03. Kenangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kamis, 10 Desember. 19.35 WITA

.

Makan malam bersama tidak selalu terjadi di keluarga kami. Kedua orangtuaku bekerja, Papa kadang lembur, Mama bekerja shift di sebuah klinik bersalin. Kadang, makan malam hanya terdiri dari aku dan Laura. Atau hanya aku, karena Laura akan sibuk di luar bersama teman-temannya yang lain, atau cowok-cowok yang berusaha mendekatinya.

Malam ini menjadi salah satu dari malam-malam yang jarang terjadi itu. Kami berempat berkumpul bersama, mengelilingi meja persegi panjang dengan sepiring cumi asam manis yang dibeli di perjalanan pulang, dua potong ayam goreng tepung, serta semangkuk besar mi instan kuah rasa Soto Banjar Limau Kuit yang kumasak dengan ditambah telur.

"Hari ini masih latihan?" Papa bertanya di sela kunyahannya, pertanyaan yang tentu bukan dialamatkan padaku.

Aku meneruskan menyantap cumi di piringku sementara Laura harus meneguk makanannya sebelum menjawab pertanyaan itu. "Iya, dong, Pa. Latihan terus sampai dua hari sebelum hari H. Habis itu gladi resik."

Laura tergabung dalam kelompok paduan suara yang akan tampil untuk acara HUT sekolah minggu depan. Papa dan Mama berjanji akan datang untuk melihat penampilannya, mereka terlihat gembira.

Sementara aku? Bukan apa-apa.

Aku pandai dalam pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tetapi nilai matematikaku biasa saja dan ranking dua atau tiga di kelas bukan sesuatu yang bisa dibangga-banggakan amat. Laura sebaliknya, rapornya tidak lebih baik bagitu. Tetapi ia selalu bisa tetap berada di sepuluh besar sementara dirinya juga aktif di luar pelajaran. Ia ikut OSIS an mendapat banyak teman di sana. Ia juga sempat menjadi anggota paskibra yang mengibarkan bendera sekabupaten, ikut paduan suara mewakili sekolah, serta memenangkan lomba debat. Piala-piala yang berhasil ia raih bersusun rapi di lemari di ruang tamu.

Milikku? Tidak ada.

Aku hanya mendengarkan obrolan mereka sambil menekankan kepada diri sendiri bahwa ... tidak apa-apa menjadi diriku sendiri dan bukannya seperti Laura.

"Bagus itu," Mama berkomentar. "Kamu juga harus ikut-ikut ekskul begitu kayak Rara, Na. Kamu kan kebanyakan di rumah. Banyak-banyakin temen juga, kayak Rara."

"Banyak temen juga buat apa," aku menyuap nasi ke mulut hingga penuh. Setidaknya membuatku punya alasan untuk tidak menjawab selama beberapa menit ke depan.

"Biar kamu punya keahlian, koneksi, bukan cuma belajar aja."

Kediaman terjadi di meja itu kemudian. Aku mengunyah nasiku dengan lambat demi mengulur waktu. Meski sebenarya, perutku tiba-tiba terasa penuh dan aku tidak lagi mengenali rasa lapar.

Hanya Papa, yang kemudian memecah keheningan singkat itu.

"Eh iya, besok ulang tahun kalian, mau hadiah apa?"

Aku belum memikirkannya. Sebenarnya, aku bahkan lupa tentang hari itu, atau apakah hari itu penting. Bukan aku yang meminta dilahirkan ke dunia, jadi kenapa harus dirayakan?

"Aku mau sepatu baruuu," rengek Laura seketika. "Boleh nggak, Pa?"

Papa mengernyit sebentar. "Loh, sepatu kamu kan banyak."

"Sepatu sekolah. Aku maunya sepatu buat jalan, yang warna pink! Aku liat koleksi terbaru Polla Polly bagus deh, Pa! Mau yang Raya Pink."

Tanganku terhenti di udara, aku menaruh sendok kembali ke piring tanpa suara, tanpa disadari siapapun. Merk itu ... aku mengenalinya. Amat mengenalinya.

"Mahal?" tanya Papa sembari mengunyah dan menyipitkan mata. Mungkin dia sudah tahu, kebiasaan Laura yang jika terus dituruti, akan menguras isi dompet.

"Nggak juga, Pa. Cuma 800 ribuan kok. Worth it, lah karena emang cantik bentuknya! Boleh, ya? Boleh, ya?"

"Mahal banget sepatu doang. Kalau dibeliin sendal jepit bisa buat kios sendal."

"Ya beda dong, Pa. Sepatu segitu nggak terlalu mahal kok. Boleh, ya? Boleh, ya?" rengeknya lagi. Aku bahkan melihat matanya seakan nyaris berair ketika ia memohon. Dan ketika jurusnya tidak terlalu berhasil, Laura mulai membujuk Mama. "Boleh ya, Ma? Kan ulang tahun Rara, lagian udah lama banget nggak beli sepatu. Ya? Ya? Ya ya ya?"

"Iya," kata Papa, luluh setelah dua menit. "Tapi kamu harus sukes penampilannya sama ranking semester ini harus masuk lima besar."

Seketika, Laura memeluk lengan Papa, matanya berbinar-binar. "Yay! Makasih, Pa. Papa memang yang terbaik!"

Lalu kembaranku itu terus menceritakan seperti apa sepatu yang diinginkannya. Salah satu koleksi Polla Polly dengan warna pink lembut yang mendekati peach, ada bunga-bunga kecil berwarna serupa di kedua sisinya, tidak menyolok. Itu bukan gaya Laura. Gaya Laura adalah Balenciaga dan Adidas, atau sepatu dengan heels dan kerlap-kerlip yang cocok untuk ke pesta. Gaya Laura adalah warna-warni, penampilan yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Apa yang membuat dia tiba-tiba menginginkan sepatu itu?

Sementara, koleksi itu ... aku menginginkannya. Aku menyimpan fotonya di ponselku. Aku mengatakan pada Laura, aku sedang menabung untuk membeli sepatu itu. Tabunganku hampir cukup sekarang.

Apakah dia menginginkannya hanya karena aku menginginkannya? Apa dia terobsesi dengan apa-apa yang kusukai?

"Kalau gitu Nana nanti nyusul ya," kata Papa setelah beberapa saat. "Uang Papa cuma cukup buat beli sepasang sepatu."

Tidak ada pilihan lain bagiku selain mengangguk dalam diam. Aku menahan diri untuk mengikuti makan malam hingga akhir, meski mempercepatnya dengan buru-buru menghabiskan makanannku, tanpa menyentuh salad buah yang juga dibeli mama sepulang kerja

Tidak ada lagi yang ingat untuk menanyakan apa yang kuinginkan untuk ulang tahun, atau apa yang sebenarnya kuinginkan. Di meja itu, meskipun dikelilingi orang-orang terdekat, meskipun bersama keluarga sendiri, aku merasa ... kesepian.

***

"Mama punya hadiah buat kalian. Tadaaa~"

Kenangan pertamaku, anehnya adalah tentang gaun. Dua buah gaun putri yang cantik, identik. Hadiah untuk ulang tahun kami yang ke-5. Satunya berwarna merah jambu dan satunya kuning. Aku dan Laura, sama-sama menyerbu yang merah jambu.

"Punyaku!"

"Punya Lala! Lala mau yang pink!"

"Kamu udah punya banyak yang pink!"

"Nggak mau! Pokoknya yang pink!"

Lalu, sebelum gaun itu robek, Mama telah memisahkan kami. Ia membiarkan Laura gaun yang merah jambu, lalu berjongkok padaku, mengusap rambutku.

"Nana," ujar Mama, lembut. Aku bersungut-sungut. "Nana pake baju yang kuning, ya? Kan baju Nana biasanya warna kuning."

"Tapi Nana mau yang pink!"

"Yaudah, lain kali, Nana yang pink, ya."

Aku tahu tidak akan ada lain kali. Mama selalu bilang begitu, nanti, nanti. Dan nanti pula, Laura akan merebutnya dariku.

"Kenapa Nana nggak boleh pake yang pink?!"

"Karena punya Lala kan warna pink. Kalau sama, nanti ketuker. Nana nggak mau ketuker, kan?"

Selalu menjadi pertanyaanku, kenapa anak kembar harus selalu memakai baju yang sama dengan warna berbeda? Setiap kali Mama mendandani kami, Laura dengan pita pink di rmabutnya dan aku dengan warna kuning, lalu memamerkannya pada kerabat atau tetangga, aku tidak pernah menyukainya.

Orang-orang itu lebih menyukai Laura. Aku tidak buruk, sungguh. Pada pertemuan pertama, orang-orang akan mengatakan aku cantik. Tetapi setiap melihat Laura, semua orang selalu teralih ke arahnya. Dia punya bulu mata yang lebih panjang, mata yang lebih cerah, dan rambut ikal seperti boneka. Rambutku lurus dan tebal, seperti sapu ijuk. Dia memakai baju pink dan aku tidak.

Dan bahkan, hingga sekarang, baju berwarna pink itu tidak pernah menjadi milikku.

Dan aku ... selalu suka warna pink. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro