Bab 1 (bagian 2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dulu, sebelum menikah, kamar Ayudia berada di samping ranjang orang tuanya yang hanya disekat triplek tipis. Tapi karena sekarang sudah menikah, kamarnya sudah berpindah ke lantai dua.

"Kita ke kamar tengah aja, ya?" Ibunya memberikan saran. Toh di sana pun masih ada ranjang dan kipas kecil sekadar penghilang keringat kala siang.

Ayudia mengangguk setuju.

Perempuan baya itu setelah mendudukan putrinya di atas ranjang berukuran kecil, beliau berjalan ke lantai dua. Di sana matanya bergerilya mencari tas besar untuk segera dibawa ke dokter kandungan. Dari ekspresi wajah putrinya, dia mungkin sedang merasakan pembukaan satu atau dua. Masih aman untuk mengecek perlengkapan alat tempur persiapan persalinan di klinik.

Tas besar itu berada di samping ranjang. Di dalamnya terdapat beberapa lembar baju bayi, popok sekali pakai, kain panjang tiga helai, baju menyusui dan peralatan lain. Dinilai sudah lengkap, Bu Hidayati kembali berjalan ke bawah. Sesekali beliau menelepon suami dan menantunya yang belum juga mengangkat telepon sejak tadi.

Akhirnya, Pak Hanafi--ayah Ayudia mengangkat panggilan itu. Beliau setelah selesai mengajar akan segera menyusul ke klinik. Sedang Benny tak kunjung bisa dihubungi. Sejak semalam dia tak pulang ke rumah. Entah nongkrong sampai pagi bersama temannya di pinggir jalan atau yang lainnya. Keluarga Ayudia sudah tak aneh dengan kelakuan menantunya.

Sambil menutup warung dan membantu Ayudia berganti kostum, Bu Hidayati membawa bekal nasi dan lauk pauk seadanya di dapur. Kebetulan mereka berdua belum makan siang kali ini.

"Mau makan di sini, Yu?" tanya ibunya sambil mengelus perut besar milik putrinya.

Ayudia menggeleng dengan tatapan kesakitan.

"Ng-nggak, Bu," jawabnya.

Dia sudah selesai berganti baju dengan asal. Tinggal memakai kerudung, mereka siap berangkat ke klinik mengendarai motor matik milik ibunya yang setiap hari dipakai untuk bolak-balik ke pasar guna berbelanja.

Perjalanan menuju klinik persalinan jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit. Tapi, karena ini jam istirahat makan siang jalanan agak ramai. Ayudia di jok belakang memeluk ibunya dengan tangan agak gemetar karena menahan kontraksi hebat.

"Sabar ya, Yu. Semoga Ben--"

"Udah ah, Bu. Nggak usah ngeharap dia lagi!" Nada Ayudia di belakang agak tinggi.

Ibunya paham jika anaknya tak suka jika Benny terus dibahas. Dia memang bukan suami yang pantas untuk diharapkan kedatangannya. 

Sesampainya di klinik, Ayudia berjalan ke resepsionis untuk mendaftar.

"Antrian ke dua puluh lima ya, Bu," ucap resepsionis itu dengan nada sibuk.

Tangannya sibuk menuliskan apa pun di atas kertas biru garis-garis berbentuk persegi panjang lalu menyelipkan kertas dengan nama Ayudia paling bawah. Tapi, tangannya sigap menarik kembali kertas itu.

"Hm, keluhannya apa?" tanyanya dengan dua bola mata mengarah pada kornea Ayudia. Hampir seluruh wajah si resepsionis tertutupi masker, tapi matanya masih mampu menangkap kecemasan sang pasien nomor antrian dua puluh lima ini.

"Mules kayak kontraksi palsu, tapi ini beda. Makin ke sini makin sakit," jelas Ayudia dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Untuk menjelaskan hal ini pun dia harus menarik napas dalam-dalam agar resepsionis tak salah paham.

Dia terlihat mengangguk-angguk. Tak lama tubuhnya yang ramping berdiri dari kursi, berjalan cepat ke arah ruang dokter yang memiliki jarak sekitar lima meter dari meja resepsionis.

"Bu, kata dokter langsung masuk aja setelah pasien di dalam keluar, ya." Resepsionis itu duduk kembali dengan tenang. Membiarkan Ayudia bengong sendirian di sana.

***

Halo, halo, halo selamat sore.
Sebelum baca jangan lupa follow aku yaaa, Bestie ~
Aku penulis baru nih, btw. Jadi, follow-an kalian berarti banget 💛

Baca cerita baru aku ya, hehe
Oia, aku juga update di Karya Karsa lho, jangan lupa mampir.

Kalo sudah baca jangan pelit vote dan komennya, ya 😊📌

Salam,

Author

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro