14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab panjang. Kalau masih ga vote ama komen kebangetan. Ketauan medit, somsek, egois, super duper perlu dihujat sama penggemarnya Mal Sarina.

Eke doain jempolnya gudikan.

Yang di KK ama KBM lagi menunggu genderang perang, netizen lagi eksaitid apalagi perangnya sambil makan bakmi.

Cus ke sebelah buat yang ga sabar.

***

13 SCdHP

Hujan turun amat deras di hari Sabtu pagi sehingga membuat penghuni kamar tidur utama rumah Iqbal Al Hakim tidur makin nyenyak. Namun, tampaknya bukan hujan yang jadi penyebab dua insan berlainan jenis yang telah sah jadi suami istri tersebut makin pulas tidur, melainkan karena bantal yang selama ini menjadi pelindung dan pengganjal tubuhnya telah berhamburan ke sana ke mari. 

Gara -gara bantal itu juga, Yasinta yang merasa kedinginan memilih menelusup ke dalam selimut tebal. Saat itu, dia bahkan belum sadar ketika kemudian tangan dan kakinya malah membelit sosok berbadan kekar di sebelahnya yang ternyata jauh lebih hangat dibandingkan bantal-bantal yang selama ini selalu setia menemaninya.

Napas pria itu juga terasa hangat dan Yasinta merasakan hembusannya tepat di bibir dan gara-gara itu juga, kedua kelopak matanya langsung membuka dan dia seperti terkena serangan jantung mendadak sehingga ketika dia berusaha mundur dan menarik selimut, Yasinta memilih memegangi kedua pipinya yang tahu-tahu saja terasa hangat.

Dih, bibir bekas nyosor Putri Keraton, Yasinta bergidik. Dia sempat membenamkan wajah ke dalam selimut saat menyadari bahwa bibir mereka hampir bersentuhan tadi. Namun, gara-gara itu juga, dia sadar telah terbangun.

Jam berapa ini?

Yasinta beringsut mencari ponsel yang dia letakkan di bawah bantal. Walau Ruhi telah sering memperingatkannya, Yasinta tetap melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun. Sebelum ini, jauh dari ponsel saat tidur sendirian membuatnya kadang gelisah. Dia hampir selalu tidak bisa tidur sendirian, apalagi saat hujan. Kadang, suara panci jatuh tiba-tiba di dapur juga selalu membuatnya cemas. Bukan hantu yang dia takutkan, melainkan pencuri atau orang yang berniat jahat. Karena itu juga, dia kadang hampir tidak pernah tidur nyenyak, kecuali ketika tidur di rumah tante.

 Yasinta berhasil menemukan ponsel miliknya dan menyadari kalau hari itu masih pukul tiga subuh. Entah kenapa dia bangun jam segitu. Bisa jadi, Tuhan sedang menyadarkannya kalau dia berada di dalam dekapan pria yang tidak seharusnya dia miliki. 

Jangan aneh-aneh, dah. Apaan lo pake perasaan mau memiliki, pula? Kita, kan, cuma teman sekamar …

Yasinta menyadari kalau tadi malam dia menghabiskan sebagian besar waktu di rumah orang tuanya dengan menangis. Hakim dengan sabar menunggunya hingga tangis Yasinta reda dan mereka kembali ke rumah saling diam. Mereka cuma sempat bicara sedikit saat Yasinta menghabiskan makanan yang dibelikan oleh suaminya dan saat waktu tidur tiba, dia yakin saat itu Hakim izin ke luar kamar hendak mengangkat panggilan telepon dari rekan kerjanya.

Rekan kerja. Dia yakin telah melihat sebagian wajah Sarina di layar ponsel suaminya. Namun, Yasinta memilih untuk masa bodoh. Dia lebih memikirkan kondisi wajahnya yang kacau usai menangis dan akhirnya tidur dengan pulas tanpa mengingat apa-apa lagi. 

Hingga dia terbangun beberapa saat tadi. Yasinta merasa dia masih mengantuk, namun, melihat Hakim yang tidur di sebelahnya, tampak pulas dan lelah karena sepanjang sore terus menemaninya, Yasinta merasa amat bersalah. 

  Tadi malam dia cuma makan gorengan gara-gara gue. Mungkin, jadi bini lo adalah sebuah kutukan. Gue nggak bisa masak, ngomong selalu kasar, petakilan. Memang bener, lo cocok sama cewek yang lebih baik dan sopan.

Yasinta menghela napas. Orang-orang yang mendukung Sarina kadang merendahkannya tanpa belas kasih sama sekali dan dia memilih diam saat membaca pesan-pesan yang mampir ke kotak pesannya. Dia tahu, seperti kata Okta atau Ruhi, tidak perlu memasukkan semua omelan mereka ke hati. Tapi, Yasinta adalah manusia biasa dan mustahil kata-kata kasar tersebut tidak memiliki arti sama sekali kepadanya.

Awalnya, dia berpikir akan menonton tayangan drama Korea yang beberapa hari terakhir absen dia tonton. Namun, kemudian Yasinta teringat kalau dia harus mengisi berkas-berkas yang diperlukan untuk mengajukan surat izin belajar dan cuti di luar tanggungan negara, mengingat dia kuliah dengan biaya sendiri. Karena itu juga dia memutuskan untuk turun dari ranjang dan berjalan menuju ruang depan. Dia ingat sempat meletakkan berkas-berkas dan tas kerjanya di dekat ruang kerja Hakim. 

Yasinta berjalan membuka pintu kamar dengan perlahan dan kemudian dia bergegas mencari sekumpulan berkas yang telah dia ambil dari rumah di samping berkas kiriman dari Ruhi. setelah itu, dia duduk di sofa ruang tengah dan mulai memilah-milah bagian mana saja yang menurutnya penting dan mesti didahulukan. 
    
“Surat keterangan tugas belajar … “ Yasinta mulai mencari-cari susunan urutan keperluan cuti dan memusatkan pada daftar yang sudah dibuat oleh tantenya, “SK awal, surat persetujuan dari kepala SKPD … nah, yang ini mesti menghadap bos dulu.”

Untung masih ada waktu, pikir Yasinta. Entah bagaimana cara Ruhi mendapatkan satu tiket untuk keponakannya itu, namun, Yasinta merasa amat kagum. Sejak dulu, dia telah dimanjakan Ruhi dengan segala kebaikan dan amat salah rasanya jika dia tidak membalas kebaikan itu. Menyetujui pernikahan ini adalah satu-satunya cara yang dia bisa agar Ruhi masih memiliki kesempatan sebagai salah satu pewaris keluarga Akbar Hadi.

“Format surat tugas belajar ada di mana, ya? Kalau nggak salah gue sudah dapat dari BKD.” Yasinta menggumam. Dia meraih ponsel yang diletakkan di saku celana tidurnya dan cepat menyusuri perpesanan Whatsapp. Dia sudah membuat grup dengan Okta dan malangnya, baru lima menit grup tersebut dibuat, Okta langsung didepak. Ketika rekan kerjanya itu protes, Yasinta mengatakan kalau dia butuh satu anggota untuk grup baru yang isinya adalah hasil unggahan beberapa data penting Yasinta yang tidak bakal tenggelam di dalam ruang obrolan. 

“Ada-ada aja!” gerutu Okta ketika akhirnya dia ditunjukkan isi di dalam grup tersebut dan hingga detik ini, Yasinta tetap menggunakannya untuk mengumpulkan segala dokumen dalam bentuk doc, words, pdf, excel, atau sheets dan membukanya di aplikasi perkantoran. 

“Nah, ada. Gue tinggal kirim ke laptop.”

Laptop Yasinta juga berada di dekat situ. Dia telah menggunakannya sejak kuliah semester awal. Seharusnya, barang itu sudah tidak pantas lagi digunakan, namun, Yasinta amat menyayanginya. Laptop itu juga milik sang abang yang tidak bisa lagi menyelesaikan bangku kuliah. Bahkan, Yasinta sengaja tidak mengganti stiker di bagian cover depan laptop yang bergambarkan topeng Spiderman.

  Yasinta menyalakan laptop, menunggu hingga benda tersebut siap digunakan, dan kemudian dia memasangkan aplikasi Whatsapp web yang tersambung dengan ponsel miliknya. Beberapa file penting juga sudah dia transfer menggunakan aplikasi yang sama dan Yasinta tinggal mengunduhnya, memasukkan ke folder berjudul Drakor Tiket Masa Depanku yang terlihat amat misterius. 

Sesekali, dia juga memperhatikan kamar tempat suaminya masih terlelap dan dia bersyukur karena tidak ada suara dari dalam sana, tanda kalau Hakim masih nyenyak di dalam tidurnya. Yasinta kemudian menarik napas panjang dan setelah dia berhasil membuka halaman pengajuan tugas belajar, dia mulai mengetik.

Yang bertanda tangan di bawah ini 

Yasinta merasa tangannya sedikit bergetar ketika dia mulai menulis namanya sendiri dan juga menuliskan kata S2 yang di saat hari kematian Papa tidak bakal sanggup dia lakukan. Pusat dunianya, pria yang mengalirkan hampir seluruh darahnya telah pergi menemani keluarganya yang lain dan meninggalkan si tengah sendirian tanpa ada satu orang pun yang bisa melindunginya lagi.  

“Mbak, belajar, dong. Biar bisa jadi orang sukses.”

“Ma, buat apa Mbak sukses? Kita udah punya semuanya. Abang sudah kuliah dan sebentar lagi tamat. Abang yang bakal ambil alih perusahaan. Aku cuma perlu duduk santai, sambil jalan-jalan. Cari suami kaya, ganteng, dan sayang kalian.”

“Kenapa harus sayang kami? Bukannya kamu juga mesti di sayang?”

Dia ingat sekali, saat itu memilih menggelengkan kepala dalam sebuah sesi obrolan dengan sang bunda dan Yasinta menjawab sambil memeluk tubuh berisi sang ibu yang selalu harum vanila dan cake kesukaannya, “Saat dia sayang kalian, itu juga sudah lebih dari segalanya. Mbak disayang oleh Mama dan Papa dan itu sudah lebih dari cukup.”

Kini, setelah bertahun-tahun lewat, dia seperti ingin menertawakan dirinya sendiri. Yasinta Aurahana yang dikenal oleh keluarganya adalah gadis malas yang tidak pernah peduli dengan diri dan juga urusan perusahaan apalagi pendidikan. Dia bahkan ingat sekali, beberapa pembencinya yang juga pendukung Sarina merundungnya habis-habisan.

Dia lebih doyan nongkrong daripada belajar, ada foto dugemnya. 
Masak ASN dugem.

Semua anggota keluarganya mati. Jangan-jangan dia bawa sial. Kasian suaminya, bisa ikut-ikutan mati gara2 dia.

Yasinta memejamkan mata karena teringat tulisan-tulisan keji yang membuatnya hampir menutup akun. Hatinya masih merasakan kesal sampai akhirnya dia membuka mata lalu tanpa sadar memukul papan tuts. Ketika laptop yang dia pangku hampir meluncur mengenai lantai granit, barulah Yasinta sadar kalau dia telah melakuka hal gila.

“Ya ampun! Laptop Abang. Udah soak, makin nambah soak. Dasar Yasi bodoh.” Yasinta merutuk di dalam hati. Dia cepat-cepat mengambil laptop tersebut dan memeriksa kondisinya. Bisa gawat kalau laptop sang abang rusak. Bukan apa-apa. Ada banyak file penting bahkan, skripsi yang tidak kelar diselesaikan oleh kakak tertuanya itu karena keburu meninggal. Ada juga foto-foto lama yang entah sudah berapa ratus kali dia buka. Kadang, saat dia terbangun sendiri seperti ini, Yasinta akan memutar lagu dan membiarkan pemutar foto menampilkan kolase gambar dalam bentuk video, sehingga dia kadang merasa ditemani oleh semua anggota keluarganya.

“Gue kangen.” Yasinta menghela napas setelah dia akhirnya tidak tahan lagi. Matanya sudah basah dan kini, niat untuk melanjutkan mengisi surat izin belajar tertahan. Dia lebih memilih berguling di lantai yang dingin dan membiarkan air matanya luruh ketika dia dengan sadar, lagi-lagi memutar video keluarganya.

“Kalau sudah pagi, Mbak mampir ke makam, ya, Ma.”

Sungguh, dia tidak tahan lagi. Hampir dua bulan dia tidak mengunjungi mereka, bahkan saat hari raya Idul Adha kemarin. Yasinta memilih mogok dan membiarkan mulut Ruhi Karmila berbuih karena ajakannya tidak membuahkan hasil. Tapi, kali ini, dia akan pergi sendiri. Kakinya juga hampir sembuh dan dia tidak bakal kesulitan menyusuri makam keluarganya, orang-orang yang tidak pernah lelah mendukungnya di masa lalu.

***
Yasinta tiba di kompleks pemakaman keluarga Akbar Hadi, sebuah pemakaman wakaf keluarga yang kemudian juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk menjadi tempat peristirahatan terakhir anggota keluarga mereka yang telah lebih dulu menghadap yang maha kuasa. Namun, khusus untuk keluarga, terdapat kavling sendiri dan ketika dia berada di sana, Yasinta bisa melihat “rumah” bagi kakek dan juga keluarga intinya yang memilih meninggalkan Yasinta seorang diri.

Ralat, masih tersisa Ruhi sang tante. Tapi, dia tidak berharap wanita itu bakal ikut bergabung seperti yang lain. Meski begitu, dia sadar kalau semua orang pasti bakal mati.

“Tiga kali lebaran, emak nggak pulang-pulang, betah di kuburan ama Ayang Mbebnya.” Yasinta mulai bersenandung dengan nada Bang Toyib ketika dia mulai membersihkan kompleks makam keluarganya. Tidak ada yang kotor karena khusus untuk keluarga Akbar Hadi, ada petugas yang rajin membersihkan makam setiap hari Jumat.

“Emakku sayang yang nggak tahu diri, betah amat tidur di mari, ini anakmu bawa kembang dari pasar Rawa Belong. Yang sesuai rikues, paling murah dan paling segar se-Jakarta. Belinya jam setengah enam.”

Jika Okta berada di sebelahnya, wanita itu bakal memarahi Yasinta karena mengata-ngatai ibunya sendiri. Tapi, dia, kan, tidak salah bicara. Memang emaknya sudah bertahun-tahun tidur di kuburan.   

“Hai, Pa? Enak, ya, honeymoon terus sama bini.” Yasinta menyapa makam ayahnya. Dia tersenyum pelan dan meletakkan rangkaian bunga aster di pusara Taufik Diponegoro. Setelah itu, Yasinta menoleh ke arah sekeliling. Hampir tidak ada orang kecuali beberapa petugas makam. Ada yang sedang menggali dan dari situ dia menebak ada seseorang yang baru saja meninggal.

Padahal waktu baru menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh, masih terlalu pagi. Tapi, bila penguburan dilaksanakan sekitar pukul sepuluh, maka waktu yang tepat jika mereka mulai menggali dari sekarang.

“Percuma beli rumah segede gaban, tapi akhirnya yang ditinggali cuma ukuran dua kali satu, ya, Pa?” Yasinta mengusap permukaan nisan yang bertuliskan nama sang papa. Dia mencoba tersenyum lagi. Tidak ada perasaan takut seperti saat dia melihat makam yang berada di samping rumah Okta. Toh, saat ini dia berada bersama dengan keluarganya.

“Abang sama Adek lagi apa di sana? Nggak ngecengin Neng Poci atau Mbak Kun, kan?”

Yasinta menelan ludah dan merasa kalau kalimatnya agak berlebihan pagi hari itu. Dia cepat-cepat mengucap istighfar dan mengalihkan topik pembicaraan meski amat tahu, semua anggota keluarganya tidak ada yang bakal peduli sama sekali.

“Ehm, Pa, Mbak udah nikah. Sama anaknya Om Dian. Tuh, tetangga seberang kuburan Papa. lucu, ya. Masak kayak lagu, besan lima langkah. Duh, konyol.” Yasinta tertawa sendiri. 

Sebenarnya, dia tidak benar-benar sendiri. Pak Didin menunggunya di parkiran. Pria gaek itu memberikan Yasinta kesempatan untuk bersama keluarganya. Lagipula, hal ini bukan satu atau dua kali dia lakukan. Dulu, sebelum menikah dan awal-awal lulus menjadi PNS, Yasinta sering mampir. Seiring dengan sibuknya pekerjaan di kantor, dia jadi jarang mampir dan seperti hari ini, setelah sekian lama dia akhirnya bisa kembali menyambangi keluarganya. 

“Tapi, jangan ngarep aneh-aneh, ya, apalagi minta cucu. Soalnya …” Yasinta menggaruk tengkuk, berusaha merangkai kata saat dia seharusnya mengatakan hal lain. Dia sudah berjanji tidak akan terbawa perasaan ketika mengucapkan hal tersebut. Hakim, Sarina, seperti iklan yang numpang lewat di dalam hidupnya. Dia sudah menetapkan kalau suaminya hanyalah seperti teman sekamar atau teman satu kost di dalam drama kesukaan yang sering dia tonton. Fokus kedatangannya pagi itu bukan untuk membahas Iqbal Al Hakim.

“Ada kabar bagus, deh.” Yasinta kini berdiri dan membuka tutup botol air mineral yang sengaja dia bawa dari rumah untuk membersihkan permukaan nisan orang tuanya. 

“Jadi, setelah nikah, Tante kasih hadiah, sebenarnya biasa aja buat beliau, tapi, mengingat yang dikasih kado itu adalah aku, kalian bakal terkejut. Aku dikasih kado S2.” 

Yasinta mengucapkannya dengan nada penuh semangat, seperti dia sedang bercerita dengan ibunya sendiri dan hal tersebut tidaklah salah. Semua orang yang mengenalnya bakal sangat terkejut karena dia akhirnya mau kuliah dengan kesadarannya sendiri.

Memilih jalur perpustakaan adalah hal yang paling tidak disangka dan dulu jika ditanya alasannya adalah karena dia tidak mau capek berhitung, bicara, atau sibuk menjadi budak korporat. Buku adalah atasannya yang paling baik dan ramah meski kadang dia harus bersin sesekali. 

“Waktu lulus kuliah, Mama, Abang, sama Adek ninggalin aku. Pas aku lulus PNS, Papa yang pergi.” Yasinta tahu-tahu saja mengusap air mata di pipi kanan dengan punggung tangan. Dia tidak tahu mengapa jadi makin cengeng dalam suasana di hari sepagi ini. 

“Kemarin, pas aku nikah, bapak emakku milih tidur di kuburan, mampir sebentar buat kasih restu ke anaknya aja ogah. Peluk cium aku, kek, aku juga mau sungkeman kayak orang lain di pernikahan mereka. Kalian tahu? Aku ketiban bocah di perpus dan kakiku diperban dua minggu, tapi aku nggak ngadu. Aku masih kuat.”

Kali ini, Yasinta memilih tertawa, walau air matanya menetes-netes hingga mengenai pinggiran nisan milik sang ayah, kalau tidak mengadu, disebut apa yang saat ini dia lakukan?

“Padahal, aku tuh nggak doyan belajar. Papa tahu, kan? Malesnya aku, sudah tingkat dewa. Aku mau ambil S2 udah hebat banget. Di sana mau ketemu Lee Min Hoo, Kim So Hyun … “ Yasinta menoleh ke arah makam ibunya, tapi, seperti biasa dia tidak mendapat respon sehingga yang dia lakukan adalah mencoba duduk di pinggir nisan dan menghapus air matanya.

“Aku ke sini mau pamer. Gaji 13, ku, rencananya mau aku beliin gitar listrik buat adek, terus sisa THR aku nggak beli baju lebaran, Ma. aku pakai baju Mama. Duitnya masih ada, aku mau beliin Mama gelang emas… sama sendal kulit buat Papa. Dari duit gajiku …” Yasinta berhenti bicara. Dia merasa wajahnya basah kuyup karena air mata dan hidungnya mampet tiba-tiba sehingga harus bernapas menggunakan mulut. Rasanya amat buruk sehingga dia sempat berpikir untuk menutup mulutnya saja dan berhenti bernapas supaya bisa ikut tidur di sebelah makam orang tuanya, untuk selamanya. Tapi, dia tahu, keluarganya tidak bakal suka. 

“Aku nggak bisa pamer, Ma, Nggak bisa pamerin prestasiku sama kalian. Nggak bisa kayak anak orang lain yang kalau salat Ied, bareng mamanya, foto berdua pakai mukena, posting di WA, aku nggak bisa. Apa yang mau aku pamerin? Aku mau bikin kalian bangga karena bisa lulus PNS dengan usahaku sendiri, mau kuliah lagi walau otakku nggak sepintar anak orang. Aku mau buktikan, si malas ini juga bisa diandalkan. Tapi, masak, waktu aku wisuda sama nikah, cuma pegang pigura isi foto kalian? Aku kerja buat apa kalau nggak ada yang kukasih?” 

Yasinta tidak tahan lagi. Dia menangkup wajah dengan kedua tangan dan terisak-isak sendiri. Tidak lama, dia mengusap air mata dengan lengan baju.

"Bodoh banget gue nangis di sini. Nggak bakal ada yang peduli juga. Emak Bapak juga enak-enakan tidur di sana. Kalian nongkrong bareng tanpa aku … "

Yasinta menengadah dan mengerjap beberapa kali sambil menertawai diri mengapa dia melakukan hal konyol seperti barusan. Niat pertama yang ingin dia lakukan ketika tiba di sini adalah memberi laporan kalau dirinya bakal melanjutkan sekolah. Entah kenapa, air matanya malah jatuh bercucuran seperti banjir bandang. Dia tidak sedang PMS dan suasana hatinya seharusnya sedang senang. 

"Kamu nggak bilang mau ke sini. Coba kalau ngomong, kita bisa bareng." 

Suara Hakim yang tahu-tahu terdengar di tengah kuburan membuat Yasinta amat kaget dan hampir menyangka kalau pria berjaket rajutan berwarna abu-abu serta memakai sandal jepit tersebut adalah genderuwo. Namun, Om Wowo tidak bakal nongol dengan dandanan seperti Oppa Korea, melainkan dengan kolor dan "mambu" aneh. Lagipula, dia sangsi, gondoruwo mau memakai parfum menyengat di hari sepagi ini. Hakim adalah salah satu pria aneh yang harus wangi bila keluar rumah sekali pun dia belum mandi.

"Lo ngapain ke sini?" Yasinta berdiri dan menatap Hakim dengan wajah ketakutan. Sungguh, selama hampir tiga minggu hidup bersama suaminya, dia tidak percaya Hakim bakal mengetahui posisinya saat ini. Dia amat yakin, tadi sewaktu berangkat, suaminya masih tidur. 

"Nyari bini yang hilang." Hakim tersenyum. Dia sempat menoleh ke makam ayahnya dan mengusap permukaan nisan Rahadian Hadi dengan tatapan rindu. Yasinta yang melihatnya segera memalingkan wajah dan cepat-cepat menghapus air mata. Didatangi oleh Hakim tidak termasuk dalam agendanya pagi ini. 

"Bini lo masih melingkar di istananya, kali." Yasinta membalas, berharap Hakim mengerti maksud ucapannya. Dia bukanlah wanita yang sebetulnya diharapkan oleh pria itu untuk menemaninya sampai akhir hayat dan Yasinta juga tidak punya keinginan yang sama, jadi mereka klop untuk urusan tersebut.

"Soal itu, kamu pasti sudah tahu kalau kami putus." Hakim menjawab sambil mengusap tengkuk.

"Emang boleh bahas pacaran di depan kuburan bapak lo?" Yasinta berkacak pinggang. Dia berharap Hakim tidak melihat kalau tadi dirinya menangis. Dia sudah sering melihat wajahnya usai menonton adegan puncak drama korea favoritnya dan Yasinta amat malu memperhatikan wajahnya sendiri setiap kelar menangis. 

"Boleh-boleh aja. Sekalian juga ngasih tahu Ayah, kalau yang nangis-nangis tadi adalah menantunya."

Yasinta memicingkan mata dan berharap bisa melempar kepala Hakim dengan sandal. Baru saja dia berharap pria itu tuli, eh, ternyata Hakim langsung menembak ke arah kepala Yasinta dengan mengatakan kalau dia melihat istrinya menangis.

"Itu bukan urusan lo, ngintipin orang lagi ngapain di kuburan keluarganya." 

Hakim, seperti tadi, kembali memilih tersenyum saat dia berjalan mendekati Yasinta yang pagi itu mengenakan selendang putih, senada dengan celana panjang berbahan skuba tebal yang dikenakannya. Dia memakai kaca mata hitam yang dilihat dari mana saja tidak bisa menyembunyikan matanya yang bengkak dan merah.

“Keluargaku juga.” Hakim berdiri di sebelah Yasinta dan memandang tumpukan bunga segar yang dibeli Yasinta di pasar bunga. Tadi, dia juga melihat satu di pusara ayahnya dan hal tersebut membuat Hakim tersenyum.

“Keluarga apaan. Gue sampai sekarang masih status gadis di daftar gaji,” Yasinta menatap pongah ke arah suaminya. Sama sekali dia tidak memiliki keinginan untuk menyertakan nama Hakim ke dalam urusan administrasi pekerjaannya. Suatu hari, pria itu akan meninggalkannya demi Sarina dan dia tidak mau repot-repot mengeluarkan nama Hakim. 

Jangan bikin repot. Pekerjaan gue nggak membiarkan pegawainya main-main sama pernikahan dengan mudah, supaya mereka pikir-pikir seribu kali kalau mau pisah. 

“Besok Senin kita urus.” Hakim memberi ide yang jelas sekali ditolak mentah-mentah oleh Yasinta dan dengan segera dia membalas, “Oh, gue rencananya mau masukkin nama Oppa Kim So …”

“Oppa Hakim lebih cocok.” Hakim nyengir walau sebenarnya dia tidak paham akan panggilan tersebut, namun, Yasinta menggeleng, dengan amat kuat sebagai respon.

“Jangan sembarangan. Lo nggak cocok jadi Oppa-Oppa. Sudah benar lo dipanggil Ayang sama cewek lo.”

“Stop.” Hakim memberi tanda agar Yasinta berhenti membicarakan Sarina yang kemudian berhasil membuat wanita itu tutup mulut dan Yasinta sendiri kemudian memutuskan untuk menutup kembali botol air kemasan yang isinya sudah dia tuang ke empat makam di hadapannya. Sudah tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Sesi curhat telah usai begitu Hakim muncul dan mengajaknya bicara. Dan kini, tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka berdua begitu Hakim memintanya tidak membahas Sarina.

Sejujurnya, bila bersama pria itu, dia tidak tahu hendak membahas apa. Akhir-akhir ini, Yasinta lebih suka mengamati semuanya dalam diam dan melaporkan hampir semua yang dia lihat kepada Ruhi. jika tugasnya telah selesai, dia memilih memeriksa pekerjaannya yang belum selesai di kantor, karena dengan cara itu dia bisa merasa cepat lelah dan mengantuk.

“Sudah mau pulang? Kamu sudah sarapan?”

“Tadi sudah beli kue di pasar.” Yasinta berjalan dengan hati-hati ketika menuju ke ara paving blok yang akan membawanya kembali ke parkiran mobil. Hakim sudah menawari untuk membawakan kantong sampah yang tadi dipegang oleh Yasinta, namun, istrinya menolak.  

“Kamu ke pasar?”

“Beli bunga. Mak gue nggak suka beli di florist, mahal. Jadi sekalian tadi ke pasar.”

Hakim hampir saja berhenti melangkah, akan tetapi, dia memutuskan untuk tetap mengikuti Yasinta yang sepertinya tidak peduli sama sekali kalau suaminya telah menyusul hingga ke pemakaman demi mencarinya.

“Hati-hati melangkah. Kakimu belum sembuh betul.”

Yasinta memejamkan mata. Rasanya seperti menonton drama yang dia lupa judulnya. Si pemeran utama pria punya wanita lain dan dia juga punya istri. Masalahnya, dia berbuat baik karena ada udang di balik batu, dan udang itu adalah racun. Yasinta ingat sekali kalau pemeran wanita itu mati diracun oleh suaminya dan mengingat mereka punya kekuatan hampir sama sebagai pemegang saham di perusahaan milk Akbar Hadi, dia sangsi Hakim tidak memiliki niat tersebut.

“Jangan peduli, bisa, nggak?” Yasinta berbalik dan menunjuk wajah Hakim dengan telunjuk kiri. Perasaannya sedang kacau balau dan dia tidak mau terbawa perasaan karena perhatian pria yang tidak benar-benar menaruh hati padanya. Lagipula, dia masih memiliki misi untuk pergi ke Korea dan menata hidupnya agar sedikit teratur. Hakim, bukan bagian yang dia harap untuk bisa merusak semua rencana indah yang telah dia susun baik-baik.

“Maksudmu apa?” Hakim menatap bengong, “Aku cuma khawatir dengan kakimu.”

“Nggak perlu. Gue sudah punya Pak Didin. Lo pulang aja sendiri, nggak perlu cari gue lagi. Tante udah gaji dia buat bawa gue ke mana aja.”

“Sayangnya, wanita yang pergi tanpa izin suaminya adalah wanita yang tidak patuh dan kamu juga punya aku, yang dilahirkan khusus dari rahim ibu mertuamu buat melayani bininya ke mana aja.” 

Hakim berjalan mendekat, tidak memberi kesempatan kepada Yasinta untuk sekadar protes, lalu meraih jemari kanannya dan membawa sang nyonya pergi dari tempat itu tanpa banyak basa-basi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro