Ketiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Angin dari kipas angin yang berada di sudut kelas tidak cukup untuk siswa XI IPA 1. Kini cuaca cukup panas, yang tadinya dingin karena hujan kin mulai membuat gerah, jendela yang terbuka tak membantu banyak untuk kipas angin yang hanya satu di kelas.

Aira masih merutuki dirinya, walau ia keliatan tenang tapi di dalam hatinya ia gondok setengah mati, ia selalu ceroboh seperti ini, padahal jika saja ia lebih teliti mungkin nilai seratus udah tertera di kertas ulangannya ini. Bukannya ia tak bersyukur, tapi ia terlalu berfokus pada kesalahannya itu hingga lupa bahwa berapa banyak kebenaran pada soal yang ia dapat.

"Gapapa, Ra. Next ulangan kamu harus lebih teliti lagi." Aima tersenyum tulus kepada Aira.

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa harus gini sih? Bodoh kamu Ai, selalu saja melakukan hal yang sama, batin Aira menepuk kepalanya dengan kertas.

Aira sangat berambisi untuk menjadi juara satu, sekali saja ia ingin menang dari Aima, ia ingin melihat senyum bangga Ayahnya yang berada di rumah, ia ingin berlari membawa kertas ulangan yang bernilai seratus itu dengan senyum bangga kepada Ayahnya, walau Ayahnya tidak menuntut apa-apa atau bahkan ibunya, tapi sekali saja, ia ingin mendapatkan nilai sempurna, apa tidak bisa?

"Ra, cukup. Kamu tidak bodoh, berhenti, Ra. Berhenti untuk menyalahkan diri kamu atas hal yang seperti itu, lihat nilai kamu 98, walau tidak sempurna tapi itu nilai yang bagus, kamu lihat mereka. " Aima menunjuk kepada teman-teman kelasnya. "Mereka bahkan mendapatkan nilai lebih rendah dari kamu, tapi apa? Mereka bersyukur, mereka menerima itu, karena itu hasil mereka, Ra."

Benar, Aima benar, Batin Aira lagi. Ia menatap pada kertasnya dan memeluk kertas itu ke arah dadanya.

Yeah, tidak apa. Tidak apa untuk juara dua. Tidak apa, ini bakalan baik-baik saja, Ayah pasti bangga.

Aira berdiri dari tempat duduknya dan keluar kelas tanpa berbicara kepada Aima, ia harus keluar kelas sebentar sebelum jam istirahat, karena jam kedua mereka ada kelas kosong dan guru hanya memberikan tugas yang diserahkan minggu depan.

Aima merasa tak enak dengan Aira yang pergi begitu saja, ia merasa Aira marah padanya, tapi ia tak bisa menyusul Aira, mungkin gadis itu butuh sendiri. Karena Aira selalu seperti itu, saat satu kesalahan yang ia lakukan, ia pasti seperti itu, pasti menyalahkan dirinya sendiri.

"Semoga saja Aira gak marah, atau tadi aku terlalu kasar ya, ngomongnya?" gumam Aima, mulai mengerjakan tugas pada saat jam kosong ini, karena Aima ingin memanfaatkan waktunya.

Ia juga tak jarang membantu teman kelasnya yang ingin meminta bantuan saat kesulitan, kini Adam sudah duduk di kursi Aira untuk meminta bantuan kepada Aima tentang tugas yang diberikan itu.

***
Bel istirahat berbunyi, kelas XI IPA 1 yang sedari tadi sepi karena sebelum istirahat ada jam kosong semakin sepi, karena banyak yang keluar kelas menuju kantin.

Aira belum balik ke kelas, Aima cukup panik, tapi ia berpikir mungkin Aira ke perpustakaan. Tetapi, Aima baru ingat kalau Aira wajahnya pucat, apa ia Aira ke UKS.

"Besok aja ya lanjut lagi Dam, aku mau ngecek Aira dulu takut kenapa-napa," ucap Aima membereskan bukunya kedalam tas.

"Emang Aira kenapa?" tanya Adam yang juga membereskan bukunya, bangkit dari bangku Aira yang ia duduki beberapa saat.

"Dari jam kosong tadi dia belum balik, takut kenapa-napa, soalnya wajahnya pucat dari tadi pagi," jelas Aima dengan raut wajah paniknya.

Belum sempat Aima melangkah ke pintu, Aira sudah muncul dari balik pintu. Wajahnya sudah tidak pucat lagi.

"Aira! Darimana saja kamu?" Aima langsung menghampiri Aira.

"Perpustakaan, kenapa?"

"Fyuh, syukurlah, aku kira kamu kenapa-napa, soalnya tadi 'kan wajahmu pucat." Aima bernapas lega.

"Ah, itu aku lupa sarapan, tadi ada mampir ke kantin beli roti, jadi udah gapapa."

"Oke, kalau gitu bagi-bagi bekal sama aku yok, kebetulan nih aku bawa bekal banyak." Aima menarik Aira menuju kursi mereka dan ia mengeluarkan bekal dari laci meja.

Merasa tak dihirukan Adam keluar kelas, daripada ia hanya diam di luar kelas, mending ke kantin untuk mengisi perutnya, melihat bekal Aima tadi membuat ia menjadi lebih lapar.

"Eh, ai. Kamu liat pengumuman di Mading depan, gak? Ternyata ada beasiswa loh," ucap Aira sambil menyuap makanan ke mulutnya dari bekal Aima. Setiap hari Aima pasti membawa dua sendok setiap Aima membawa bekal, biar mereka bisa bagi-bagi katanya. Terkadang Aira membeli minum atau bekal minum jadi mereka saling sharing.

"Oh, ya? wah hayu daftar, Ra. Siapa tau dapat, lumayan 'kan bisa bantu-bantu orang rumah," ucap Aima sambil makan, mie goreng dengan ceplok telor bekal dari ibunya terasa enak sekali, apalagi berbagi begini dengan Aira.

"Iya, ayok daftar. Besok kita ngumpulin berkasnya, ini mungkin agak sulit soalnya banyak juga yang daftar, tapi gapapa, ayo semangat!"

"Yuhu semangat!" Aima mengangkat sendoknya semangat, menimbulkan gelak tawa pada kedua gadis itu.

Tak tau sampai kapan gelak tawa itu akan terus begitu, tapi yang pasti rencana semesta pasti seru.

Jadi, kita saksikan saja gimana kelanjutan kisah ini.

***

19/02/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro