01: And I

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Minggu, 20 Oktober 2019. 10.00 WIB.

* * *

Ada banyak orang yang tidak menyukai dengan segala bentuk perpisahan dan saya adalah salah satunya. Perpisahan adalah cara lain untuk membayar sesuatu yang menjadi fokus kita sekarang, bila dulu ketika akan pindah ke kota lain demi bersekolah lebih baik, maka ongkosnya dibayar perpisahan dengan banyak kawan dan juga kenangan. 

Perpisahan bagian dari pilihan.

"Pulang dulu ya."

Saya merenggut tidak suka ketika Friska--kekasih saya mengucapkan kalimat itu sebagai kata lain dari  perpisahan. Tangan kecilnya terulur, menjawil pipi saya untuk terakhir kalinya. Usai berpamitan perempuan itu lalu masuk ke dalam kereta, dia melambaikan tangan ke arah saya dengan ceria yang saya juga balas dengan wajah yang masih merenggut.

Hari ini, seharusnya bukan jadwal dia untuk kembali ke Surabaya, kota di mana kami dipertemukan dengan rumit. Akan tetapi, sebuah panggilan kerja dari salah satu perusahaan yang dikirimi critical value olehnya menginstruksikan dia untuk datang ke kantor esok hari. Saya memang senang dengan kabar itu, setelah perjuangannya mengirim beberapa ketentuan untuk mendaftarkan diri di beberapa perusahaan pers, akhirnya terbayarkan.

Mau tidak mau, saya harus memulangkannya meski tidak langsung sampai ke teras rumah. Tubuh berbalik dan langsung pergi, begitu kereta yang ditumpanginya sudah cukup jauh dari penglihatan, saya tidak boleh berlama-lama di sini sebab masih ada yang harus saya lakukan.

* * *

"Mas, kamu nggak perlu lho sampai bantu begini."

"Lho, kenapa emangnya Bu?" Alis saya terangkat bingung ketika Ibu melontarkan segelintir kalimat tersebut. "Enggak apa-apa, Mas kan cuma pengin bantu, lagian Ibu katanya kemarin darahnya rendah lagi."

Brat!

"Ibu nggak mau, lho, kalau kamu sampai dipermalukan tetangga. Masa sekolah jauh-jauh ke Surabaya, tapi di rumah terus. Kamu tau sendiri omongan tetangga itu suka nggak bisa diatur. Dibilangnya percuma sekolah tinggi-tinggi lah, buang-buang duit aja lah."

Brat!

"Makanya itu," sahut saya, meraih pakaian lain dari ember lalu meremas airnya keluar dan mengibaskannya kencang. 

Brat!

"Kita nggak bisa kontrol mulut orang lain, itu udah hak mereka untuk bicara apapun, baik ataupun buruk. Sekarang tinggal kitanya aja yang kontrol diri untuk nggak ikut-ikutan mereka, kehasut ucapan mereka, dan kalau sudah berlebihan cukup tegur lalu jauhi."

Ibu tersenyum tipis menanggapi ucapan saya. Setelah selesai menjemur pakaian di belakang rumah, saya langsung masuk ke kamar untuk melakukan pekerjaan lain. Sebenarnya saya memiliki banyak waktu luang saat ini, sebab saya baru mengirimkan critical value pada beberapa perusahaan hari Jumat lalu. Sambil menunggu informasi lewat email dari pihak mereka saya memutuskan untuk sementara membantu Paman yang memiliki usaha studio foto di daerah Tebet.

"Om, foto-foto cust yang udah diedit, udah Kamal kirim ke e-mail ya," ucap saya begitu menelepon Paman untuk memberitahukan tentang foto yang sudah saya garap.

Saya tidak membantu banyak sebenarnya, tugas saya hanya mengedit foto-foto milik pelanggan yang memakai jasa Paman supaya terlihat lebih enak dilihat, dari segi cahaya ataupun segi warna. Skill saya tidak terbilang jago sih, tetapi, sedikit banyak kemampuan saya bisa digunakan dan diterima oleh Paman atau customer.

"Oh, iya, iya--coba angle-nya dari bawah Fik, biar keliatan tinggi." Samar-samar, saya dapat menangkap suara yang ramai dari seberang sana, sesekali ada suara ribut seperti angin kencang yang menerpa speaker ponsel. "Nanti Om cek, deh." 

Dugaan saya, tim Paman saya sedang memotret di daerah pantai atau di tempat yang memiliki angin cukup kencang. "Siap, om."

"Kamal, Selasa nanti kamu ada wasweswos brrghhh wussh."

"Gimana Om?"

"Selasa nanti ada brghh wughwugh werrr."

Saya menarik napas panjang, suara angin yang kencang membuat saya tidak bisa dengan jelas mendengar apa yang diucapkannya. "Aku nggak bisa dengar, Om, coba cari tempat yang sepi atau tertutup," saran saya. Namun, angin tetap masih ribut sehingga Om Januar tidak dapat mendengar ucapan saya juga.

Om Januar juga mungkin merasa sebal karena angin membawa suara saya jadi tak jelas, panggilan dimatikan sepihak. Ponsel kembali saya simpan ke meja kerja, tapi tak lama bergetar panjang memberitahu ada pesan masuk. Benda itu kembali diraih dan segera saya lihat siapa pengirimnya.

Om Januar: 

Selasa kamu ada waktu nggak?

Kalau nggak, om ada project acara di dekat rumah kamu, salah satu pegawai om nggak bisa ikut. Kamu bisa gantiin nggak? Acaranya cuma sehari kok, habis itu kamu boleh pulang.

Kalau lagi sibuk gapapa.

Tawaran proyek, ya. Saya tidak masalah bila harus ikut sih, toh lagi nggak ada kerjaan, dan saya juga cukup bosan terus berada di rumah. Sudah begitu, dapat pengalaman juga, siapa tau skill saya sebagai sie dokumentasi saat ikut kepanitiaan dulu bisa kembali terasah. Lumayan juga mengisi waktu daripada harus membuang waktu duduk di depan komputer seperti ini. 

Oke, om, aku ikut. 

Om Januar:

Bagus!

Nanti om jelasin tugas kamu hari H ya, acaranya dimulai jam 10 pagi sampai jam 3 sore.

Datang ke studio jam 7 aja, kita briefing sebelum berangkat.

Kamu kalau ada kamera bawa aja ya, buat cadangan.

Kamera? 

Menggunakan kaki, saya memundurkan kursi hingga berderit lalu bangkit dan berjalan menuju lemari pakaian yang sebenarnya sudah jarang saya buka sebab, punya lemari baru yang terpisah. Netra saya menjelajah dari space atas hingga ke tengah, mencari sebuah kotak yang sengaja saya simpan dan sembunyikan. Benda yang saya cari berada di bagian lemari paling bawah.

"Banyak debu," gumam saya begitu kotak tersebut ditarik hingga menerbangkan berbutir-butir debu di depan muka. Sejenak saya terbatuk karena tidak sengaja menghirup butirannya masuk ke tenggorok.

Sebuah kotak bekas sepatu yang dilapisi kertas kado berwarna biru muda, sengaja dilapisi karena katanya biar bagus, biar nggak terlalu keliatan kalau itu kotak dus bekas. Padahal siapa yang mau melihat-lihat isi lemari saya dan mengomentari kotak ini? Tidak ada. Pemakaian kotak dus bekas sudah menjadi hal lumrah untuk kita masyarakat hemat penuh perhitungan. 

Ada tiga kotak lain di dalam lemari. Namun, kotak ini adalah yang betul saya cari. Kotak ini bukan hanya menyimpan barang-barang pribadi saya, bukan hanya menyimpan nostalgia,  tetapi juga menyimpan berbagai kenangan baik, buruk dan kenangan yang tidak ingin saya simpa. Akan tetapi, tidak ingin saya buang juga. 

Setelah mengelap bagian luar kotak dengan pakaian kotor yang tergantung di belakang pintu karena malas mencari lap atau tisu, saya segera membuka kotak tersebut. Benda yang pertama kali terlihat adalah sebuah kamera analog. Canon Canonet QL19. Bukan milik saya tapi, milik Ayah saya, beliau memilikinya ketika masih muda dulu, jauh sebelum menikah dengan Ibu. 

Ayah memberikannya sebagai hadiah pada saat saya memenangkan olimpiade satu Kecamatan. Beliau berjanji akan memberikan saya kamera bila saya menjadi juara. Jelas saja saya semangat dan menjadi anak yang ambisius. Bahkan mulai berandai, kira-kira kamera merk apa yang akan Ayah belikan? Canon? Fujifilm? Nikon? Sony?

Sayang dikata sayang, saya berandai terlalu tinggi, kenyataannya saya diberikan kamera tua itu yang lahirnya bahkan di tahun 60-an. Saya menangis kecewa bukan main. Ayah berkilah bahwa ia berjanji memberi kamera bukan berjanji memberi kamera baru. Selama satu minggu penuh saya tidak bicara pada beliau. Mengingatnya saya terenyum getir. 

Kamera tersebut di kesampingkan, karena bukan kamera itu yang saya cari. Beberapa tumpukan foto dari berbagai momentum yang terekam, beberapa rol film, dan benda-benda lain yang saya tidak ingat pernah menyimpannya di sana, saya keluarkan juga. Semoga kamera itu masih ada di sini ... dan benar saja, kamera itu masih beradda di dalam kardusnya. 

Canon EOS 550D.

Ada rasa senang tetapi, rasa sesak menjalar dari tangan yang memegang kamera itu menuju ke dada. Seperti ada aliran listrik yang mengalir di pemuluh darah menimbulkan hasrat yang tidak karuan di dalam diri. Saya tersenyum tipis memandang kamera, sekelebatan wajah seseorang yang terlihat sore kemarin terbayang. 

* * *

Rabu, 13 April 2011.

"Hadiah buat kamu karena udah ranking satu di sekolah!" 

Mata saya terbelalak kaget melihat sebuah kotak yang gadis itu keluarkan dari dalam ranselnya. Wajahnya yang berseri, dihiasi senyum manis berlesung pipit, matanya penuh binar dengan pipi merah muda seperti buah peach karena terpapar sinar matahari. 

Saya meneguk ludah susah payah, lidah saya tiba-tiba kelu. "Mm ... apa ini nggak berlebihan?" tanya saya pelan, berhati-hati takut melukai perasaannya. 

Gadis itu menurunkan bahu, alis dan bibirnya yang tersenyum seakan ikut turun merubah rautnya perlahan sedih. "Saya inisiatif sendiri, lho, nabung lama buat beliin kamu ini," lirihnya membuat saya jadi tak enak karena mempertanyakan pemberiannya. 

Bukan mempertanyakan dalam maksud meremehkan. Hanya saja, benda yang dipegangnya itu memiliki harga yang sangat mahal untuk seorang murid SMA kelas 11 yang dibekali ibunya sepuluh ribu rupiah setiap hari untuk jajan dan bensin. 

Dia tetap bersikeras mengangsurkan kotak itu pada saya, meski ragu terpaksa saya mengambilnya untuk menghargai jerih payahnya yang pasti tidak mudah untuk membeli barang sekelas itu yang baru liris tahun lalu. Tangan saya seperti sedang memegang beban seratus kilogram, ketika benda itu pindah tangan. Bukan hanya tangan, tetapi saya merasa hidup saya memiliki banyak beban ketika memegang benda itu. 

Bagaimana cara saya membayar hadiah ini?

"Kamu nggak perlu pikirin, gimana cara balikin hadiah itu," cakapnya, seolah ia bisa membaca pikiran saya. 

Pandangan saya terlempar ke arahnya, memandang garis wajahnya dari samping. Tatapan kosongnya memandang lurus ke depan, terdiam cukup lama. Entah apa yang ada dalam diri gadis itu hingga setiap saya melihat wajahnya selalu terpesona, setiap mendengar suaranya seperti saya sedang terhipnotis, setiap mencium wanginya saya selalu merasa tenang. 

"Benda itu," lanjutnya lagi. "Tidak akan bisa membayar semua waktu yang saya lewati bersama kamu, Kamal."

Rasa menggelitik dari perut terasa begitu nyata, ketika ia menyebutkan nama saya dengan jelas di akhir kalimatnya. Seperti nama saya akan selalu terdengar indah bila diucapkan olehnya bak orchestra di panggung opera. 

Cekrek!

"Blitz?" tanyanya. "Kamu memotret saya?"

Sial! Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menangkap foto pemandangan sebuah anugerah Tuhan paling indah di depan mata saya. Bukannya meminta maaf, saya terkekeh geli atas tindakan tidak sopan yang sudah dilakukan. 

"Kamera baru, blitz pertama, tangkapan pertama, objek pertama."

* * *

A/N:

Alo, Diders! Gimana bab pertama ini? Suka nggak? Ini cerita pertamaku yang pakai POV 1 dan dari main character pria.

Yap. Cerita ini akan full POV 1 Kamal sampai akhir. Hehe. Semoga kalian suka yaaa karena POV dari seorang pria ternyata cukup sulit di mana karakternya dibuat lebih kuat.

Jangan lupa dukung cerita aku yang lain ya. Btw, yang sebelah udah tamat di KaryaKarsa loh, nggak mau baca di sana aja?

Have a nice day!
With love, Didi. ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro