Strudel Apel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nyonya Peruglia mengatakan kepadaku bahwa aku sudah bisa langsung menuju dapur untuk melakukan tugas yang ia berikan--membuat strudel apel dengan isian kismis.

Wanita itu berlalu sebentar menuju bagian penyimpanan untuk mengambil beberapa peralatan yang kiranya akan kubutuhkan kelak. Tak lama, hanya butuh beberapa menit sebelum wanita yang setengah bagian rambutnya berwarna abu itu kembali lagi ke dapur dengan membawa sebotol rum dan bubuk kayu manis.

"Pernah membuat strudel apel?"

"Belum," jawabku jujur. "Nyonya penjaga tidak memiliki uang sebanyak itu untuk membeli bahan-bahannya. Tapi setidaknya aku sudah pernah melihat kue ini dipajang di salah satu toko kue yang ada di Blisshore."

Nyonya Peruglia mengangguk-angguk lalu mulai menyendok tepung terigu ke salah satu mangkuk metalik yang ada di atas meja. "Pernah mencobanya?"

Jika ditanya seperti itu, tentu saja jawabannya tidak. Kami mana bisa makan sesuatu yang ada alkoholnya. Lantas aku pun menggeleng dan kembali mengatakan bahwa pengalamanku masih minim di bidang memanggang dan mengadon--sedikitnya hanya ada tiga kue yang pernah kubuat di panti dulu. Kue jahe, pai apel, dan pai labu. Itu pun tugasku hanya untuk menimbang mentega dan memasukkan adonan ke dalam pemanggang kayu bakar.

Nyonya Peruglia tersenyum lembut. Ia lalu mengusap-usap puncak kepalaku dengan tangannya yang berkeriput dan beberapa bagiannya ada noda tepung. "Tidak apa," katanya kemudian.

Jika seperti ini, aku jadi merasa tidak enak hati dengan Nyonya Peruglia. Dari tadi kerjaanku hanya berdiam diri di tempat sambil sesekali melihat gerakan tangannya dalam membentuk korsvet menjadi persegi.

Dan lagi, dari tadi dia yang bergerak untuk mengambil bahan-bahan dan peralatan masak di gudang penyimpanan. Ucapnya tadi, aku belum cukup ahli dalam mencari barang di tempat yang sama sekali asing bagiku--sejujurnya hal itu tidak salah, tapi entah kenapa aku merasa seperti direndahkan. Walau aku tidak bisa mengambil pengocok telur yang ada di rak paling atas, aku masih bisa menarik karung terigu yang disandarkan di dekat sapu.

"Kau datang ke sini sendirian?"

"Begitulah."

"Kasihan. Kenapa tidak bawa teman?" katanya sambil mengadon campuran tepung dan telur hingga kalis.

"Memangnya bisa?"

"Bisa saja sepertinya. Ah, tapi aku belum pernah ke dunia bawah. Aku baru mendengar kabar-kabar tentangnya saja dari klub ekspedisi kota atau selentingan-selentingan yang walikota umumkan."

"Mereka mengumumkannya?"

"Ya," jawab Nyonya Peruglia. Dia berhenti sebentar karena terlihat sedang kesusahan saat memipihkan adonan strudel apel. "Tapi aku tidak mendengar kabarnya tempo hari. Aku terlalu sibuk mengumpulkan labu di kebun dekat kaki Gunung Telulang. Jadinya aku tahu tentang kehadiranmu dari surat kabar keluaran kantor sebelah."

Ternyata begitu. Kantor Tuan Gulliver ternyata lumayan berpengaruh bagi kota ini. Tapi walau begitu, aku tidak tahu harus merasa senang atau suram. Semua orang di kota sudah tahu wajahku dan aku tidak bisa lagi menyamar sebagai penduduk asli dari kota ini.

Aku mengaduk dadu apel, gula pasir, dan bubuk kayu manis di dalam panci setelah Nyonya Peruglia mengoperkannya kepadaku. Karena wanita itu, aku jadi memiliki tugas saat ini. Dia kemudian izin pergi sebentar ke ruang depan untuk membuka pintu dan membunyikan lonceng.

Ketika kutanya alasannya kenapa, Nyonya Peruglia mengatakan bahwa ia melakukannya agar orang-orang tahu bahwa tokonya sebentar lagi akan buka dan menyuruh penduduk yang tidak suka dengan bau abu dan bakaran untuk bersiap menutup hidung mereka.

Aku masih membuat isian strudel apel di dalam dapur dengan atmosfir pelukan ibu ini. Aku jadi merasa seperti berada di rumahku sendiri di malam Natal, sambil mendengarkan sayup lagu perayaan yang dinyanyikan oleh paduan suara gereja kota, dengan ditemani kalkun bakar, coklat panas, kue jahe, dan senyuman ibu.

Bekerja di sini tidak terlalu buruk. Aku berpikir bahwa aku mau saja bekerja di tempat ini sampai koinku cukup untuk mengganti seruling milik Nyonya Griffith. Tapi sayangnya hidupku di kota atas awan ini tidak semulus itu. Dia hanya mau menerimaku untuk satu minggu, tidak kurang dan tidak lebih. Jika pun aku protes, wanita bungkuk itu tidak akan segan-segan untuk menolak lamaranku ke depannya.

"Ngomong-ngomong, Nyonya Peruglia. Dari pagi tadi, bahkan sebelum aku mengenakan pakaian tukang kue ini, ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu." Aku akhirnya angkat bicara dan menanyakan pertanyaan yang ingin sekali kuungkit dari tadi. Waktunya sekarang sudah tepat bagiku untuk membahasnya--Nyonya Peruglia tengah duduk-duduk mengongkang kaki di sebuah kursi kayu saat ini, dan sepertinya dia tidak akan terganggu barang oleh tikus got sekali pun.

Atensi wanita itu tertarik ke arahku. Raut wajahnya masih sama, tapi bentuk badannya sudah berubah. Percakapan ini serasa formal sekali karena kini Nyonya Peruglia mengambil posisi duduk anggun--berbeda sekali dengan posisi awalnya yang kelihatan seperti para pemabuk di bar Kota Blisshore itu.

"Ada apa?" katanya. Salah satu tangannya memutar-mutar ujung celemeknya.

"Siapa yang memberitahumu tentang aku yang akan bekerja di tempatmu ini?"

Nyonya Peruglia berhenti sekejap, seakan berpikir apakah ia masih harus menjawab pertanyaan yang satu ini atau tidak. Di akhir, wanita itu memutuskan untuk tetap menjawabnya juga.

"Seorang pria dari bagian belakang kota," ucapnya pelan. Wajahnya agak takut-takut ketika sedang membicarakan tentang pria itu.

Aku mengangguk-angguk, walau sebenarnya tidak tahu sama sekali perihal siapa gerangan pria yang ia maksud. "Bagaimana badannya?" Aku mencoba untuk memulai basa-basi lagi.

"Dia pria tegap, tinggi jangkung, bermantel hitam jelaga. Matanya biasa-biasa saja, tapi saat ia menatapku, ada perasaan aneh yang bergumul di dalam perutku."

Jika dilihat dari penjelasan Nyonya Peruglia, siapa pun pria itu terlihat cukup mengerikan untuk bisa dibayangkan. Aku jadi kembali teringat dengan cerita dari Nyonya penjaga tentang para penjarah dari ufuk dekat gunung kota sebelah. Mungkinkah pria ini perawakannya sama dengan para pengambil barang itu?

"Siapa namanya?"

"Aku tidak tahu," ucap Nyonya Peruglia dengan agak kecewa.

Ia kemudian melanjutkan setelah berhenti cukup lama. "Pria itu tidak memberikan nama, bayaran, atau tanda pengenal dan ciri-ciri apa pun kepadaku. Dia hanya mengatakan kalau dia berasal dari bagian belakang kota dan membawa perintah langsung dari Nyonya Griffith. Bahasanya dilebih-lebihkan, tapi aku yakin kalau apa yang kutangkap tidak jauh dari dua hal tadi. Aku ingin menolak karena tidak percaya, namun rasa-rasanya tidak akan bisa. Tidak akan ada seorang pun yang mau mengatasnamakan wanita paling berpengaruh di Scallian itu untuk hal-hal yang aneh dan tidak penting."

Nyonya Peruglia akhirnya berhenti lalu lantas berdiri. Membicarakan tentang hal ini membuat perasaannya tidak nyaman, katanya. Tapi tak apa, setidaknya aku sudah tahu siapa yang mengirimku ke sini, atau ke kantor Tuan Gulliver di hari sebelumnya.

Aku akan menanyakan hal ini langsung ke Tuan Suara-tanpa-nama.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro