeth bangga, "aku tidak sepertimu yang paling jauh hanya bisa berpergian sampai ujung blok pertama terhitung dari muka kota."

Aih, sial.

Andai saja aku tidak menanyakan tentang hal itu, mana mungkin aku bisa dipermalukan seperti ini.

"Hahaha, aku tidak menyangka kau bisa kalah berani dengan seorang gadis yang seumuran denganmu."

"Tolonglah, Annabeth, fokus saja pada pekerjaanmu." Aku kesal meladeninya. Didiamkan makin gila, dibalas dengan ucapan juga makin gila.

Ah, aku lupa. Gadis ini memang sudah gila dari awal.

Annabeth diam sebentar. Satu tangannya mengurut dagu dan kaki kanannya menepuk-nepuk salju beberapa kali. "Memangnya, apa pekerjaanku?"

"Menjaga gerbang."

"Bukankah sudah ada patung-patung di belakangmu itu? Kalau memang tidak bisa menjaga gerbang dan masih membutuhkan bantuan penduduk, kenapa mereka setiap hari selalu berdiri di depan sini seperti orang sinting yang menunggu jatah pembagian roti dan daging asap gratis dari pengatur kota?"

Annabeth mengulang.

Annabeth mengulangi ucapannya barusan.

Annabeth mengulangi ucapannya barusan dengan sempurna, tidak ada satu pun bagian yang terlewat, dalam satu kali tarikan napas.

Seandainya Annabeth mengatakan bahwa ia baru saja menangkap seekor kambing gunung dengan tangan kosong, maka aku tidak akan lebih kaget daripada mendengar ucapannya barusan.

Aih.

Kenapa malah aku yang jadi tidak fokus seperti ini?

"Jadi?" Annabeth mencondongkan badannya ke depan. Jarak kami berdua tipis sekali hingga aku bisa mendengar dengan jelas pertanyaannya yang ketiga tentang alasan kami dipekerjakan di tempat ini.

"Benar juga. Anggap saja mereka sedang berbaik hati sehingga mau-mau saja mempekerjakan kita di tempat ini. Barangkali mereka juga sudah muak melihat muka kita sehingga mereka rela membagikan koin emas Scallian cuma-cuma agar kita bisa segera hengkang dari tempat ini."

Annabeth tidak percaya. Wajar saja karena wajah patung-patung itu lebih tidak mungkin untuk bisa menghadiahi kami koin emas dibandingkan dengan pria paling pelit di Blisshore yang ketika mati akan menguburkan dirinya bersama dengan gunungan simpanan koin emas yang ia taruh di dalam lumbung gandum.

Gadis itu berjalan menjauh. Bukannya kembali ke posisinya semula, Annabeth malah berbalik, masuk ke dalam gerbang, lalu menghilang setelah berbelok.

Cih.

Annabeth tidak akan bisa melakukan hal-hal waras dan jika satu kali lagi saja dia mengganggu salah satu dari ketiga patung itu, aku tidak yakin ia bisa kembali lagi ke depan gerbang hidup-hidup.

"Annabeth--"

"Apa?"

Gadis ini benar-benar ajaib ... dalam artian tidak baik.

Tidak puaskah dia ketika setengah jam yang lalu baru saja bergelantungan dan memanjat salah satu kaki patung seperti monyet kesurupan? Baru saja ditinggalkan beberapa belas detik, Annabeth sudah membuat masalah baru dengan melempari salah satu patung dengan badan paling besar menggunakan bola salju sekepalan tangan.

"Apa yang--"

"Apa?"

Annabeth masih melempari salah satu patung penjaga dengan bola salju. Wajahnya masih sama seperti yang kulihat ketika berada di depan gerbang kota tadi--mengesalkan.

"Ah, aku melempari patung-patung ini dengan bola salju. Mau ikut tidak?"

"Annabeth, kau--"

"Ah, rugi sekali rasanya jika tidak ikut. Ayolah, Arthur!"

"Kau--"

"Tidak apa, aku sudah izin. Ketika aku bertanya tentang apakah aku boleh melempar mereka dengan bola salju ini atau tidak, mereka diam saja. Itu artinya mereka setuju, bukan begitu, Arthur?"

Ya Tuhan ....

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro