Chapter 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pertemuan pertama kita hanya beberapa detik ....

.

.

.

~♡~♡~♡~♡~♡~♡~♡~♡~

SECOND - DIFFRENCE

Akabane Karma × Reader

~♡~♡~♡~♡~♡~♡~♡~♡~

.

.

.

Bagi beberapa anak kecil, bermain bersama dengan teman-temannya di luar sambil bercanda-ria merupakan kesenangan yang tak dapat mereka dapatkan di rumah. Ada juga anak-anak yang duduk manis di rumah sambil menikmati dunianya sendiri.

Namun, ada juga anak-anak yang terpaksa menuruti kedua orang tuanya, seperti anak yang dikurung di rumah padahal ingin bermain bersama teman-temannya di luar atau sebaliknya.

Gadis mungil bermahkota [Hair Colour] termasuk dalam golongan ketiga. Niat hati ingin kencan dengan kasur barunya guna menghilangkan kantuk akibat dibangunkan jam 4 pagi tadi. Sayang 'Okaa-sama' tercintanya tidak merestui. Hingga akhirnya ia diusir--diminta keluar--dari rumah dan mencari teman baru.

"Ini pasti sulit," guman (Name) sambil menghela nafas panjang. Iris [Eyes Colour]-nya menatap satu per satu objek yang berada di depan matanya.

Beberapa anak seusianya berlarian kian kemari sambil tertawa, menikmati setiap permainan yang ada di sana. Perosotan dipenuhi oleh anak laki-laki, ayunan dikelilingi oleh anak perempuan, dan berapa permainan lain dimainkan oleh anak laki-laki dan perempuan. Mereka tampak bermain dengan gembira, namun (Name) menyadari sesuatu.

"Mereka bermain secara kelompok."

Tidak, itu bukan (Name). Seketika perhatiannya langsung tertuju kepada anak laki-laki bersurai crimson yang tengah memandangi anak-anak bermain.

"Siapa kau?" tanya (Name) sambil menatap anak laki-laki itu penuh selidik. Ia ingat sekali jika beberapa detik yang lalu tak ada satu pun orang di sebelahnya.

"Aku? Apa kau tidak tau aku?" tanya balik anak laki-laki itu sambil menaikkan sebelah bibirnya.

"Tidak," jawab (Name) singkat sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku ada--"

"(Name)-chan!"

Sebuah teriakan menggelegar memotong perkatan anak laki-laki bermahkota merah darah itu. Sontak dua insan itu langsung menoleh ke sumber suara.

"Kia? Apa yang kau lakukan di sini?!"  pekik (Name) sambil merentangkan kedua tangannya meminta pelaku teriakan memeluknya. Tanpa jawaban anak perempuan bernama Kia itu langsung menubruk tubuh (Name) hingga oleng, untungnya ia masih bisa menjaga keseimbangan.

Mereka saling berpelukan. Menyalurkan rasa rindu akibat tidak bertemu beberapa tahun. Setelah berpelukan beberapa menit, Kia melepaskan pelukannya dan menatap teman lamanya dalam.

"Mou! Kenapa kau tidak mengabariku jika kau pindah ke Jepang?!" rengek Kia sambil menguncang-guncangkan bahu (Name).

"Maaf-maaf! U-uh, aku tidak tau harus melakukan apa, lagipula beberapa bulan yang lalu nomormu gantikan? Aku juga tidak tau alamat atau pun nomor telepon rumahmu. Jadi aku hanya diam saja berharap bisa bertemu denganmu secepatnya," jelas (Name) sambil memegang tangan Kia yang ada di bahunya. Kemudian ia menyingkirkan tangan Kia dari bahunya perlahan dengan tetap menggenggamnya.

Kia tampak memajukan bibirnya cemberut, "Kalau begitu aku yang salah."

"Ho~ tentu saja, tuan putri ini tak mungkin salah." (Name) mengibaskan rambut [Hair Colour]-nya dengan angkuh, layaknya duta shampo yang memamerkan kehalusan rambutnya akibat shampo yang disponsori, tentu saja itu bohong.

"Halah, padahal sendirinya juga salah. 'Kan kemarin sudah aku suruh catat nomor rumahku," balas Kia tak setuju jika dirinya saja yang salah.

"Masa? Tidak ada. Kau hanya menyuruhku mencatat nomor telepon pacarmu itu!" ingat (Name).

Mendengar hal itu Kia langsung membekap mulut ember (Name) kemudian berteriak, "Ryou bukan pacarku!"

(Name) terkekeh melihat reaksi temannya yang kelewat berlebihan. Apalagi ketika menyadari jika rona merah menghiasi pipi chubby anak perempuan bermahkota violet tersebut.

Setelah memastikan jika (Name) tidak lanjut menggodanya. Kia menarik tangannya dari bibir (Name) kemudian menenangkan dirinya sendiri dengan mengipas-ngipaskan tangannya ke wajah. Rasanya suhu hari ini terlalu panas.

Beberapa menit kemudian, Kia tampak kembali seperti semula. "Oh ya, tadi kau berbicara dengam siapa?" tanya Kia yang dibalas raut bingung dari (Name).

"Tadi! Aku jelas melihatmu berbicara dengan seseorang," ulang Kia.

"Aku berbicara dengan-- lho ke mana dia?" (Name) mengernyitkan dahinya ketika tidak menemukan sosok anak laki-laki yang berbincang dengannya tadi. Kepalanya menoleh ke sana kemari membuat helain rambut [Hair Colour] miliknya berayun.

"Seperti apa dia?"

(Name) memegang dagunya kemudian menjentikkan jarinya, "Dia berambut merah, sedikit lebih pendek dariku, dan menggunakan jaket merah!" jelas (Name) sambil mengingat-ngingat rupa anak laki-laki yang berbincang dengannya. Mendengar penjelasan teman lamanya itu, Kia mengernyitkan dahinya bingung. Ia merasa tak asing dengan ciri-ciri tersebut namun ia tak tau siapa.

"Aku tidak pernah melihat anak berambut merah bermain di sini. Mungkin dia anak rumahan atau baru pindah sepertimu," ujar Kia yang dibalas helaan nafas dari (Name).

"Maa-maa, lebih baik kita ikut bermain dengan mereka!

****

"Sampai jumpa, (Name)!"

"Sampai jumpa! Hati-hati Kia!"

(Name) melambaikan tangannya ke arah Kia dan ibunya. Ternyata anak perempuan itu tidak tinggal di sini, tetapi ia sering mengunjungi pamannya yang tak jauh dari taman bermain ini. Setelah Kia beserta ibunya menghilang di persimpangan jalan. (Name) menurunkan tangannya kemudian menoleh ke jalan lain yang berbeda dari arah Kia tadi. Jalan menuju rumahnya.

Namun ada satu masalah ...

"Di mana rumahku?"

... ia lupa jalan pulang.

Iris [Eyes Colour] terus menatap jalan tersebut dengan penuh keraguan. Ia ingin segera pulang, tapi jika memilih pulang bagaimana jika nanti ia malah tersesat?

"Sebentar lagi malam, Mama pasti khawatir," bisiknya sambil mendongngakkan kepalanya. Langit yang awalnya bewarna biru bersih sekarang telah berubah menjadi jingga. Sang mentari juga sudah bersiap untuk beristirahat.

"Apa aku pergi saja, 'ya? Jika terus di sini bisa bahaya ... hah, seharusnya aku meminta ibunya Kia untuk menemaniku pulang," sesal anak perempuan itu dengan senyuman terpaksa.

Tiba-tiba (Name) menepuk kedua pipinya. "Tidak ada waktu untuk menyesal! Ayo (Name), tersesat pun tidak masalah!"

Dengan langkah berat akhirnya ia memutuskan untuk menyusuri jalan itu. Beberapa belokan ia hadapi dengan 'cap-cip-cup'. Di situasi seperti ini yang paling membantu adalah keberuntungan, mungkin?

Detik demi detik telah ia hadapi. Kucing yang tiba-tiba melompat berhasil membuatnya jantungan. Beberapa suara aneh dari rumah tetangga menjadi temannya. Akan tetapi ....

"INI DI MANA?!"

"HEI! ADA ANAK HILANG DI SINI!"

"BU! TOLONG-- KYAA! SODAKO!"

... gadis malang itu masih belum menemukan rumahnya.

Walaupun ada satu atau dua rumah yang terlihat seperti rumahnya. Akan tetapi, papan nama yang ada di sana bukanlah nama keluarganya. Setelah diingat lagi, ia baru saja mendiami rumah itu jadi kemungkinan papan namanya belum diganti.

"Hiks, kenapa tidak ada yang membantu? Apa suaraku kurang keras atau warga di sini rada budeg?" umpat (Name) sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Jika terus seperti ini, sudah dipastikan ibunya akan marah dan berdampak pada jadwal istirahatnya yang akan berkurang. Itu berarti Bye-Bye My Lovely Bed.

"Kenapa kau berbicara sendiri?"

"Kya!" sontak (Name) langsung berbalik. Sosok bertopeng. Yang paling menakutkan adalah bentuk topengnya.

Ya, wajah dari si iblis marah berkulit merah dengan tarik panjang.

"Halo~"

Hahaha ... katakan pada gadis mungil itu untuk tidak pingsan. Sosok itu berjalan ke arahnya sambil tertawa. Setiap sosok itu maju (Name) akan mundur beraturan.

"Kenapa kau mundur?"

"Karena wajahmu!"

"Wajahku tampan kok, mau liat?"

"Wajah hancur dengan darah? Tidak terima kasih."

"Tidak kok~ Bagaimana kalau aku membantumu pulang?"

"Pulang ke sisi Yang Maha Pencipta? Tidak terima kasih."

Setiap tawaran yang dikemukkan oleh sosok itu terus ditolak. Bukannya ingin bersikap kasar tapi iblis di hadapannya ini adalah orang asing. Ibunya sudah berpesan agar tidak berbicara pada orang asing.

Niat awal memang begitu. Namun sosok itu sangat asik diajak berdebat. Akhirnya mereka memutuskan untuk berteman. Setelah perdebatan yang sia-sia, (Name) menerima tawaran sosok itu untuk mengantarnya pulang tapi dengan syarat membuka topengnya.

Tada! Terlihatlah sosok anak laki-laki dengan surai crimson dengan iris mercury yang membuat (Name) terpana. Anak laki-laki itu yang tadi berbincang denganya di taman.

"Aku tampan? Tau kok," ujar anak laki-laki tersebut sambil menaikkan dagunya angkuh.

"Jangan sombong! Ayok! Katanya mau mengantarku pulang."

(Name) langsung mendahului anak laki-laki yang bernama Karma itu. Ia juga sengaja membuat bahu mereka bertubrukan. Namun belum beberapa langkah (Name) meninggalkan Karma. Anak laki-laki itu langsung memegang pundak anak perempuan itu.

"Lewat sini," kata Karma sambil menunjuk jalan di belakangnya menggunakan jempol. Jalan yang akan diselusuri oleh (Name) tadi sebelum bertemu Karma.

Seketika telinga anak perempuan berambut [Hair Colour] itu memerah. Reflek ia langsung berbalik dan berjalan ke arah yang ditunjuk oleh anak laki-laki itu. Belum juga beberapa langkah pundak kirinya kembali dipegang.

"Bawa ini."

Dua kantong kresek berisi bahan-bahan makanan berada di tangannya. (Name) menatap dua kantong itu dengan curiga kemudian menatap sang empu yang menyeringai iblis.

"Karena aku membantumu pulang, maka sekarang bantu aku membawa barang-barang ini 'ya, (Name)-chan~" ujar pemuda itu sambil melewati (Name) yang masih memproses perkataan Karma.

Apa ini artinya balas budi? Tidak-tidak, apa mungkin ini yang namanya memanfaatkan orang lain? Atau jangan-jangan dia diangkat menjadi pembantu dadakan?!

"Hoi! Nanti kutinggal, lho," Seketika perkataan Karma menghilangkan lamunannya. Dengan sigap ia langsung berbalik kemudian menyusul Karma yang cukup jauh di depannya. Tentu sambil membawa barang-barang itu.

"Karma-kun! Matte yo!"

****

"Sudah sampai."

(Name) menatap rumah di hadapannya dengan mata takjub. Sekaligus terharu, bagaimana tidak? Dia sudah melewati rumah ini tadi! Lihat! Papan nama di sana bukan namanya tapi anehnya sekarang ia ingat jelas jika ini rumahnya.

Anak perempuan itu menoleh patah-patah ke arah Karma, "B-bagaimana kau tau kalau ini rumahku?" Karma kembali menyeringai "Insting."

(Name) menatap anak laki-laki itu curiga. Tapi rasa curiganya menghilang ketika telapak tangan Karma menyentuh telapak tangannya dan beban di tangannya berpindah tangan.

"Saa, kau ingin pulang 'kan? Pergilah," usir Karma.

(Name) menganggukkan kepalanya, "Tanpa kau bilang pun, aku akan melakukannya," balas (Name) sambil memegang pagar rumahnya tak lupa memeletkan lidahnya untuk menjahili anak laki-laki tersebut.

Seketika perempatan merah muncul di kepala anak laki-laki berambut merah darah itu. Dia langsung memanggil anak perempuan itu lagi.

"Apa lagi?" tanya (Name) ketus.

"Ada sesuatu di pipimu," peringat Karma sambil menunjuk pipinya. Reflek (Name) memegang pipi kirinya.

"Di sini?"

"Tidak, sisi yang lain."

"Sudah?"

"Sudah," jawab Karma sambil menganggukkan kepalanya. (Name) langsung tersenyum cerah kemudian mengucapkan terima kasih.

Setelah itu Karma mengundurkan diri yang dibalas anggukkan kecil oleh (Name). Ketika Karma bilang ingin pulang, ia tak berpikir jika pemuda itu akan masuk ke dalam perkarangan rumah yang berada di sebelah rumahnya. Membuat (Name) langsung berlari menghampiri anak itu dan betapa terkejutnya ia ketika di tangan anak laki-laki itu sudah ada kunci. Kunci itu langsung dimasukkan ke dalam lubang kemudian diputarnya beberapa kali hingga terdengar suara klik.

"Kau tinggal di sebelah rumahku?!" pekik (Name) tak percaya yang di balas seringaian menyebalkan dari Karma.

"Apa kau tidak lihat aku membuka pintu rumah ini? Oo, aku baru tau ternyata kau buta," ujar anak laki-laki itu sarkas sambil mengambil kunci dan meletakkan di sakunya. "Maaf (Name)-chan, aku tidak menerima tamu malam-malam. Tapi jika kau memaksa boleh kok."

Mendengar itu (Name) langsung menatap nyalang Karma. "Siapa juga yang mau bertamu!" sanggahnya sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Baiklah kalau begitu." Karma langsung masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintunya lagi.

Setelah Karma masuk, pandangan (Name) langsung mengarah ke papan nama rumah anak laki-laki itu.

"Akabane, ha? Nama yang cukup bagus."

****

"Tadaima!"

"Okaeri, kau darimana saja? Astaga! Ada apa dengan wajahmu!" Dari balik dapur seorang wanita paruh baya dengan apron hijau muncul.

Mendengar itu reflek (Name) menyentuh sebelah pipinya. Noda hitam mengotori jarinya. Lagi-lagi ia mengusap pipi yang lain dan noda di tangannya semakin banyak.

"(Name) sudah pula-- Nak, untuk apa cacing di pundakmu itu?" Sekarang pria paruh baya yang sejak tadi asik menonton TV yang berkomentar.

"Pundak?" beonya sambil menoleh ke pundak kiri yang ditunjuk ayahnya. Tiga ekor cacing yang dialasi kertas putih menggeliat di pundaknya membuat (Name) memekik.

"Sialan kau Karma!"

Di sisi lain.

"Ppfft, berterima kasilah padaku."

"Ada apa Karma-kun?"

"Tidak ada."

****

... tapi siapa yang menyangka di pertemuan selanjutnya malah yang paling berkesan?

1873 word

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro