• CHAPTER 13 : Menemukan Sesuatu •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


2nd Street, New York.

Liam duduk di sebuah ruangan berdominan putih dengan banyak furnitur canggih di dalamnya. Ia lantas menghela napas jengah ketika seorang pria berusia 48 tahun duduk berhadapan dengannya di sofa. Pria itu adalah Phillip B. Cruz, ayah kandung Liam yang kini tengah sibuk dengan kampanyenya sebagai seorang calon presiden Amerika.

Liam tidak membenci ayahnya, tapi bukan berarti mereka cukup akur untuk saling bertemu seperti ayah dan anak pada umumnya.

"Apa kau ingin bertemu denganku hanya untuk memarahiku?"

Bagi Liam, Phillip telah banyak berubah sejak pria bertubuh tinggi dengan rambut kecokelatan itu terjun ke dunia politik. Phillip tidak lagi menjadi sosok ayah yang hangat dan mencintai keluarganya. Meski alasannya bergabung dengan dunia 'kotor' itu adalah demi masa depan keluarga mereka.

"Aku sudah mendengar semuanya," kata Phillip singkat. Suaranya rendah dan dalam, cukup untuk mengintimidasi Liam dalam situasi ini. "Aku akan segera mengurusnya."

Liam menatap ayahnya. "Mengurusnya?"

"Aku tahu kau menyewa James dan Baron untuk kepentingan pribadimu, Liam."

"Ini bukan untuk kepentingan pribadi," kata Liam dengan suaranya yang naik satu oktaf. "Ini untuk keadilan."

Pria dengan mata cokelat yang sayu itu mengembuskan napas berat dan balik menatap putranya lurus-lurus. "Kau bisa melakukan apapun untuk membuatku bangga, tapi jangan pernah berpikir untuk terlibat dalam sebuah kasus yang nantinya akan menyulitkan kita."

Liam mendengus pendek dan mengalihkan pandangannya sesaat sampai emosinya kembali stabil dan ia kembali melihat sang ayah. "Temanku tewas. Bagaimana mungkin aku bisa diam saja?" Ia kemudian bangkit dan mengangguk cepat, menatap ayahnya remeh. "Kau tidak akan mengerti perasaanku karena kau tidak peduli pada temanmu."

"Liam--"

"Kau bahkan menyingkirkan mereka hanya karena ambisimu--"

"Liam, cukup!" bentak Phillip. Pria yang memiliki tinggi sedikit dibawah putranya itu lantas ikut berdiri dan mencoba mengatur napasnya sebelum melanjutkan, "Ayah mengerti perasaanmu. Temanmu tewas, ayah tahu." Liam membuang wajahnya kesal. "Tapi apakah dengan semua pengorbanan ini, dia dapat hidup kembali dan menjadi temanmu?"

Liam kembali mendengkus sebelum akhirnya berlalu meninggalkan ruang kerja ayahnya yang hampir selama setahun kebelakang tidak pernah ia datangi.

Phillip telah benar-benar jauh dari jangkauannya. Pria hangat dengan banyak kasih dan cinta itu telah berubah menjadi sosok asing yang penuh dengan ambisi.

Liam kemudian meninggalkan rumahnya dengan menaiki Nissan GTR putih kesayangannya. Tampaknya mobil itu lebih mengerti dirinya dibandingkan ayahnya sendiri. Mobil yang digadang-gadang sebagai penerus ari jajaran Skyline GT-R tersebut melaju ke sebuah pemakaman yang letaknya tak jauh dari kampus. Ketika suasana hatinya buruk, ia merasa perlu menceritakan semuanya setidaknya pada satu orang, bukan?

"Seandainya kau masih ada di sini, Bu," ujar Liam di depan sebuah makam. Ia lantas tersenyum pahit dan mengelus papan nisan yang terbuat dari kayu jati terbaik di New York tersebut. "Ayah telah banyak berubah dan aku tidak lagi mengenalinya."

"Liam?"

Laki-laki itu mengerutkan keningnya sebelum menoleh dan menemukan Alex yang tengah berdiri di belakangnya. "Alex?"

Liam kemudian bangkit dan menyunggingkan senyumnya. "Apa kau mendengar semuanya?" Kedua alis Alex pun bertaut. "Maksudku, sejak kapan kau berdiri di sana?"

Gadis berambut pirang kecokelatan itu kemudian paham dengan situasinya dan buru-buru menggeleng. "Aku tidak--aku baru saja tiba," sergahnya. "Apa itu ... makam ibumu?"

Liam melirik makam ibunya sekali lagi sebelum kembali pada Alex dan tersenyum. "Apa kau sibuk?"

"Apa?"

"Bagaimana jika kita mengobrol sembari menikmati es krim di kedai Paman Chuck?"

***

"Jadi, kau datang ke pemakaman untuk mengembalikan semua barang-barang pemberian Wayne?"

Alex mengangguk. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat. "Setiap kali aku melihat barang-barang itu, aku merasa sesak dan dipenuhi rasa bersalah."

Liam pun mengangguk paham dan menyiuk es krim pesanannya. Vanilla dengan topping bubuk kopi khas Amerika. Sementara Alex hanyut dalam lamunannya sendiri tentang kematian Wayne. Keduanya tak bicara sampai ponsel Liam berbunyi dan menarik atensi keduanya.

"Ini James," kata Liam memberi tahu. "Aku akan menyalakan mode speaker."

Alex pun mengangguk setuju. "Baiklah."

Laki-laki itu lantas menekan tombol loudspeaker pada ponsel pintarnya dan mulai berbicara. "Halo, James?"

"Liam, kami menemukan sesuatu," tukas James di seberang sana.

Liam menatap Alex sejenak lalu bertanya, "Ada apa? Katakan saja."

"Tim forensik telah merilis hasil autopsinya. Mereka menemukan adanya luka akibat benda tumpul di bagian belakang kepala Louis."

Ekspresi yang ditampilkan oleh Liam maupun Alex tampak sama, keduanya benar-benar terkejut dan tak percaya. Dan karena tidak ingin berlama-lama penasaran, Liam pun membalas ucapan James. "Apa mungkin dia dibunuh oleh seseorang?"

"Luka di kepalanya tidak parah, tapi cukup untuk membuat korban kehilangan kesadaran atau keseimbangannya hingga jatuh dari atap," ungkap James. Terdengar helaan napas pendek di seberang sana sebelum polisi khusus itu kembali melanjutkan, "Kasus ini mungkin akan naik menjadi kasus pembunuhan setelah kami memeriksa beberapa saksi, termasuk gadis berambut pirang yang menyelamatkanmu kemarin."

"Maksudmu, Alexa?" tanya Liam memastikan.

"Ya, Nona Thompson. Bukankah kau juga penasaran, bagaimana dia bisa menyelamatkanmu tepat sebelum tubuh Louis jatuh mengenaimu, Liam? Dia mungkin tahu sesuatu." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro