Chapter 7 - Bow Down, Peasant!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laurena's POV

“Laurena, di mana rapormu? Mama mau lihat hasilnya!” seru ibuku yang terdengar menaiki tangga menuju kamar. Dalam kecepatan kilat, ibuku sudah membuka pintu kamar yang menunjukkanku mencoba menutupi buku novel yang sedang dibaca.

“Hehe … hai, Ma. Cepet banget sih jalannya!” keluhku yang kembali berbaring di kasur.

“Kebiasaan ya. Mama udah bilang belajar dulu, baru baca! Kan baca novel bisa kapan-kapan lagi. Giliran nilai jelek, gak bakal bisa diulang!”

“Kan masih ada remedial.” Ibu menatapku dengan tajam sebelum mengacak-acak tasku.

“Ketemu!”

Aku memajukan bibirku dengan kesal dan mengesampingkan buku novelku. Aku tidak akan bilang kalau hasil ujianku buruk, tapi nilaiku tidak bisa dikatakan bagus. Jika nilai pas-pasan itu lumayan, aku masuk dalam kategori di atas ekspetasi sedikit. Namun mengetahui sifat ibuku, dia pasti akan marah besar melihat nilai-nilai itu, terlebih jika ria melihat nilai matematikaku. Kedua tanduknya akan langsung muncul pasti!

“45? Nilai matematika dapet 45? Laurena! Mau jadi apa kamu nanti? 45 itu jelek banget!”

“Tapi, Ma ….”

“Nggak ada tapi-tapian! Pokoknya mulai besok novel kamu bakal Mama sita! Wifi rumah juga bakal diputus dari HP kamu! Komputer pake punya Mama di kamar! Ngerti?” Aku hanya menundukkan kepala mendengar ini semua. “Mama tanya, kamu ngerti apa nggak?!”

“Iya, Ma.”

Begitu ibuku keluar dari kamar dengan membanting pintu, aku segera merebahkan tubuhku di kasur. Menyebalkan! Sekarang aku tidak memiliki mood untuk kembali membaca! Padahal cerita yang kubaca sedang seru. Sungguh sial! Mengingat Ibu akan memutus wifi dari ponselku, aku putuskan untuk menghabiskan hariku degan menonton vidro di youtube dan instagram.

Ketika ayah pulang, ibu menceritakan tentang nilai-nilaku yang kudapatkan dalam ujian di meja makan. Tentu ini membuatku kehilangan nafsu makan. Ayah hanya terkekeh ketika melihat responsku yang mengaduk-aduk makanan. Ibu tidak kunjung berhenti sehingga ayah tertawa. Ibuku memarahi ayah yang justru tertawa mendengar omelannya itu, berkata kalau dia terlalu lunak dan memanjakan diriku sehingga aku tidak pernah menganggap belajar sebagai sesuatu yang serius.

“Jangan begitu. Tidak setiap anak pintar dalam matematika. Tidak semua orang pintar dalam bahasa. Kita hanya belum menemukan bakatnya saja.”

“Dia sudah lima belas tahun! Sebentar lagi akan enam belas! Dia harus segera menemukan apa yang dia inginkan!”

“Bukankah itu gunanya dia sekolah? Untuk menemukan ingin menjadi apa dia ke depannya?”

Mendengar ini ibuku langsung terdiam. Sebuah senyum kemenangan terukir di bibir ayahku dan dia segera menatapku yang mengintip. Ayah memberi sebuah wink dan senyum jahil, membuatku tertawa sedikit. Ibu yang mendengar suara tawaku langsung menatapku tajam sehingga aku lagi-lagi menundukkan kepala dan menatap makananku. Di saat seperti ini tidak baik membuat ibu semakin marah, berpura-pura menurut adalah cara terakhir yang bisa kulakukan.

Meski ayah sudah berbicara kepada ibu, dia tetap tidak mau menarik ucapannya. Dia akan tetap menyita novelku dan memutus sambungan wifi untukku. Hidup tanpa wifi terasa hidup tanpa sebuah cahaya dalam kamar gelap. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana jadinya aku tanpa ada wifi hingga ulangan harian matematikaku. Dengan kata lain, aku bisa mati kebosanan karenanya.

***

“Lu tau kan si itu mau konser di indo?”

“Hah?! Sumpah? Ih gua mau nonton! Tapi pasti tiketnya mahal!”

“Mending mahal, abis duluan! Kek gua dulu, udah susah-susah nabung, nggak kebagian tiket!” Anak-anak yang menyukai group Korea itu heboh dengan kumpulan mereka di pagi-pagi. Berbeda dengan anak-anak yang bermain game.

“Rena,” panggil anak dari belakangku untuk bertatapan dengan Cindy. “Tugas sosionya udah kelar belom? Guabaru setengah.”

“Nanti cocokin aja di kelas. Gua mau ke loker bentar.”

“Rena baik!” Cindy menggenggam tanganku dan berlari ke kelas dengan penuh semangat. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan tertawa kecil.
Perjalanan ke lokerku berjalan dalam tenang, bahkan hingga aku sampai di loker. Tiba-tiba saja pintu lokerku menutup dengan sendirinya. Tanganku yang berada dalam loker hampir terjepit karenanya, tapi aku tidak terkena sial dan berhasil mengelak dari hentakan keras pintu lokerku. Wajah pelaku tersebut muncul karena loker yang ada di hadapanku sudah tertutup. Orang itu bukanlah yang aku kira.

“Wah, wah! Ada siapa nih? Tuan Putri?”

Aku mencibir mendengar ucapan itu. “Mau apa pagi-pagi? Gua sibuk.” Carla, anak yang berada di hadapanku sekarang, berpura-pura menarik napasnya karena terkejut.

“Apa aku baru mendengar suara cicitan tikus?”

“Gaje.” Dengan itu, aku kembali membuka lokerku dengan paksa, membuat tangan yang menahannya terjatuh.

“Berani banget lu!”

Carla sama saja seperti Olivia, sama-sama tidak memiliki sopan santun. Andai saja aku bisa menempeleng kepalanya untuk mengajarkan sopan santun, aku pasti sudah melakukannya berkali-kali. Sebagai pengganti tempelengan itu, aku memutar bola mataku dengan kesal, yang mendapat tawa garing darinya, tawa yang menunjukkan kalau dia juga kesal. Jika dia memang kesal, mengapa juga dia harus berada di dekatku atau menggangguku? Apa dia benar-benar sudah kehilangan akal?

Karena merasa sudah tidak ada hubungannya lagi, aku pergi meninnggalkannya. Carla yang merasa diabaikan berteriak, bahkan tanpa ragu dia mengeluarkan kata-kata kasar. Beberapa anak di lorong mendengar suara teriakannya langsung berbisik-bisik satu sama lain. Aku menyadari sebagian mengatai Carla yang sepertinya masih menatapku.

Kemungkinan Carla sudah menyadari ucapan anak-anak karena teriakan tersebut tidak lagi terdengar. Aku tidak tau apakah dia kembali ke kelasnya atau tidak. Di satu sisi, aku merasa kesal dengan Carla, namun di sisi lain, ucapan anak-anak itu terlampau menyakitkan, seperti ingin menjatuhkan. Kuputuskan untuk melupakan semuanya dan fokus untuk menjalani hari. Aku tidak memiliki waktu untuk mengurusi orang lain. Mengurusi diri sendiri saja belum tentu benar, untuk apa mengurusi orang lain yang bahkan membencimu?

Cindy mencocokkan jawabannya dengan milikku dan memintaku untuk mengajarkan beberapa hal, yang pastinya aku lakukan dengan senang hati. Selama pelajaran hari ini, aku seperti merasakan seseorang memperhatikanku. Aku membalikkan tubuhku untuk melihat Gina yang menatapku dengan ekspresi aneh. Bahkan dia sama sekali tidak memfokuskan diri ke pelajaran yang ada di depannya.

Sebisa mungkin aku mengabaikan tatapan Gina yang mengganggu, tapi seberapa keras pun aku tetap kembali menatap ke arah Gina yang memiliki pandangan aneh. Aku semakin tidak bisa diam ketika istirahat pertama berlangsung, tapi kekhawatiranku tak berbuah apa-apa. Sisa hari aku terus berdoa kalau semua akan baik-baik saja. Sudah cukup masalah yang ada dengan ibu, aku tidak mau mengundang masalah dengan anak-anak di sekolah.

“Tuan Putri, ke mana kau akan pergi?” Tubuhku seketika menegang ketika mendengar suara Gina dari belakang. “Apa … kau ingin ke kamar mandi? Perempuan tidak boleh ke kamar mandi sendiri, biar aku temani.”

Gina mencengkram tanganku kuat-kuat. “Lu mau ngapain sih? Lepasin tangan gua! Lepas!” Meski aku sudah memberontak sekuat tenaga, hasilnya tetap saja nihil.

“Jangan coba-coba berontak apa lagi teriak! Kalo lu teriak, gua bakal bikin lu nyesel!”

Mendengar ancaman Gina membuatku diam seribu bahasa. Dia memang hanya manusia biasa, tapi aku tidak akan pernah tau apa yang bisa dia lakukan. Dia adalah gambaran untuk seseorang yang dapat membunuhmu jika kau salah langkah. Gina terus menarikku, dia membawaku ke kamar mandi yang paling jauh dari ruang kelas. Ketika dia membuka pintu kamar mandi, Kiara dan Carla sudah ada di dalam.

“Wah, wah, hero kita sudah datang.” Kiara terkekeh puas.

“Bukannya gua udah bilang, jangan sampe lu salah langkah di depan gua?” Carla berjalan mendekatiku hingga aku menabrak pintru yang kemudian di kunci olehnya. “Dan lu bakal ngebayar atas perbuatan lancang lu di sini, ngerti?!”

Bully itu salah, bully itu bikin mental orang rusak. F*ck those comment! Orang yang salah, harus dapet balesannya!”

Carla menjambak rambutku dengan sekuat tenaga ketika Kiara menggenggam tangan kiriku. Gina juga melakukan hal yang sama, bedanya dia menggenggam tanganku yang sebelah kanan. Dia membuka paksa jasku dan memberiku sebuah pukulan. Semuanya terjadi terlalu cepat hingga aku tidak bisa memberontak atau pun melawan. Aku juga kalah jumlah.

“Rasain nih!” Carla menonjokku. “Jangan sok jadi orang!” Pukulan lainnya dilancarkan olehnya. Mereka berhenti ketika mendengar suara orang yang mengetuk pintu kamar mandi.

“Siapa yang di dalem? Buka pintunya woy!” Orang itu terus menggedor pintunya hingga dia menggerutu kepada dirinya sendiri sebelum terdengar suara langkah kakinya yang pergi meninggalkan kamar mandi.

“Gina, mending udahan. Nanti urusannya berabe dah!” Kiara menggenggan pundak Gina yang masih terengah-engah dan menatapku penuh kebencian.

“Cih! Liatin aja! Sekali lagu lu ngelewatin bates, gua nggak bakal maapin lu!”

Gina mendorongku hingga aku jatuh tengkurap. Mereka menatapku untuk terakhir kali sebelum melangkah keluar dengan hati-hati. Ketika aku sudah yakin kalau mereka tidak ada di sekitarku, aku membalikkan tubuhku dengan susah payah. Aku menarik napas, merasakan sakit di setiap tarikannya. Tubuhku pasti memar karena pukulan mereka.

Beberapa menit berlalu dengan aku yang tetap di posisiku. Ketika bel masuk istirahat berbunyi, di saat itu aku mulai panik. Dengan segera aku membasuh wajahku dan sebisa mungkin menutupi tanda-tanda kalau aku baru saja dihabisi oleh anak-anak itu. Aku tidak boleh sampai kalah hanya dengan anak-anak itu. Menunjukkan aku sakit sama saja membuat mereka menang.

Ketika aku masuk ke dalam kelas, dengan terlambat lima menit, semua orang menatapku dengan bingung, bahkan Raquel yang sedang sibuk mendengarkan lagu. Namun pandangannya itu hanya untuk sesaat karena dia kembali menatap bukunya dengan sampul kosong. Anak-anak lain juga fokus dengan catatan mereka masing-masing, membiarkan guru itu menegurku langsung.

Kiara yang juga sudah berada di kelas terkekeh kecil. Dia bahkan menatap Gina dengan sebuah senyuman licik, layaknya mereka menikmati semua ini. Kuabaikan semua tatapan yang diberikan Kiara dan juga Gina dan mendengarkan guruku memberi materi. Aku juga berusaha sangat kuat agar tidak membiarkan ekspresi kesakitanku terbaca oleh mereka. Aku akan membuat mereka membayar perbuatan mereka ini.

“Apa Anda baik-baik saja?”

Mendengar pertanyaan itu hanya membuatku menghembuskan napas pelan. “Menyebalkan! Jangan cerita apa-apa ke orang rumah! Aku akan mencari waktu yang tepat untuk bercerita!”

“Kalau begitu tidak mau diobati dulu?”

Padahal luka yang ada hanya luka kecil, tapi semua orang pasti akan membesar-besarkannya, seolah-olah aku harus dirawat inap. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya menuruti perkataan supirku. Dia pergi ke toko dan membelikanku beberapa obat dan juga hansaplast. Aku menggunakannya selama perjalanan pulang, tidak mau sampai ibuku tau.

Ketika sampai di rumah, aku sudah mempersiapkan diri matang-matang untuk menerima ocehan dari ibu. Entah angin apa yang sedang menghantam, ibu tidak ada di rumah dan dikabarkan sedang pergi dengan teman-temannya, atau bisa dibilang tetangga kami. Melihat adanya waktu luang, aku memanfaatkan saat ini untuk menghubungi sepupuku.

“Kau sudah pulang? Aku sedang sendiri di rumah. Temani aku, oke?”

“Kakak penakut! Tapi baiklah. Aku sendiri sedang jenuh dengan tugasku. Ck! Atau kakak bantu aku saja!”

“Kau bertanya pada orang yang salah! Aku baru saja mendapat remedial di PPkn dan sejarah.”

Suara tawa sepupuku yang khas itu memasuki gendang telingaku. Mendengarkan suara tawanya entah mengapa selalu berhasil membuatku tenang. Perasaan bahwa semua akan baik-baik saja jelas menenangkanku. aku tidak tau berapa lama kami mengobrol, tapi aku tau kalau aku tertidur dan bangun ketika ibuku datang mengomeliku yang masih menggunakan seragam.

“Aduh, Ma! Kelupaan! Tadi abis telepon ….”

“Nggak usah alesan, ya! Cepet mandi sono, kalo udah baru bantu masak.”

“Iya,” jawabku malas.

Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk mengumpulkan niat dan masuk ke dalam kamar mandi. Sial bagikku karena aku tidak bisa melepas seragam dengan leluasa. Setiap pergerakkan membuat memar ditubuhku terasa nyeri. Aku merutuki anak-anak itu di dalam hati setiap rasa pedih menghantam diriku keras. Mereka akan benar-benar membayar! Tidak akan aku biarkan mereka lolos setelah menyakitiku seperti ini!

Ketika aku keluar dari kamar, ibuku sudah menyiapkan banyak sayuran untuk dicuci. Aku mengambil salah satu sayur yang ada, memperlihatkan kepada ibu memar yang ada di tangan tanpa sengaja. Matanya membulat dan dia langsung melempar plastik yang dia genggam. Meski tangannya kotor, dia langsung menggapai ke arah tanganku.

“Apa ini? Apa yang terjadi? Apa kau di-bully di sana? Siapa yang berani mem-bully-mu?”

“Ma, udahlah, ini nggak ada apa-apanya.”

Ibuku memicingkan matanya sebelum menarik paksa bajuku. “Bahkan tubuhmu dipenuhi dnegan memar! Cepat ceritakan semuanya!”

“Tolong jangan dipikirkan. Ini adalah masalahku, aku yang akan menyelesaikannya. Lagipula, sebagian besar ini adalah tanggung jawabku sampai ada yang memberiku semua memar ini.”

“Rena ….”

Aku memberikan senyum termanis kepada ibuku. Yang kuucapkan itu memang benar adanya. Aku yang mencari masalah dengan mereka terlebih dahulu saat aku masih bisa mendiamkan mereka. Padahal aku bisa menyelesaikan masalah dengan tenang, tapi justru aku yang mencari gara-gara. Oleh sebab itu, aku yang akan mencari dan menyelesaikan masalah ini.

Baju yang digulung oleh ibu kutarik kembali sehingga mereka menutupi semua bagian tubuhku. Senyum yang kuberikan sekali lagi kubuat semakin tulus. Ibuku harus bisa mempercayaiku, dia hanya akan membiarkan ini jika dia percaya kepadaku. Tangan ibuku yng masih menggenggam lenganku kulepaskan. Ekspresi takut kembali menghantui ibuku.

“Mama percaya sama aku, kan? Aku nggak bakal biarin mereka terus-terusan gini. Kalo bukan aku targetnya … pasti ada orang lain. Bagaimana kalau orang itu tidak bisa melawan? Karena Mama udah tau, sekarang selalu support aku, oke?”

Ibu mengangguk sebagai jawaban. “Rena, kau tau kalau kami selalu mendukungmu, kan? Kalau ada apa-apa, langsung beritau Mama atau papa, ya?”

“Aku selalu punya Mama!”

Kupeluk ibuku dengan sangat erat. Aku tidak boleh menyerah. Aku tidak bisa sampai kalah dalam permainan kekanakan mereka. Aku punya banyak orang-orang yang menyemangatiku. Tidak akan aku biarkan mereka semua membuatku lemah. Karena mereka sudah bermain-bermain dengan orang yang salah, mereka akan membayar semua perlakuan mereka.

Kami berdua kembali fokus dengan masakan kami. Terkadang kami saling bercanda dan tertawa, memakan waktu lebih untuk makan malam tersedua. Aku yang sudah mandi kembali kotor dan berkeringat, membuat ibu tertawa keras dan menyuruhku untuk mandi lagi setelah makan malam nanti. Walau berkata sambil bercanda, tatapan ibu tidak main-main.

Inilah yang aku suka dari ibuku. Dia selalu tau kapan harus bersikap seperti apa. Mungkin dia terlihat selalu memarahiku, tapi aku tau kalau maksudnya selama ini baik. Ibu tidak mungkin bersikap protektif seperti tadi jika bukan karena menyayangiku. Benar, apa pun yang terjadi, aku harus membuat ibuku bangga.

“Rena?” panggilan ibuku mengalihkanku dari tugas yang sedang aku kerjakan. “Apa ayah tidak boleh tau tentang ini?”

“Masalah yang ada belum terlalu besar, dan sebelum menjadi lebih besar lagi, aku akan menyelesaikannya. Dan kalau pihak sekolah menelepon, Mama tau harus bagaimana, kan?”

“Tapi … Mama khawatir.”

“Kenapa? Aku ini Rena, Laurena Llyod, anak yang tangguh! Tidak akan semudah itu bagi mereka untuk merendahkanku!”

Ibu terkekeh melihat sikapku. “Tentu saja. Ya, benar, kau adalah Laurena Llyod, putri kesayangan Mama. Tidak akan ada yang bisa mengambilmu dariku.”

“JIka ibu yang aku miliki seperti Mama, apa ada orang yang berani?” kami berdua tertawa sebelum aku mendapat jitakan keras dari ibuku.

🌻✨🌻

(27/01/2021)

Update!!!!

Gimana nih chapter yang satu ini? Makin bikin penasaran? 🌚👀

Jangan lupa untuk tinggalkan vomments kalian ya ^^ satu komen akan sangat berarti~

See you next update! Hope you enjoy this story ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro