• CHAPTER 11 : Mencari petunjuk •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Golden University, New York.

The Next Day.

Liam turun dari Nissan GTR putih miliknya beberapa menit sebelum kelas pertama dimulai. Ia tidak biasanya terlambat. Walau terkenal urakan dan cuek, perannya sebagai seorang anak tunggal dari calon presiden Amerika mengharuskannya rajin datang ke kampus untuk setidaknya memberikan reputasi baik bagi ayahnya, Philip B. Cruz.

Liam kini berlari menuju aula seni. Tidak, hal ini dilakukannya bukan karena Liam takut Mr. Wilson tidak akan mengizinkannya masuk, tapi Liam tidak ingin terlihat buruk di depan Alex. Ia tidak boleh terlihat seperti pecundang di depan gadis es itu, Liam telah bertekad untuk menarik perhatiannya mulai sekarang dan hal itu akan dimulai dari sini.

"Mr. Cruz, kau datang lebih awal hari ini," puji Mr. Wilson.

Liam menyunggingkan senyum pada pria berkacamata di depan ruangan dan sejurus kemudian dia sudah duduk di sebelah Alex. "Hai, Alex," sapanya sumringah.

Gadis berambut pirang kecokelatan itu lantas menoleh dan memandang Liam bingung. "Wajahmu tidak sepucat kemarin, sepertinya kau sudah membaik," ujarnya seraya kembali menatap ke depan. "Tampaknya mayat dan darah tidak cocok untukmu."

Liam terkekeh geli. "Kau pasti sangat puas melihat wajahku, bukan?"

"Sedikit," katanya singkat.

"Apa kau tahu apa yang Baron katakan padaku saat semua orang sudah pergi?" Alex menoleh ingin tahu. "Ponsel Louis menghilang. Ponselnya--"

"Liam," sela Alex. "Sudah kukatakan bahwa aku akan berhenti."

"Aku tahu kau tidak akan berhenti," sahut Liam. Ia berusaha mati-matian agar tak berteriak meski ingin, mengingat mereka kini berada di kelas drama. "Dua orang melompat dari atap dalam rentang waktu yang dekat. Bukankah kita seharusnya curiga?"

"Ayahku akan marah besar jika aku terlibat dan--"

"Kau memang sudah terlibat, Alex," potong Liam lugas.

Netra biru itu menatap sang lawan bicara lurus-lurus. Ia tak mengerti dengan tujuan laki - laki di hadapannya. Kenapa dia begitu kukuh menguak kebenarannya? Apa keuntungan yang akan dia dapat jika berhasil membongkar kasus ini?

"Kau, Alexa Thompson, terlibat dalam dua kasus bunuh diri di kampus kita dan cepat atau lambat, polisi akan mendatangimu," bisik Liam. "Kalau kau bertanya kenapa kau bisa terlibat? Jawabannya adalah karena mereka tewas saat mencoba mendekatimu." Liam memicingkan matanya dan mendekat, membuat jarak di antara keduanya hanya beberapa senti saja. "Menurutmu, apakah mungkin Louis mengakhiri hidupnya saat kalian akan makan siang bersama?"

Alex menutup mulutnya rapat-rapat sampai Mr. Wilson bersuara di depan sana. "Aku tidak akan mengisi kelas seperti biasa karena ada keperluan mendesak. Kalian bisa pergi setelah mencatat tugas kalian di papan tulis dan sampai jumpa pekan depan," katanya seraya berlalu meninggalkan aula.

Gadis bertubuh kurus itu pun buru-buru memotret tugas yang tertulis di papan tulis dan beranjak dari kursinya.

"Alex." Suara Liam yang berdiri di belakangnya membuat Alex berhenti dan berbalik. "Dua orang yang mendekatimu tewas. Mungkinkah kau benar-benar tak terlibat?"

Liam melempar sorot penuh curiga dari matanya yang cokelat untuk Alex. Sedangkan Alex hanya meneguk salivanya dan membuang wajahnya dari laki - laki pengganggu itu.

Gadis berusia 20 tahun itu lantas berjalan menuju ke koridor loker untuk menyimpan semua bukunya, merasa tak ingin lagi melanjutkan kelas karena kata-kata Liam. Alex hanya ingin pulang dan menenangkan dirinya dari semua yang telah terjadi. Ia tidak ingin terlibat, sungguh.

Namun pemandangan yang menyambutnya justru sesuatu yang ia harap tidak pernah ada. Surat misterius itu ada di sana, lagi. Lengkap dengan stiker hati dan warna merah muda seperti biasa.

Alex pun menarik napas panjang dan memberanikan diri untuk mengambil surat misterius itu dari dalam lokernya. Tangannya yang kecil tampak gemetar ketakutan dan wajahnya memucat. Jika orang lain mungkin merasa senang memiliki penggemar, perasaan itu tidak berlaku untuk Alex. Setelah dua orang tewas, Alex merasa surat-surat penggemar itu justru seperti surat ancaman untuknya.

"Untuk Alexa." Alexa membaca isi surat tersebut dengan suara yang sangat pelan. "Kau tampak tidak sehat hari ini. Wajahmu memucat seperti salju di dedaunan musim dingin. Ada apa, Alex? Jika kau butuh teman untuk bercerita, datanglah padaku." Kedua alisnya yang tebal pun bertaut, "Datang padanya?" sebelum matanya kembali disibukkan dengan huruf-huruf yang tertulis di bagian akhir. "Amor Cafe, 23 street.-good boy."

"Amor cafe?"

Suara Liam yang muncul tiba-tiba dari balik loker membuat Alex terkejut hingga tubuhnya tak seimbang dan kepalanya membentur loker di depannya. Surat misterius itu jatuh ke lantai dan Liam segera merebutnya sebelum Alex.

"Kembalikan padaku," pinta gadis itu.

Liam menggeleng cepat dan mengangkat surat tersebut ke udara. "Aku tahu kau pasti menyembunyikan sesuatu."

"Aku tidak menyembunyikan apapun," sanggahnya. Alex lantas menutup loker pribadinya setelah selesai menyimpan buku-bukunya. "Bagaimana jika kita bicara di tempat lain?"

***

Alex menyisir pandangannya ke sekitar sebelum kembali pada Liam yang duduk di sebelahnya. "Apa kita harus bicara di mobilmu? Kurasa ini terlalu menarik perhatian?"

"Menarik perhatian adalah nama tengahku," kata Liam diselingi senyuman mautnya. "Jadi, siapa good boy dan kenapa dia mengirimimu surat? Maksudku, di era modern ini dia bisa menggunakan aplikasi chat atau email atau apapun yang berkaitan dengan teknologi, bukan?"

Alex menatap Liam serius sekarang. "Dengar, aku tidak tahu siapa orang ini. Tapi dia terus mengirimiku surat dan aku merasa takut."

"Takut?"

Gadis berambut pirang itu kemudian mengeluarkan dua surat misterius yang sebelumnya ia terima dan memberikannya pada Liam. "Aku tidak tahu apakah ini saling terhubung, tapi kurasa dia menguntitku." Laki - laki itupun segera memeriksa suratnya. "Dia bahkan tahu warna kesukaanku."

"Apakah mungkin good boy ini yang membunuh mereka?" tanya Liam dengan hati - hati.

Alex menggeleng kuat. "Tidak, jangan katakan hal mengerikan seperti itu. Aku sangat ketakutan sekarang." Ia lalu menggigit bibir bawahnya khawatir. "Aku bahkan tidak bisa menjamin kau akan baik-baik saja jika tahu kau berada cukup dekat denganku."

Liam terdiam. Namun beberapa detik berikutnya, kedua sudut bibirnya tampak naik dan mengembang sempurna. "Jadi, kau menghindariku karena mengkhawatirkanku? Kau takut orang ini akan membunuhku seperti yang dia lakukan pada Wayne dan Louis?"

Alex tercengang. "Aku--tidak--bukan seperti itu."

"Baiklah, lupakan saja," kata Liam seraya mengembalikkan surat tersebut kepada Alex. "Bukankah dia menyuruhmu datang ke Amor Cafe? Bagaimana jika kita datang dan menyelidikinya?"

"Aku tidak yakin dia akan menunjukkan dirinya semudah itu."

Liam menyeringai tipis. "Mari kita buat rencana untuk membuatnya muncul dengan mudah."

"Rencana?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro