🍁 08 [First Attempt]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

15 September 2019,
Manhattan, New York
07.50 p.m

"Mari ikut saya, Tuan, Nyonya."

Ellena melirik Aaron sekilas, lalu tersenyum ragu. Menangkap arti pandangan kekasihnya, Aaron segera mengenggam telapak tangan wanita tersebut dan melangkah bersama mengikuti jejak pelayan tersebut.

"Apa ini tidak terlalu berlebihan, Aaron?" tanya Ellena dengan ragu, matanya melihat sekilas wajah pria tersebut, lalu meneguk ludahnya segera ketika raut wajah pria itu tidak terlihat baik.

"Maksudku love." Sambungnya lagi dengan kikuk yang dibalas dengan senyum menawan Aaron.

Mereka sudah sepakat setelah muncul berita hubungan mereka, saling memanggil dengan panggilan sayang. Tidak ada alasan kuat hanya saja keduanya berpikir untuk semakin menguatkan berita tersebut kalau hubungan mereka itu nyata.

Sepertinya itu berjalan baik. Terbukti dengan pelayan yang bersama mereka memberikan tatapan bahagia kepada mereka berdua.

"Tidak ada yang berlebihan untukmu," kata Aaron sambil menarik kursi dan meminta Ellena untuk duduk melalui gestur mata. Lalu mengambil tempat di depan bangku tersebut dan memesan makanan.

Semuanya terencana dengan mendadak, baik Ellena dan Aaron tidak ada yang merencanakan jauh-jauh hari untuk romantic dinner seperti ini. Hanya saja Ellena berpikir kalau mereka perlu show off kepada publik sesekali dan kebetulan mereka sama-sama tidak memiliki banyak pekerjaan, setuju untuk dinner di luar.

Ellena tersenyum malu-malu saat mendengar perkataan Aaron dan sang pelayan tersenyum gemas ke arah mereka.

"One roasted tomato and garlic spaghetti, rose wine," ucap Aaron sambil melihat buku menu.

Restoran yang mereka datangi terletak di kawasan elit, menjadi tempat tujuan mereka berdua karena lokasinya tidak terlalu jauh dengan Blue Moon Apartment. Berlantai dua dengan lantai teratas menjadi VIP room, Aaron maupun Ellena memilih untuk mengambil lantai satu. Berdekor elegan dengan warna putih dan cream dipadukan dengan lampu temaram membuat Ellena dan Aaron nyaman dengan restoran tersebut.

"One Merlot and smoke red meat with braished potatoes and gorgonzola," kata Ellena dengan anggun.

"One more, pasta salad." Potong Aaron dengan senyum menawan di wajahnya.

Ellena tidak bersalah kalau senyuman itu membuatnya teringat dengan kecupan singkat di pelipisnya dua hari lalu, kan?

Setelah pelayan tersebut mengucapkan ulang pesanan sepasang manusia tersebut dan menjauh dari mereka dengan buku menu di tangannya, Ellena hanya terdiam menatap wajah tampan pria yang menjadi pacarnya.

"Ada apa, love?" tanya Aaron yang juga membalas tatapan wanitanya.

"Aku ke kamar kecil, ya." jawab Ellena dengan pelan. Lalu sambil membawa tasnya dia menuju ke toilet.

Dengan tatapan mencurigakan, Ellena berjalan menyusuri koridor temaram nan sepi. Tidak ada siapapun yang melewati koridor ini kecuali dirinya. Dia berharap kalau hanya perasaannya saja, alasan kenapa dia terasa gugup sejak kemari, dia merasa tidak nyaman. Seperti ... ada yang melihatnya dengan intens.

Sedetik yang lalu dia merasa tenang karena tidak ada yang mengikutinya. Sepertinya itu hanya perasaannya saja. Tangannya ditarik kencang untuk masuk ke dalam ruangan yang dia tidak tahu ruangan seperti apa, terdengar suara pintu ditutup dengan keras sehingga bersuara nyaring, yang dia rasakan hanyalah punggungnya menabrak sesuatu yang keras. Ellena berasumsi itu adalah pintu atau mungkin dinding yang berkeramik.

"Mainan baru Aaron, ya."

Bisikan pelan di telinga Ellena membuat wanita itu semakin memejamkan matanya, wajahnya mengeras ketika belaian halus di pipinya. Setidaknya, dia mendengar suara berat yang berbisik dan telinganya meremang karena deru napas hangat laki-laki tersebut.

Ellena tidak bisa bergerak leluasa. Kedua tangannya dicengkram oleh satu tangan dingin nan kasar. Pikirannya terus menerus meminta tolong kepada siapapun untuk segera menemukannya dengan cepat.

"Kali ini sangat cantik."

"Mangsaku ini terlalu sempurna untuk dibuat seperti mereka."

"Sepertinya dibuat menjadi pajangan di rumah akan lebih baik. Iya, kan, manis?"

Ellena tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali, rasanya bibirnya mendadak membeku di saat momen yang salah.

Never. Aku tidak akan menjadi pajangan rumahmu, batinnya masih berusaha melepaskan genggaman orang asing yang dia duga adalah pembunuh mantan kekasih Aaron.

"Kita sudahi pertemuan kita sampai sini, cantik. Jangan berani mengadu pada pria sialan itu atau kau tidak akan selamat di tanganku."

Genggaman pembunuh itu mengendur, Ellena langsung mengusap pergelangan tangannya yang terasa perih sesekali menggerakkannya dengan gerakan memutar walaupun gagal karena sakit yang ditanggung. Dia langsung melihat ke arah pintu keluar kamar mandi.

Setidaknya dia tahu kalau pelaku adalah seorang cowok berperawakan tinggi, bersuara rendah dan serak, pakaiannya serba hitam dari topi yang dipakai sampai ujung kakinya.

Ellena melihat sekitar lalu mendengus, bisa-bisanya dia diseret di kamar mandi laki-laki. Seraya merapikan penampilan, dia berusaha meredakan sakit di tangan. Dia tidak membawa obat luka apapun di pouch-nya. Lalu meninggalkan tempat kejadian.

Tatapan penuh permintaan penjelasan, itu yang dia dapatkan ketika kembali ke tempatnya, Ellena hanya bisa memberikan senyum tipis lalu duduk seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Makanan yang disajikan di depan mereka terlihat tidak sedang menarik untuk disantap.

"Aaron," ucapnya lirih kemudian dia mendengar suara dentingan sebelum hening melanda, "Ada yang mau aku katakan."

Matanya mendongak untuk melihat reaksi Aaron. Pria itu tidak mengeluarkan suara balasan apapun tetapi tatapannya berusaha memberikan vibe 'memang harus kamu katakan'.

"Aku ... aku bertemu dengan pelakunya."

Mustahil kalau tidak mengatakannya pada Aaron. Bagaimanapun juga pacar publiknya ini akan tahu.

"Karena itu tanganmu memerah?" tanya Aaron dengan dingin.

Ellena tidak bisa berkutik, dia tahu Aaron memang berbicara singkat tetapi tidak pernah dengan intonasi sedingin ini bersamanya. Sisi lain yang dia tidak ketahui tentang Aaron.

Aaron mengulurkan tangannya, menggerakkan jarinya supaya Ellena melakukan hal yang sama. Tanpa dia duga, Aaron mengenggam tangannya lembut seolah itu adalah kaca yang mudah pecah, mengelus luka yang tergores dengan raut wajah yang masih tetap dingin.

"Apa yang dia lakukan?"

Ellena meneguk ludah, "Dia mengancamku, kalau kamu tahu tentang ini, aku akan dalam kondisi bahaya."

Aaron hanya diam tetapi aura yang dia berikan pada Ellena cukup membuat wanita itu terdesak.

"Selain itu, dia bilang dia tidak akan membunuhku seperti mantanmu, melainkan menjadikanku pajangan di rumah."

"Sorry. Aku kecolongan lagi," ucap Aaron memandang nanar tangan Ellena. Harusnya dia sadar dengan gestur wanita ini yang terlihat tidak nyaman sejak masuk ke dalam restoran.

Ellena tersenyum halus dan menggeleng kepala, "I'm okay. Dia tidak melakukan hal yang berbahaya padaku."

"Kita mendapatkan yang pasti, dia laki-laki, tinggi dan dari belakang proporsional, suaranya berat dan serak." sambung Ellena yang menarik tangannya kembali.

"Aku akan meminta rekaman CCTV di sini untuk lebih jelas melihat wajahnya." Aaron masih menatap sendu Ellena.

Yang ditatap terkekeh pelan, "I'm really fine. Don't look at me with that face."

Aaron menghembuskan napasnya, pasrah percaya dengan perkataan Ellena walaupun dia sesekali melihat wanitanya berusaha menahan ringisan ketika menggerakkan tangannya. Sepintas memikirkan cara untuk mengindentifikasi pembunuh bersamaan mengamankan Ellena.

"Jangan dipikirkan, kita akan membahasnya besok. Nikmati makanannya sudah hampir mendingin."

Seolah tahu apa yang dipikirkan, Ellena melempar senyum tipis. Aaron tidak ada pilihan lain selain menikmati makanan yang sudah dihidangkan sebelum kembali ke penthouse.

To Be Continue

Haiii, aku kembali lagi.

Tetap jaga kesehatan, ya, kemana-mana pake masker. Kalaupun sudah divaksin, tetap jaga imun sendiri.

Stay healthy, stay cuddly, stay fuzzy.

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro