Keenam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Huah, akhirnya selesai." Aima menunggu Aira yang mengantri mengantar berkas.

Lama Aima termenung melihat Aira yang begitu antusias, sahabatnya itu tak pernah kehabisan energi. 

"Yuk, pulang." Aira merangkul Aima yang menunggunya.

"Yuk." Aima ikut merangkul Aira, ia tersenyum tulus kepada sahabatnya itu. Ingin sekali Aima menanyakan tentang kondisi Ayahnya Aira, tapi melihat Aira yang berusaha menutupi kesedihannya ini membuat Aima mengerti bahwa Aira tidak mau membahas itu dulu.

Aira dan Aima sudah berteman sejak SD, mereka juga selalu bermain bersama, hingga baik Aima maupun Aira paham akan masing-masing.

Aima melihat ke arah Aira yang masih di rangkulannya, sepanjang koridor gadis itu masih bicara. Hingga ia berhenti melangkah membuat Aima sedikit heran.

"Kenapa, Ra?" tanya Aima yang mengecek tas nya.

"Anu, itu penaku ketinggalan," ucap Aira cemas, tadi ia mengeluarkan pena untuk menandatangani kelengkapan berkas. 

"Mau balik? Yuk aku temenin."

"Eh gak usah, kamu tunggu sini aja, aku bisa sendiri. Tunggu sebentar ya," ucap Aira berlari menuju ruang tata usaha, sedangkan Aima menunggu di pinggir koridor.

"Ih, kenapa ceroboh sih, Ra. Itu pena baru aja beli, nanti kalau hilang gimana?" rutuk Aira menuju ruang tata usaha. 

Ruang TU tampak sudah sepi, terlihat hanya beberapa guru yang tinggal di dalam membenahkan berkas-berkas yang di kumpulkan siswa.

"Permi...." Langkah Aira terhenti saat ia mendengar guru berbicara tentang beasiswa. Cepat ia bersembunyi di balik dinding agar tak ketahuan.

"Bagaimana ini, Pak. Ada banyak siswa yang daftar, tapi ternyata kita cuma butuh satu siswa dari setiap kelas," ucap bapak-bapak berkumis timis dengan kemeja putih itu.

"Yo wes, para siswa juga tau toh ini seleksi. Jadi ya gak masalah, la. Kita tinggal milih aja siapa yang pantas untuk mendapatkannya. "

"Tapi pak–"

"Sudah, kita sebagai guru harus bisa menyeleksi mana yang pantas dan tidak, saya tau siswa butuh keringanan atau bantuan, tapi kan ini sudah kebijakan dari sananya, kita tidak bisa untuk mengatur sesuai kehendak kita, lagian ini bisa jadi sponsor untuk sekolah kita jika ngadian event besar."

Aira terus mendengar dari balik dinding, ia berusaha untuk menyimak sebaik mungkin tanpa ketahuan. Hingga saking fokusnya ia mendengarkan ia tak sadar menyenggol pintu hingga menimbulkan suara.

"Siapa itu?" Dua guru melihat ke arah pintu. Secepat kilat Aira berlari meninggalkan ruang TU, ia terus memandang ke belakang melihat apakah ada yang mengejarnya, ternyata tidak ada.

Aira sedikit bernapas lega, ia berhenti memegang lututnya. Benar-benar berasa di kejar setan.

"Eh kenapa lari, Ra? Udah dapat pulpennya?" tanya Aima melihat Aira yang berlari.

"Huah!" Aira terperanjat kaget melihat Aima, ia baru sadar bahwa ia berlari ke arah koridor di mana Aima menunggu.

"Ah, belum. Anu...hm... Anu..." ucapan Aira terbata-bata. Ia berpikir gimana caranya supaya Aima pulang duluan tanpa dirinya.

"Kenapa, Ra?" tanya Aima melihat Aira kebingungan.

"Anu, kamu pulang aja dulu, Ai. Aku tadi di suruh sama Pak Rusman untuk bantu dia di TU, makanya aku lari ke sini takut kamu lama nunggu." Aira sedikit gugup melihat ekspresi Aima, ia berusaha untuk berbohong demi beasiswa itu.

Diingat-ingat lagi, kondisi keluarga Aira kini sudah susah, di tambah lagi Ayahnya yang di rumah sakit dan ia mempunyai dua adik yang masih sangat kecil. Aira tidak siap dengan konsekuensi atas percakapannya semalam dengan ibunya.

"Yakin gapapa? Atau perlu aku tunggu atau bantuin, siapa tau Pak Rusman juga butuh bantuan aku." Aima melangkah arah ke ruang Tata Usaha.

"Eh, gapapa. Cuma dikit aja kok, gapapa kamu pulang aja, Ai. Nanti ibu kamu nyariin." Aira berusaha untuk Aima pergi dan akhirnya Aima pun pulang sendiri tanpa berpikir macam-macam tentang Aira.

Setelah bayangan Aima tak terlihat lagi, Aira berjalan mengendap menuju ruang TU. Koridor tampak sepi karena seluruh siswa SMA Gardenia sudah pulang sejak tadi. Hari ini pun tidak ada ekskul membuat beberapa siswa untuk tinggal.

Aira masih melihat Pak Rusman staf tata usaha dan pak kepala sekolah masih di ruang TU. Ia menarik napas panjang sebelum masuk, ia sudah bertekad untuk menjalankan misi ini. 

"Permisi, Pak." Aira mengetuk pintu membuat atensi kedua guru itu teralihkan.

"Ya, Aira ada apa?" Tanya Pak Rusman.

"Anu, itu Pak, tadi pena saya ketinggalan, Pak, waktu tanda tangan kelengkapan berkas," jelas Aira gugup.

"Oh, cari aja di meja tumpukan berkas itu, mungkin nyelip di situ," ucap Pak Rusman menunjuk ke arah meja tumpukan berkas dan kembali berbicara kepada pak kepala sekolah.

Tanpa lama lagi, Aira menemukan kesempatannya, ia mencari-cari berkas atas nama Aima, dengan dalih mencari pena. Ketika dapat, ia memandang ke arah dua guru itu yang sibuk berbicara, ketika menemukan timing yang pas ia mengambil berkas Aima dan memasukkan ke dalam tas.

"Gimana ketemu?" tanya Pak Rusman berjalan ke arah Aira.

"Eh, gak ada, Pak. Mungkin udah hilang kemana," jawab Aira gugup, beruntung dia bisa mengamankan berkas Aima tanpa ketahuan.

"Ya, sudah. Beli aja lagi, pena aja, toh."

"Hehe, iya, Pak. Terima kasih, saya permisi." Aira pamit pergi kepada Bapak Rusman dengan berkas Aima di dalam tas nya.

Sorry, Ai. Sorry

Kata maaf yang sungguh terlambat adanya.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro