:: Memulai yang Baru ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Memulai yang baru bukan berarti melupakan yang lama.
Semua ada porsinya masing-masing.
Semua ada pada posisinya masing-masing.
Baru atau lama, semua sama berartinya.

🍂🍂🍂

Ada permulaan yang sebenarnya tidak diharapkan. Namun, ketika semua sudah dibicarakan dengan baik, lalu mendapat jalan keluar, akhirnya semua berjalan dengan seperti yang diinginkan.

Elvan awalnya mendapat kendala izin dari sang ibu. Apalagi ketika Jani mengetahui sang kakak akan bekerja di tempat sahabat ayahnya. Bukan apa-apa, sebab bekerja menjadi penjaga kedai minuman saja sudah lumayan menguras tenaga. Apalagi ditambah dengan bekerja di perusahaan.

Semua juga tahu jika bekerja ikut dengan orang lain akan ada aturan yang mengekang. Berbeda dengan perkejaan yang dimulai dari diri sendiri. Ada hal yang bisa dibicarakan dan tentunya lebih luwes dalam peraturan.

Jika ingin sukses, maka bekerja keraslah. Jika hanya ingin ala kadarnya, ya, sesuaikan dengan apa yang ingin dicapai. Itulah yang disampaikan Jani pada Elvan. Di sisi lain, Jani juga mengungkapkan, semua sudah cukup, tidak perlu menambahi beban diri sendiri dengan bekerja berlebihan.

"Ibu sudah mengizinkan, Jan. Kak El akan tetap melanjutkannya. Jani doakan yang terbaik saja untuk Kak El," ucap Elvan ketika Jani pulang di akhir pekan.

"Kuliah Kak El gimana? Jani sebentar lagi lulus, Kak. Biarkan Jani bantu untuk memenuhi kebutuhan kita, ya?"

"Kak El mengajukan cuti. Insya Allah tahun depan bisa dilanjut lagi. Tinggal sedikit lagi, kok."

"Kak ...."

"Dukung Kak El kali ini saja, Jan. Kak El nggak pernah meminta apa-apa 'kan? Kali ini saja."

Jani menghela napasnya, "Terserah Kak El saja, tapi Jani mohon ingat batasan dan kemampuan diri."

"Iya, Jan. Kakak janji."

"Ya, sudah. Jani mau siap-siap balik ke asrama. Kakak baik-baik, selamat datang di dunia kerja yang baru."

Elvan tersenyum setelah mendapat wejangan dari sang adik. Tidak disangka dulu yang masih sering menangis ketika digoda, sekarang sudah berani memberikan masukan sekaligus ancaman. Setidaknya Jani tidak menjadi anak manja seperti yang dilabelkan pada anak bungsu lainnya.

🍂🍂🍂

Celana kain berwarna hitam, kemeja polos berwarna baby blue melekat di tubuh Elvan. Ditambah dengan sepatu kulit peninggalan sang ayah semakin melengkapi penampilannya pagi ini.

Terbiasa menggunakan pakaian kasual, lalu dituntut untuk menjadi manusia yang berpenampilan formal cukup membuat Elvan sedikit canggung. Apalagi ia juga diharuskan menggunakan dasi ketika hari Senin dan Selasa.

"Kalau penampilannya begini setiap hari, aku yakin cewek-cewek nggak bakalan berpaling, El." Rista berdiri di hadapan Elvan dan membenarkan dasi yang sedikit miring.

"Kamu juga dong, Ta? Kan kamu cewek," balas Elvan sambil menatap manik mata Rista.

Rista yang selesai membenarkan dasi langsung membalas tatapan Elvan. Dua pasang mata saling bertatap. Suasana seperti terhenti seketika. Hingga beberapa saat kemudian, keduanya kompak saling menjauh dan mundur selangkah.

"Besok-besok benerin sendiri dasinya, El. Aku nggak akan ke sini tiap hari."

"Lagian yang nyuruh ke sini siapa? Aku bisa nyiapin sendiri, Ta. Ibu saja yang heboh sampai ngubungin Mama dan bilang kalau aku nggak bisa pasang dasi."

"Pantesan Mama nyuruh aku cepat-cepat ke sini."

"Aku berangkat, deh. Takut terlambat di hari pertama."

"El, jaketnya jangan lupa. Ruanganmu ber-AC, kamu nggak akan kuat."

Elvan berbalik lagi dan langsung menyambar jaket jeans warna hitam miliknya. Sebenarnya itu sudah dipersiapkan, tetapi entah mengapa justru lupa dibawa. Lelaki yang menggendong ransel itu langsung menuju lantai bawah.

"Sudah beres, Ta?"

Seseorang yang turun dari lantai dua dan berada paling depan adalah Elvan, tetapi yang dipanggil justru Rista oleh ibu Elvan. Hal itu membuat Elvan menoleh dan mempersilakan Rista untuk mendahuluinya.

"Sudah, Bu. Lagian dulu yang ngajari Rista pasang dasi itu El, masa iya dia bisa lupa?"

"Ibu nggak tahu apa yang harus disiapkan, makanya telepon Mama kamu. Maaf, ya, sepagi ini sudah dibikin repot."

"Nggak apa-apa, Bu. Sekalian ngingetin Elvan buat hal lain dan ambil kunci kedai juga, Bu. Oh, iya, sekalian Rista pamit, deh."

Rista mendekati ibu Elvan dan langsung menciumnya kedua pipinya. Tanpa berpamitan pada Elvan, Rista langsung melesat ke luar rumah.

"El berangkat sekalian antar Tata balik, Bu."

"Hati-hati di jalan, semoga lancar pekerjaannya, ya?"

Sebaris doa dari sang ibu menjadi bekalnya untuk hari ini. Selain itu, bekal makan siang juga tidak lupa Elvan masukkan ke dalam ranselnya. Lelaki yang sudah rapi itu langsung bergegas menyusul Rista dan mengantarnya pulang.

🍂🍂🍂

Elvan dibuat takjub dengan keadaan tempat kerjanya. Ia mendapat ruangan yang langsung bersebelahan dengan manager perusahaan. Ruangannya nyaman, dengan kaca lebar dan tembus pandang. Apalagi pemandangan dari lantai tujuh kantornya sangat memanjakan mata.

Baru saja beberapa menit berada di ruangan itu, Elvan sudah merasa kedingingan. Benar kata Rista, ruangan ber-AC sangat tidak bersahabat dengannya. Sebenarnya ia ingin menaikkan suhu ruangan, tetapi akan sangat egois sebab ia berbagi ruangan dengan karyawan lainnya.

"Pak Elvan, bisa ikut saya untuk ke rapat dengan klien? Kebetulan sekretaris saya sedang izin."

"Sa-saya, Pak? Bukan dengan yang lain?"

"Iya, siapa lagi? Yang lain sedang ada pekerjaan masing-masing. Mumpung belum mendapat jatah kerjaan makanya saya ajak Pak Elvan saja."

"Panggil Elvan saja, Pak. Saya canggung kalau dipanggil seperti itu."

"Baiklah, ayo, El. Saya tunggu di lobi, ya?"

Elvan mengangguk. Sebelum keluar ruangan, ia bertanya pada rekan seruangannya tentang apa saja yang harus ia siapkan jika menemani atasannya bertemu klien. Setelah mendapat penjesalan akhirnya ia menyusul juga ke lobi.

Beberapa kali rasa syukur terucap dari bibir Elvan. Ia merasa terselamatkan untuk hari ini. Setidaknya dingin tidak menjadi ancaman hari ini. Namun, ia sedikit canggung, sebab baru hari pertama sudah diajak pergi.

Hal itu mengundang tatapan tidak mengenakkan yang datang dari beberapa rekan kerjanya. Bahkan Elvan belum sempat bertegur sapa dan memperkenalkan dirinya pada yang lain.

Ambil baiknya, buang buruknya. Hilangkan segala prasangka buruk supaya tidak menjadi pikiran negatif dan mengusikmu, El, ucap Elvan dalam hatinya sambil mengekori sang pimpinan menuju mobil yang sudah terparkir di depan lobi kantornya.

Elvan langsung menuju kursi disamping sopir, tetapi sang pimpinan melarangnya. Ia justru menarik Elvan untuk duduk di kursi belakanga.

"Di sini, sekalian ada yang ingin saya bicarakan, El."

"I-iya, Pak."

Sang pimpinan tertawa mendengar suara Elvan yang tergagap. "Kalau di luar kantor kamu boleh panggil Om, saya ini sahabat ayah kamu. Jangan sungkan, ya?"

"Maaf, Om. Saya belum terbiasa. Apa nggak masalah kalau saya ikut Om seperti ini? Bahkan saya belum sempat berkenalan dengan yang lainnya."

"Nggak apa-apa. Mereka sudah tahu kalau kamu adalah kerabat saya."

Elvan terdiam, sebenarnya ia tidak begitu suka jika harus membuka identitasnya di awal. Hal itu seperti menimbulkan kesan bahwa Elvan masuk ke kantor karena jalur kekerabatan, bukan karena kemampuan yang dimilikinya.

"Om, kalau bisa anggap Elvan seperti pegawai yang lainnya."

"Kenapa? Kamu itu memang spesial, El. Seharusnya kamu ada di posisi yang lebih tinggi, bukan di bagian admin, tapi karena kamu yang keberatan, ya, sudah. Om ikuti kemauan kamu."

"Elvan bukan siapa-siapa, Om."

"Kamu ini persis ayahmu, selalu merendah. Padahal sebenarnya lebih dari apa yang orang bayangkan. Setelah ini, kamu kenalan dengan putri Om, ya? Siapa tahu bisa menjadi jodoh."

Belum juga melalui satu hari di tempat kerja, Elvan sudah dibuat kaget dengan ucapan sang pimpinan. Elvan mendadak gugup. Ia merasa kepanasan di dalam mobil. Padahal AC sedang menyala. Sungguh hari pertamanya seperti ujian pertama. Canggung, tegang, kaget, dan semuanya itu terlalu tiba-tiba.

🍂🍂🍂

Day 17
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 22 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro