Chapter 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nobody's gonna love you like I love you." – The Moffatts-

"Jadi, kau sudah siap menceritakannya?" tanya Emilia dengan tangan terlipat di dada, menatapku lekat seperti ingin mengorek sampai ke akar.

"Ya dan tidak, tapi ... kurasa mungkin ini sudah waktunya," jawabku jika mengingat apa yang dikatakan oleh dokter Margaretha tempo hari.

Gadis di depanku melirik buket bunga mawar yang sudah menghitam dan menunjuknya dengan dagu. "Apakah itu termasuk?"

Mr. Jhonson? Mungkin ...

Sebelum kata-kata dalam kepalaku meluncur, bel pintu berbunyi. Buru-buru Emilia bangkit dan membuka siapa yang akan bertamu ke tempat tinggal kami. Aku melongok dan mendengar seseorang di luar sana menyebut namaku. Tak sabar, aku ikut beranjak dan melihat seorang kurir mengenakan baju merah menatapku sekilas. Emilia berpaling dan berkata,

"Ada seseorang mengirim paket untukmu."

"Aku?"

Dia menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus kertas cokelat dengan namaku yang tertera di sana. Emilia pergi tuk duduk kembali di atas sofa sementara aku masih bertanya-tanya tentang siapa pengirim benda ini.

Mr. J?

Hanya kata itu yang ada di bawah namaku. Seketika pikiran ini langsung tertuju pada sosok pria yang memberiku bunga dan mengajakku jalan berdua. Aku duduk, memangku bungkusan itu kembali memandangi Emilia tuk mulai merangkai semua jalan cerita yang rumit.

Kubuka kaus dengan gaya turtle neck yang selalu menjadi andalan untuk menutup rahasia. Menunjukkan sebuah luka kecil yang menjadi dasar rahasia terbesar yang kupendam selama bertahun-tahun. Emilia mengernyit dan memicingkan mata lalu dia menggeleng pelan tidak mengerti.

"Aku punya rahasia di ini, Emilia." Kutunjukkan sebuah keloid tipis bekas jahitan dan rasanya diriku kembali ditarik ke masa kelam itu. "Dulu ... ada seseorang yang awalnya kupercaya sebagai ayah setelah George meninggalkan kami. Lalu ..." ucapanku terhenti, mataku berkaca-kaca setiap membuka lembar demi lembar luka yang sudah tertutup ini. Air mataku berdesakan ingin keluar sampai menengadahkan kepala untuk tidak menjadi perempuan lemah.

"Dia memperkosamu?" tebak Emilia to the point.

Aku mengangguk pelan. "Dan menyiksaku." Mendadak sekujur tubuhku gemetaran kala serangan kenangan itu datang menerpa. Walau memejamkan mata rasanya bayangan wajah ayah tiriku masih terlihat jelas.

"Kau harus menghadapi ketakutanmu, Elizabeth ..."

Suara dokter Margaretha menggema di kepala, seperti cahaya yang berusaha menerangi sisi gelap diriku. Tanpa kusadari, Emilia merangkul tubuhku sambil menangis.

"Hei, ada aku di sini, Elizabeth," ucapnya sambil mengelus rambutku dengan sayang. "Aku sungguh minta maaf karena sudah berpikiran bahwa kau tidak percaya padaku. Aku ... tidak tahu jika yang kau pendam sebesar ini."

Emilia menangkup wajahku, menghapus linangan air mata yang membasahi pipi. Aku yakin wajahku terlihat jelek sekarang. Apalagi setelah membuka hal yang tidak diketahui orang lain. Tapi, gadis blonde di depanku ini pun sama, dia menangis. Dari sorot matanya, dia terlihat sangat bersalah sudah mendiamiku selama hampir dua minggu.

"Kau adalah wanita berharga, Elizabeth. Camkan itu, oke! Aku bersumpah tidak akan membiarkan orang lain menghancurkan hatimu lagi," ucapnya dengan penuh keyakinan. "Terima kasih sudah percaya padaku, Lizzie."

"Apa kau masih mau berteman denganku setelah mengetahui ini semua?"

Emilia menganga lalu tertawa. "Kau kira aku ini apa? Tentu saja aku masih menerimamu menjadi temanku, kita sudah mengenal lama, Elizabeth."

Kami berpelukan sejenak sebelum Emilia menyadari tentang bungkusan yang diberikan oleh kurir tadi. Dia menyuruhku membukanya karena penasaran siapa pengirimnya. Detik berikutnya, pupil mataku melebar mendapati sebuah gaun cantik yang terlihat classy dan elegan. Untaian mutiara di sepanjang punggung belakang pasti membuat siapa saja yang memakainya akan terlihat begitu seksi dan kontras dengan warna gaun yang hitam legam.

Emilia menarik sebuah surat yang tertinggal dalam kotak itu. Dia membeliak dan berkata, "Apakah aku melewatkan sesuatu yang lain, Elizabeth Khan?"

Kurebut kertas itu dan membacanya. Oh, Sialan! Si pria kopi itu benar-benar gencar mendekatiku. Setelah kutolak beberapa hari lain, kali ini dia menyuguhkan sebuah gaun yang benar-benar bukan tipeku. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Tidak adakah wanita lain yang bisa dia ganggu?

To : Ms. Elizabeth Khan

Aku tidak tahu bagaimana caranya agar kau bisa memaafkan atas semua sikapku. Malam ini, aku ada acara dan bila kau mau, ikutlah denganku sebagai pasangan.

With love,

Mr. Jhonson

"With love, Mr. Jhonson." Emilia menekankan kata terakhir yang ditulis tangan itu. "Oke, orang yang kau bilang sebagai imitasi Robert Pattinson. Jadi, kau sudah--"

"Bukan aku!" elakku menyingkirkan gaun itu. "Dia gila. Aku sudah melupakan apa yang terjadi pada kami dan tidak bisakah dia menjauh sebentar saja?"

"Apa yang terjadi di antara kalian? Kenapa aku merasa kau masih menyimpan sesuatu yang lain?" Emilia menatapku dengan penuh selidik.

Aku mendengkus kesal. "Dia menciumku, memaksaku untuk mau jalan berdua dengannya sementara setiap kami berdekatan, aku pingsan. Oke?"

"Kau pingsan?" Emilia menunjukku. "Kalian berciuman dan pingsan? Apa bibirnya mengandung racun seperti dalam cerita Sleeping beauty?"

"Itu adalah hal berbeda, Emilia. Ah, sudahlah! Jika dia mencariku katakan aku berada di kutub." Aku beranjak pergi ke kamar untuk menidurkan diri selagi hari libur. Daripada memikirkan lelaki dan ajakannya yang tidak masuk akal.

###

Suara dering ponsel membuyarkan mimpi panjang setelah beberapa hari tidak bisa tidur nyenyak. Sambil mengernyitkan alis, meraba-raba benda kotak itu berada. Di atas nakas, tidak. Aku berguling, meraba di sisi kiri dan ... seketika mataku terbuka lebar merasakan ada sebuah tangan yang terasa hangat dan besar. Mengerjap-ngerjapkan mata menyesuaikan cahaya kamar sampai akhirnya sosok yang tengah duduk di sampingku ini terlihat jelas.

"Astaga!" pekikku sambil bangkit dari tidur. "Ke-kenapa kau bisa di sini, hah!"

Dia. Lelaki paling gila yang bisa aku camkan di kepala. Dia. Dengan setelan jas mewah nan mahal namun membuatnya begitu berkarisma kini melempar senyum tanpa dosa lantas mengerlingkan mata biru samudranya padaku.

"Aku sudah bilang kan?"

Pintu kamarku terbuka, Emilia muncul sambil melipat kedua tangan. Bedanya, dia sudah mengenakan sebuah gaun satin merah darah berpotongan V dengan dada yang rendah dan terlihat kontras di kulit bak batu pualam itu. Emilia sangat cantik dan begitu dewasa, pulasan gincu merah dan riasan smokey eyes membuat mata biru itu semakin tajam. "Dia memaksaku dan malah mengajakku ke acaranya juga."

"Em!" teriakku tak terima. "Kau kan--"

"Apa kau akan membiarkanku melihat kalian berdua saling melempar piring setelah ini?" Mr. Jhonson menyela perdebatan kami. "Ayolah, Ms. Khan, aku tidak punya pasangan untuk acara sosial yang diselenggarakan keluargaku."

"Apa hubungannya denganku? Aku ini hanyalah karyawan di perusahaanmu, Mr. Jhonson!"

Oke, sekarang tidak ada waktu untuk berbicara formal dengannya. Sekali-kali orang seperti dia perlu diberi kata-kata sedikit kasar. Mungkinkah ini akan berefek pada pekerjaanku besok?

"Bukankah sudah ada gosip di antara kita? Kenapa tidak kita kobarkan saja, Ms. Khan. Aku suka jika digosipkan denganmu, perempuan keras kepala," sindirnya membuat Emilia menatapku dengan tatapan 'gosip apa lagi yang kau sembunyikan'.

"Aku akan menunggumu, Ms. Hall akan membantumu menggunakan beberapa riasan tipis. Kuharap kau mau mengenakan gaun yang kuberikan padamu sebagai hadiah."

Dia beranjak meninggalkan jejak aroma sandalwood yang berpadu dengan sedikit aroma kopi. Ya. Dia. Si pria kopi itu pergi meninggalkanku sementara Emilia masuk dan menunjuk kotak yang berisi gaunku.

"Ini gila," decakku kesal.

"Jika kusimpulkan untuk saat ini, dia tertarik padamu, Elizabeth," tebak Emilia. "Apa kau tidak lihat matanya? Bagaimana mungkin seorang pimpinan perusahaan mau datang ke apartemen kita? Memberimu gaun dan menunggumu di luar seperti orang tak waras."

"Aku malas, Emilia. Sungguh, dia tidak bisa berhenti menggangguku."

"Sudahlah, kau perlu datang dan diam. Ikuti saja alurnya. Bukankah doktermu mengatakan jika kau perlu menghadapi sumber mimpi burukmu?"

"Dia? Aku tidak pernah siap."

Emilia membuka kotak itu, merentangkan gaun dengan untaian mutiara yang berkilau di bawah temaram lampu kamar.

"Sampai kiamat, kau tak akan pernah siapa jika tidak mencobanya dari sekarang," kata Emilia. "Oke, bangunlah dan cuci wajahmu, aku akan menggunakan keahlianku untuk meriasmu, Elizabeth. Kau akan terlihat memesona di mata Mr. Jhonson."

###

Fuck!

Jelas ini bukan gaya seorang Elizabeth Khan. Gaun yang ketat dengan lekukan punggung yang terbuka sampai batas tulang ekor. Tak hanya itu saja, untaian bola mutiara ini juga membuat dadaku terekspos walau tertutupi brokat sekalipun, walau kedua lenganku tertutup rapat. Rambut panjangku disanggul dengan gaya klasik. Aku sempat heran dengan keahlian Emilia yang tidak pernah dia tunjukkan. Jemarinya sangat lihai memulas riasan di wajah dan menata rambut sedemikian rupa.

Kurasa dia lebih cocok jadi penata rias daripada pengejar berita.

Sedikit sentuhan lipstik peach agak kemerahan menambah kesan segar sementara riasan wajah hanya menggunakan eyeshadow cokelat dan glitter. Melihat di cermin ... aku merasa seperti kembaran Audrey Hepbrun versi modern. Tapi, saat melihat bekas luka di leherku, semuanya sirna. Aku menelan ludah lalu berkata,

"Bisakah kau menutup keloidku dengan concelear tebal?"

Emilia menurut tanpa banyak tanya, mengambil salah satu produk yang bisa menutupi kekurangan di wajah maupun tubuh lain. Dia memulas bekas luka di leher kiriku lalu meratakan dengan spons. Ah, setidaknya, luka itu tidak seberapa terlihat sekarang.

"Fantastis!" puji Emilia. "Kau tak perlu menggunakan sweatermu untuk menunjukkan kecantikanmu, Elizabeth. Ah, harusnya dari dulu kita sering main make up."

"Tapi ... ini terlalu terbuka, Emilia. Aku merasa telanjang di depan Mr. Jhonson. Bisakah kita mabuk sebentar supaya aku tidak ingat siapa diriku?"

"Sudahlah ... seleranya cukup liar dan menyeretmu paksa dari zona nyaman. Nanti saat acara berlangsung, biarkan aku mengulik informasi tentang dirinya dari orang lain. Mari kita lihat sejauh mana ketertarikannya denganmu, Lizzie."

Aku tertawa. "Baiklah mari kita lihat sejauh mana keahlianmu, Ms. Hall."

Kami berdua keluar dari kamar kala Mr. Jhonson sedang sibuk memainkan ponselnya. Dia mendongak lalu menatapku cukup lama sampai bibirnya terbuka. Oke, sekarang aku tidak tahu apa yang di pikirannya saat ini. Apakah aku terlihat buruk dengan pakaian serba terbuka atau justru sebaliknya.

Lelaki itu beranjak, melangkah perlahan mendekat yang dibalas oleh otakku untuk sedikit mundur. Emilia menahan punggungku dari belakang seraya berbisik, "Kau harus bisa bertahan menghadapi sumber mimpi burukmu. Jika dia melakukan hal aneh, aku bisa mematahkan adik kecilnya."

"Aku bisa mendengar ancamanmu, Ms. Hall," kata Mr. Jhonson. "Aku ... kau sangat cantik sampai mataku tidak bisa membedakan apakah ini Elizabeth si keras kepala yang kukenal atau seorang malaikat cantik yang turun dari bulan?"

Oh sial! Hanya satu kalimat manis itu saja bibirku langsung mengembang dengan sendirinya. Darahku berdesir dengan cepat saat dia berdiri menjulang tinggi di depanku dan merendahkan posisinya. "Memang tidak salah kalau aku mulai tertarik padamu, Ms. Khan."

Baju auto masuk angin kalo di Indo. Wkwkwkw

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro