EP. 1: Season Of Esa (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ayo kita bikin band!" teriak Esa bersemangat.

Laki-laki dengan tubuh tinggi menjulang dan tubuh proporsional itu sedang berdiri menghadap matahari. Dibelakangnya, Tian dan Dion hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil meminum air dari gelasnya masing-masing. Mereka adalah teman bermain sejak kecil. Esa, sudah akrab dengan Dion sejak masih kanak-kanak. Keduanya punya wajah oriental dan mata monolid. Yang membuat mereka beda secara jelas adalah tinggi badan dan ekspresi keduanya. Esa punya tatapan tajam seperti rubah, tulang hidung yang tinggi, rahang V yang tajam, alis seperti trapesium, berbibir tipis di bagian atas dan penuh dibagian bawah. Sedangkan Dion punya proporsi wajah agak bulat, mata monolid yang nampak berbinar, pipi chubby dengan bibir bergelombang penuh. Di sebelahnya lagi adalah Tian, teman sejak putih biru dengan wajah setengah bule yang tegas, bentuk mata besar, double eyelid, dan senyum gula batu yang jarang ia tampakkan kecuali sedang benar-benar kepepet.

Ketiga anak laki-laki ini sedang duduk di bangku depan koperasi sekolah. Jam istirahat selalu ramai di kantin maupun koperasi. Namun tempat duduk ini jarang ada yang pakai karena lokasinya berdekatan dengan ruang guru. Hari masih terlalu siang untuk bermimpi, tapi nampaknya Esa tidak peduli dengan itu. Kepalanya diisi oleh satu hal: Rendra Mahesa harus punya grup band sendiri!

"Kenapa lagi ini anak?" bisik Dion pada Tian.

Tian menganggat bahu sambil melihat ke arah punggung Esa. "Au amat." jawab Tian, "Kasian ya. Mana masih muda, udah sering gila."

"Woy, kedengeran!" Esa membalikkan tubuhnya. Kini posisinya membelakangi matahari. "Ayo bikin band! Malah ngatain gue gila." Esa mengatakan hal itu sambil menampol kepala Tian namun tidak kena. Tian dengan wajah datarnya menghindari serangan tersebut sambil tetap meneguk air mineral dalam botol kemasan kaca.

"Kemaren abis nonton The Grandsons, kepala lo kebentur sesuatu gak? Otak lu udah ilang ya?" tanya Dion, kini langsung kepada Esa yang punya kepala.

"Otak gue ketinggalan di rumah makan padang." jawab Esa sebal.

"HAHAHAHA emang dasar otak udang."

"Udang gak ada otaknya ya, bloon."

"Ada tapi kecil trus bukan ada di kepala."

"Yaudah sih gak usah dijelasin. Gue gak mau tau. GAK. MAU. TAU." tekan Esa. "Gue maunya ngeband. Ayo ngeband!"

"Dikira gue gabut kali." respon Tian membuat Esa manyun.

"Ah kalian gak suppportif banget sih." Esa mulai merajuk. "Ayo dong, Yan..." Tangannya kini menarik-narik kemeja putih dari seragam SMA Tian.

"Gue masih harus ngisi di The Heaven ya, for your information aja nih. Meino Bastian masih ada gawe after class. Gue orang sibuk."

"Najis sok sibuk."

"Plis banget ini mah buat pensi bulan bahasa nanti guys, sekaliiiii aja tampil yuk. Ini mah gue plis banget sumpah." pinta Esa sekali lagi. "Kita harus menciptakan sejarah guys!" ungkap Esa masih berusaha meyakinkan keduanya.

"Dih? Nilai ujian lo tuh bersejarah. Matematika dapet nol." celetuk Dion.

"Anjir gak usah dibahas lagi bisa gak??"

Ketiganya masih sibuk menjatuhkan satu sama lain, sampai bel tanda istirahat berakhir bunyi. Sambil berjalan ke kelas, ketiganya masih ribu-ribut soal band yang ingin dibuat oleh Esa.

"Nanti latihan mah sewa studio aja, paling berapa sih kan bisa patungan." rinci Esa membuka catatan berisi daftar penyewaan studio untuk berlatih band.

"Kita juga bisa- eh, ngomong-ngomong gue mau jadi gitaris aja deh. Lu bass, lu Dion pegang drum ya?"

"Hah? Drum?" Dion hendrak protes.

"Gue gak

"Yan, lu jago gitar, jadi gitaris aja deh. Ntar gue bass, nah si Dion jadi drummer. Gimana? Jadi band kita!" tutur Esa gembira.

Di kepalanya, bayang-bayang ketenaran sudah ada didepan mata, jadi ia mau merealisasikan.

"Kenapa sih tiba-tiba banget?"

"Gak tiba-tiba tuh?"

"Masa sih? Bukan karena tadi malem habis nonton The Grandsons, kan? Pengen saingan sama abang lu, Sa?"

"Hmmm bukan sih. Abang gue kan bukan gue, jadi beda. Gak perlu ngerasa tersaingi. Iri tanda tak mampu. Gue udah pengen punya band sendiri dari lama. Perasaan gue pernah bilang ke lu semua deh."

"Iya itu lo bilang pas sebelum gue dikontrak sama The Heaven ya. Trus malah lu gak mau gerak walaupun udah bilang pengen punya band." sindir Tian.

"Yaaa sorry-lah." nada suara Esa berubah. "Gue kan mempertimbangan banyak hal, Yan. Kayak genre lagu, musik, nama band dan lain-lain.

"Trus udah ketemu belum nama bandnya?" tanya Dion. "gue nanya cuma karena kepo. Bukan karena pengen join band lo, ya."

"Iya Yon, Yan. sorry banget kalau gue cuma banyak bacot gak banyak action. Sejujurnya gue gak tau harus mulai darimana." Jawaban Esa membuat TIan melunak.

"Santai bro, jangan dipikirin, sorry banget kalo gue ngomong suka ga mikir." Jawab Tian.

"Gue gak bisa main alat musik selain gitar." ucapan Dion yang tiba-tiba ketika sedang hening, membuat Esa dan Tian otomatis menoleh ke arah sumber suara tersebut.

"Sumpah lo, Yon?" pertanyaan retorik itu direspon serius oleh Esa dan Tian. "WAH gue harus cariin lu guru buat lo deh."

"Gaya banget lo, punya duit?"

"Gue miskin tapi sombong. Alias bergaya aja dulu nyewa guru buat lo kursus ngedrum." respon Esa.

"Lo aja sih Sa, yang jadi drummer. Biar Dion main gitar, gue jadi bagian akustik juga gapapa." Tian menengahi. "

"Gak mau, ntar disindir abang gue. Dia kan juga jadi drummer di band nya. Itu sih namanya gue follow his footprint dong kalau kayak gitu."

"Yaudah deh kalo gitu. Lu cari aja yang udah bisa ngedrum di sekolahan ini. Masa sih gaada, ya kan?"

"Lu juga bukannya bisa main drum ya, Yan?"

"Pernah les, tapi gak dilanjut. Sekarang bisanya main gitar aja."

"Ah elah. Masa gue harus jadi drummer sih? Lu aja Yon les drum dulu gak masalah. Band nya belum mau debut kok. Gue yang ajarin dah! Yuk sekarang ke studio buat nyewa tempat latihan!"

**

"Yah anjir tutup semua ini tiga studio. Dasar search engine gak guna. Di maps semuanya bilang buka anjir. Ini malah gak ada yang buka!" Esa yang kesal melampiaskannya dengan misuh-misuh dengan bahasa sampah.

"Santai kali, Sa. Besok cari lagi studio lain kalau semua yang ada di list buku lu ternyata zonk." Ucapan Tian membuat Esa sedikit tenang. Tapi masih khawatir mengenai band yang bahkan belum ada namanya ini.

"Lu kenapa sih pengen banget tiba-tiba serius sama band? Gak mungkin soal uang, soalnya keluarga lo hoki tahun ini lagi bagus." Dion bertanya sambil tangannya terlipat di dada.

"Hmm.. ya pokoknya gue mau punya band! Ayo kita cari studio latihan. The Heaven aja kali ya? Siapa tau ada ruangan khusus studio kecil gitu? Yan di The Heaven bisa gak?"

"The Heaven bukannya sore kayak PRJ, jangan ngada-ngada deh. Itu jam kerja gue juga, Sa."

"Sorry guys, gue gak ikut ke The Heaven dulu ya." pamit Dion. "Ada urusan sama bokap. Udah di jemput juga."

"Naik limusin?"

"Ya anjir, gue gak sekaya itu buat beli limusin."

"Yaaa kannn, gak tau, siapa tau kayak raffatar.."

"Sorry banget guys, ntar gue les drum sendiri deh, kalau kalian ke the heaven buat latihan!" jabar Dion tanpa menggubris ucapan Esa dan tampak terburu-buru.

Ketiganya berpisah di pertigaan depan. Esa dan Tian. akhirnya benar-benar datang ke The Heaven, Kafe tempat Esa bekerja sebagai pengiring musik dan barista.

Harusnya The Heaven belum buka, seperti informasi yang didapatkan dari Tian. Tapi siang itu pintu the heaven itu terlihat terbuka dan keduanya masuk ke tempat tersebut dan terkejut melihat Arka sedang memainkan piano putih di depan nya.

Arkana Dewangga yang jadi putra legendaris ekskul palang merah ini sedang bermain piano di kafe The Heaven!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro