Perpustakaan Kota Scallian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah beberapa menit berdebat lagi hingga tidak menemukan titik terang dan mulutku kelelahan, Tuan Suara-Tanpa-Nama pergi tanpa aba-aba. Sepertinya pria itu sedang mencak-mencak saat ini. Bagaimana tidak, dari awal, dia berusaha untuk mempertahankan pekerjaanku sebagai penjaga gerbang depan walau aku sudah terang-terangan berkata tidak mau.

Menyusahkan saja ....

Kalimat terakhirnya sebelum pergi bahkan masih memiliki hubungan dengan upah kami sebagai penjaga gerbang yang katanya akan dinaikkan kelak--hanya dua puluh koin, sebutnya tadi. Dipakai untuk membeli seekor ayam petelur pun tidak bisa.

Tetapi baguslah, dengan kepergiannya, aku bisa bebas berdiskusi dengan Annabeth tentang ini. Dari tadi gadis itu diam saja. Mulutnya seperti ingin berbicara. Namun, pada akhirnya tidak ada satu kata pun yang meluncur dari bibirnya.

"Nah, Annabeth," ucapku, "menurutmu, kapan kita harus mulai mencari tahu tentang pekerjaan di kota ini?"

Annabeth menggaruk dagu. Matanya menatap langit-langit, memandangku sekilas, lalu menatap langit-langit lagi--barangkali tengah berpikir atau melihat kawanan rayap yang bersembunyi di gelondong kayu dekat langit-langit.

"Malam ini."

"Tidak bisa, Annabeth. Semua orang sudah tidur saat ini. Kalau berusaha dibangunkan pun, pada akhirnya kita yang akan mendapat tambahan masalah."

"Siapa bilang kita akan mencari tahu dari bertanya kepada penduduk lain?"

Eh?

Ah.

Annabeth tidak berubah. Masih seperti dulu. Jalan pikirannya tidak bisa tertebak sama sekali. Aku menyuruhnya untuk menjelaskan bagaimana rencananya, sementara aku akan menyiapkan daftar umpatan jika saja gadis itu memiliki niat untuk bermain-main denganku.

"Perpustakaan. Ah, di kota ini ada perpustakaan tidak?"

Aku mengangguk, Annabeth melanjutkan. "Kita bisa ke tempat itu malam ini. Barangkali ada satu atau dua informasi yang bisa kita dapatkan."

"Informasi dari mana?"

"Buku informasi kota, Arthur. Di perpustakaan Blisshore dulu, di salah satu lorongnya ada kumpulan buku tentang hal-hal yang berhubungan dengan kota dan terkumpul dalam satu rak. Siapa tahu kita bisa menemukan hal serupa di tempat ini. Lihat dulu. Kalau memang tidak ada, kita langsung pulang. Aku ingin tidur."

Perkataannya ada benarnya juga. Perpustakaan kota menjadi tempat yang paling banyak menyimpan tentang seluk beluk kota--setidaknya di Blisshore begitu.

Mari berharap agar kota aneh seperti Scallian ini juga memiliki bahan bacaan seperti itu dan jika tidak ada, aku tidak tahu lagi harus mencari informasi ke mana. Tuan Suara-Tanpa-Nama tidak bisa diharapkan. Saat ini pria itu tengah bersungut-sungut dan tidak akan kembali dalam waktu cukup lama--paling cepat satu minggu, paling lama tidak akan pernah muncul lagi karena merasa tidak dihargai.

Menyedihkan.

Aku setuju. Annabeth senang. Gadis itu terlihat sangat bersemangat ketika mendengar bahwa dirinya akan dibawa ke perpustakaan kota malam ini.

Ah.

Aih.

Aku melupakan satu hal.

"Annabeth, perpustakaan kota tidak buka malam ini." Aku mencegat gadis itu sebelum membuka pintu depan dengan perasaan berseri-seri. Wajahnya langsung terlihat murung ketika ikut menyadari bahwa saat ini sudah larut malam.

Gadis dengan bibir pucat itu kembali lagi ke tempatnya duduk bersimpuh tadi. Ia berkata kepadaku dalam suara berbisik dan rendah, menuding satu jarinya ke arah kamar, lalu memasang senyum konyol hingga gigi-giginya kelihatan semua.

"Kita masuk saja lewat jendela," sarannya.

Aih.

Bukan Annabeth namanya kalau tidak gila.

"Kau sudah gila atau bagaimana?"

"Aku tidak gila, Arthur! Kita masuk saja lewat jendela perpustakaan jika pintunya terkunci."

"Jika jendelanya juga terkunci? Kau mana tahu seperti apa keadaan di sana. Mendatanginya pun belum pernah."

"Lempari kacanya dengan batu besar. Nantinya, jika sudah pecah, gunakan kain untuk mempreteli pecahan-pecahan kaca yang tajam. Mudah, bukan?"

Demi tujuh ratus anak panah malaikat peperangan, gadis ini benar-benar sudah gila! Aku ingin sekali mengeluarkan ribuan keluhan sebelum menyadari bahwa aku sendiri yang memutuskan untuk tidak tidur sebelum bisa mengembalikan koin emas yang sudah dirampas paksa oleh penduduk Scallian.

Ironi.

Annabeth masih belum berhenti. Ia tetap melanjutkan ucapannya ketika dirasa bahwa aku sudah agak melunak. "Itu, kita bisa gunakan lampu minyak di kamarmu untuk menerangi jalan kalau-kalau nanti ada batu yang bisa membuat kita tersandung."

"Udaranya dingin."

"Satu mantel berdua. Kita berjalan dalam posisi berdekatan saja agar tidak terkena jatuhan salju. Kalau perlu, pakai saja semua baju dan celana yang kita punya. Bawa selimutnya juga sekalian."

"Banyak nyamuk."

"Tidak ada nyamuk di musim dingin, Arthur. Pun, rumah kita saat ini bukan di dekat hutan." Annabeth menutup ucapannya. Ia berdiri lalu berjalan memasuki kamar. Gadis itu keluar sembari mendekap tumpukan kain, selimut, dan mantel, lalu menyuruhku untuk langsung memakai baju-baju tebal ini sesegera mungkin sementara dirinya masuk lagi ke kamar untuk mengambil lampu minyak.

Aku bingung kenapa aku mau-mau saja menuruti ucapannya. Malam ini terlalu dingin untuk dikatakan sebagai malam biasa. Aku sendiri bahkan ragu apakah baju-baju penuh tambalan dan mantel bekas ini bisa menghalau udara dingin itu dari usahanya untuk membuatku bersin-bersin dan mimisan parah. Namun, semoga saja Annabeth cukup kuat untuk tidak rubuh sebelum mencapai perpustakaan.

Annabeth langsung berjalan menuju pintu depan ketika tangannya sudah menenteng lampu minyak berkarat. Katanya tadi sebelum membuka pintu depan, ia sedikit kesusahan saat berusaha untuk mengambil lampu minyak itu. Posisinya diletakkan terlalu tinggi hingga kakinya harus susah-susah berjinjit hanya demi menjangkau lampu minyak itu. Aku tidak dipanggilnya karena badanku terlalu pendek dan meminta bantuanku sama saja seperti menyuruh katak banteng untuk memanjat pohon pinus juniper.

Kurang ajar.

Annabeth tidak banyak berkata-kata lagi setelahnya. Gadis itu langsung keluar dengan langkah kecil-kecil sambil sesekali menghindar dari salju yang terjatuh dari atap.

Lucu sekali. Gerakannya seperti kucing rumahan yang kesusahan tiap kali hujan datang. Kendati demikian, wajahnya tetap bahagia walau badannya kelelahan luar biasa.

"Perpustakaannya di mana, Arthur."

"Dekat pusat kota. Aku tahu jalannya jadi aku yang akan memimpin. Kau di belakang saja sambil memegangi lampu."

"Kita berjalan bersisian. Mantelnya tidak bisa dipakai berdua kalau kau berada di depanku."

"Tidak perlu. Ambil saja mantelnya. Aku sudah cukup dengan hanya memakai tiga lapis baju, dua lapis celana, sepatu kulit, dan kain pembungkus leher. Kau saja yang pakai. Lagi pula, mantelnya berat. Aku tidak suka berjalan di bawah onggokan kain berat yang ditimpa salju terus menerus."

"Nanti kau kedinginan, Arthur," rengek Annabeth.

"Lihat, hidungmu sudah memerah seperti tomat rebus. Pakai atau aku akan meninggalkanmu di sini sendirian, Annabeth. Goblin-goblin nakal dari Hutan Pencecak tidak akan mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menyerangmu ketika kau berada di rumah seorang diri."

Annabeth berhenti protes setelah aku menyelesaikan kalimatku yang terakhir. Air mukanya ingin menyuruhku untuk tetap memakai mantel itu, tapi apa daya, keputusanku sudah bulat. Tidak etis sekali rasanya jika memakai mantel hangat sedangkan masih ada gadis lain yang lebih cocok untuk memakainya.

Haahh ....

Baiklah, hal remeh temeh seperti itu tidak perlu lagi untuk dipikirkan lebih jauh. Annabeth sudah menghabiskan terlalu banyak waktuku hanya demi berdebat dengannya. Jika terus dilanjutkan, hingga matahari terbit lagi pun tetap tidak akan selesai perbincangan kami.

Haahh ....

Malam ini, aku akan menyusup ke dalam perpustakaan kota secara ilegal.

Tolong aku, Tuhan.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro