:: Tersayang ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yang dekat akan menjauh.
Yang jauh akan mendekat.
Seperti dari ada menjadi tiada.
Seperti tiada menjadi ada.
Semua silih berganti, sesuai jalannya.

🍂🍂🍂

Udara di luar rumah sangat tidak bersahabat. Pulang larut malam memang tidak seenak itu. Berpacu dengan waktu untuk sampai di rumah tepat sebelum sang ayah pulang adalah sebuah kewajiban.

Elvan memelankan laju motornya dan segera berbelok menuju garasi rumah. Sialnya, kendaraan yang biasa dibawa ayahnya sudah terparkir.

"Bos besar sudah pulang, yuk, bisa, yuk!" ucap Elvan sambil membuka jas hujan dan menggantungnya di sisi sebelah pintu samping rumah.

Udara di luar rumah ternyata seburuk itu. Hujan dengan intensitas sedang harus Elvan hadapi dari sejak keluar gerbang kampus sampai berhenti di garasi rumahnya.

Putra kedua keluarga Syahreza itu memasuki rumah dengan perlahan. Ia berusaha untuk berjalan tanpa bersuara supaya tidak mendapatkan kajian kuliah tujuh menit dari sang ayah.

"Langsuny mandi, pakai baju tebal dan minum air jahe yang sudah disediakan Ibu di kamar, El."

"Kok Ayah bisa tahu kalau El?" tanyanya.

"Mbak Dina, Alvan, sama Jani sudah pasti jadi penghuni rumah. Cuma kamu yang sering pulang malam."

Elvan tersenyum dan mendekati sang ayah beserta ibunya. Ia menyalami keduanya secara bergantian. Ditambah lagi dengan bonus kecupan di kening kedua malaikat dalam hidupnya itu.

"El bersih-bersih dulu."

Si tengah, lelaki tertua dalam keluarga itu akhirnya berjalan menuju kamarnya. Belum juga sampai, ia sudah bersin beberapa kali disertai dengan batuk yang tiba-tiba.

Dua orang tua yang tengah bersantai di ruang tengah langsuny menoleh dan mengangguk. Sudah diterlalu biasa bagi mereka untuk mendengar suara bersin Elvan yang berkali-kali saat musim hujan seperti ini.

Apalagi saat musim kemarau yang berangin dan membawa hawa dingin. Bukan lagi bersin, tetapi hidung berdarah yang akan mereka hadapi. Meski begitu, Elvan sudah terlalu kebal menghadapi kedua situasi tersebut.

Sang ayah langsung beranjak menyusul ke kamar El. Beliau membawa minyak kayu putih beserta sepasang kaos kaki untuk si tengah.

"El, Ayah masuk, ya?"

"Masuk, Yah. Nggak dikunci, kok."

Elvan yang baru menyelesaikan ritual bersih-bersihnya langsung melompat ke kasur setelah memakai jaket dan celana trainingnya. Dingin begitu menusuk dan tidak sangat tidak bersahabat untuknya.

Hidung Elvan memerah, disertai dengan tetesan bening yang mulai mengalir dari hidungnya.

"Tengkurap sini. Ayah olesin minyak kayu putih di punggung."

"Yah, El sudah lebih dari seperempat abad, loh. Kalau ayah begini sama Jani, wajar. Dia masih bocil."

"Banyak omong. Mau kamu setengah abad, seabad sekalipun, di mata Ayah sama Ibu kalian itu masih bayi."

Elvan menurut. Ia tengkurap dan membiarkan ayahnya untuk menghangatkan punggungnya.

"El, kalau misal pendidikan pasca sarjananya cuti sementara, nggak apa-apa? Atau kerjaan kamu di tempat jual minuman kekinian itu cuti, gimana?"

"Memangnya kenapa, Yah? Toh, gaji dari sana lumayan buat nyicil S2."

"Ayah masih sanggup kalau buat biayain pendidikan S2, tapi Ayah nggak sanggup buat lihat kamu kelelahan seperti ini."

Elvan menghela napas. Ia membalik badannya dan duduk berhadapan dengan sang ayah. Ditatapnya wajah yang sudah memiliki banyak kerutan. Beralih pada dua kantung mata yang semakin melebar.

"El anak laki-laki tertua. Sudah sepantasnya untuk tidak membebankan itu sama Ayah. Jangan pikirkan El, Yah. Kalau Mbak Dina sebentar lagi sudah menikah, tanggungan suaminya, dong. Masih ada Alvan dan Jani yang butuh Ayah."

Sang ayah tersenyum. Ia membelai surai putranya yang panjang itu.

"Anak Ayah sudah dewasa. Ingat, Mbak Dina dan Jani adalah tanggung jawab keluarga lelaki. Entah itu ayah, saudara, suami, atau anak laki-laki. Kalau nggak ada Ayah, kamu yang wajib menjaga dan menjadi wali untuk Mbak Dina dan Jani."

"Ayah gitu. Nggak ada pembahasan lain? Bisa nggak diganti doa saja? Semoga Allah memberikan usia yang panjang untuk Ayah sampai bisa menemani anak cucunya tumbuh dan makin dewasa."

Sepasang ayah dan anak itu mengakhiri sesi perbincangan kali ini dengan berpelukan. Ini sangat berbeda dari biasanya. El biasanya akan marah ketika ayahnya mulai berbicara yang tidak-tidak.

Kali ini, ia justru melampirkan sebait doa untuk kesehatan sang ayah dan pelukan hangat untuk menguatkannya.

🍂🍂🍂

Setelah pertemuan semalam, Elvan justru tidak bisa memejamkan matanya. Sampai-sampai ia membawa mata panda ke tempatnya bekerja.

Sebuah kedai minuman kekinian berbahan kopi  yang terletak di depan sebuah minimarket adalah ladangnya untuk menghasilkan uang. Tempat itu adalah hasil kerja sama antara ia dan teman kuliahnya.

Sesuai kesepakatan, Elvan yang berjaga dengan modal dari temannya itu. Sebenarnya Elvan tidak terlalu miskin. Ia masih tergolong menengah ke atas untuk status ekonomi keluarganya.

Hanya saja, harta orang tua tidak termasuk dalam daftar yang bisa dihabiskan untuk foya-foya. Maka dari itu, ia memilih untuk bekerja di sela menempuh pendidikan pasca sarjananya.

"Ta, motivasinya kerja begini apa? Kamu nggak miskin 'kan?"

"Mulutnya, El. Aku cuma pengin cari pengalaman. Menurutku enak aja kerja begini. Ketemu manusia yang nggak pake topeng. Dilayani, dapat yang mereka mau, pergi."

Seorang Aristawidya Saraswati yang berada di outlet yang menyajikan kebab dan burger itu menjawab dengan santainya. Perempuan yang sudah lama bergerilya dalam hidup Elvan itu beranjak lalu kembali lagi dan menyodorkan sebungkus makanan pada Elvan.

"Apaan, nih?"

"Bacel." jawabnya sambil membuka kertas pembungkus dan menggigitnya secara perlahan.

"Owalah, kebab pecel? Idenya ada saja, ya? Eh, Ta, boleh tanya lagi, nggak?"

"Biasanya juga nyerocos tanpa disuruh."

Jam yang masih terbilang pagi ini membuat dua manusia lebih mudah bercengkrama. Sebab jika sudah mendekati makan siang, keduanya akan sibuk melayani pelanggan masing-masing.

Diiringi dengan suara radio yang memutar lagu-lagu hits saat ini keduanya larut dalam perbincangan. Entah bagaimana awalnya, kedua sahabat yang sudah saling mengenal sejak kecil itu akhirnya menjadi teman yang sama-sama memilih jalur berniaga.

Keduanya terhenti ketika sebuah laporan mulai terdengar dan mengakhiri lagu yang sedang diputar melalui speaker milik Elvan. Keduanya sama-sama terdiam.

"Ta ...," ujar Elvan sambil mencoba menelan makanan yang ada di mulutnya.

Lelaki dua puluh enam tahun itu mendadak tercekat begitu mendengar suara yang menyatakan bahwa salah satu perusahaan terbesar di kotanya tengah mengalami kebakaran hebat akibat korsleting listrik.

"El, tinggalin aja yang di sini. Kamu pastikan Ayah baik-baik saja."

"Ta-tapi, El? Aku nggak salah dengar 'kan? Itu alamat kantor Ayah 'kan? Beneran?"

"El, tenang dulu. Itu kantor Ayah, tapi jangan mikir aneh-aneh. Ayah nggak apa-apa. Atau kamu mau aku temenin?" 

Perempuan yang sering dipanggil Rista itu akhirnya meminta bantuan dari teman penjaga minimarket untuk membantu menutup dua kedai yang mereka jaga. Setelah selesai, keduanya bergegas menuju ke lokasi yang disebut tadi.

Ramai kendaraan yang menonton membuat jalanan macet. Kendaraan pemadam kebakaran yang seharusnya sudah sampai justru terhenti karena kerumunan.

Setelah beberapa aparat turun tangan, kemacetan dapat terurai dan akhirnya beberapa mobil pemadam kebakaran bisa mencapai depan perusahaan yang sudah mulai berkobar.

"El, ini gimana?" tanya Rista panik karena melihat beberapa korban yang dibawa keluar kondisinya terlalu parah.

"Ayah, Ayah!" teriak Elvan sambil berlari mendekati seseorang yang menuntun ayahnya keluar dari kepulan asap.

Sosok lelaki dengan wajah menghitam dan baju yang kotor itu tersenyum. Ia mendadak ambruk di pelukan putra laki-laki tertuanya dengan napas yang tersengal.

🍂🍂🍂

Day 1
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 04 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro