• CHAPTER 8 : Tupai yang melompat •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Golden University, New York.

Liam duduk di dalam sebuah ruangan berdominan putih bersama James, Baron dan Mr. Wallens untuk membahas hasil autopsi milik Wayne Smith siang itu.

Liam mungkin tak memiliki hak apapun untuk mengetahui pembicaraan pribadi tentang kematian temannya, tapi keinginan Liam bukanlah sesuatu yang mudah untuk ditolak oleh pemilik Golden University tersebut. Bagaimanapun juga, Phillip B. Cruz telah dianggap sebagai kandidat terkuat yang akan memenangkan pemilihan presiden tahun ini oleh semua orang, mengingat sang kompetitor yang baru saja terlibat skandal perselingkuhan.

Liam dianggap sebagai jalan pintas bagi kelangsungan bisnis Mr. Wallens dan memperlakukannya dengan baik adalah salah satu cara yang dianggap cukup bijak.

Mr. Wallens menyesap kopi hitam di atas meja dan mendesah puas sebelum melihat kedua polisi di seberangnya. "Bagaimana dengan hasilnya?"

James yang duduk berhadapan dengan pria berusia 50 tahun itu lantas meletakkan sebuah map berwarna cokelat ke atas meja. "Tim forensik tidak menemukan adanya tanda-tanda kekerasan secara fisik pada jasadnya," katanya seraya menatap Liam tak enak. "Tampaknya kita akan menutup kasus ini sebagai kasus bunuh diri pada umumnya."

Liam menegakkan posisi duduknya dan berkerut dahi. "Bagaimana dengan kamera pengawas dan penyebar video anonim? Kita pasti memiliki sesuatu, bukan?"

James menarik pandangannya ke Baron dan mengangguk. Memberi kode agar rekannya saja yang berbicara pada anak muda di seberangnya.

"Kami sudah memeriksa seluruh kamera pengawas di sudut yang memungkinkan, tapi tetap tidak menemukan apapun," ujar Baron, mewakili rekannya. "Sudut video yang telah tersebar berada di bawah titik kamera pengawas atau bisa dikatakan sebagai titik buta kamera pengawas."

"Titik buta?" tanya Liam. "Apa mungkin semuanya sudah direncanakan?"

Kemudian Baron mencoba menarik kesimpulan. "Ada dua kemungkinan. Satu, dia tidak sengaja merekam dan tidak menyadari kamera pengawas berada tepat di atas kepalanya atau dua, dia memang sengaja merekam karena tahu kamera pengawas berada tepat di atas kepalanya."

Netra cokelat milik Liam beralih pada James. "Jika seseorang yang merekam aksi bunuh diri Wayne melakukannya dengan sengaja, bukankah seharusnya kasus ini naik menjadi kasus pembunuhan berencana dan kita harus bergerak mencari pelakunya?"

"Kami tidak bisa," sahut James. "Kami tidak menemukan barang bukti atau seorang saksi. Hasil autopsi pun tidak mengarah pada adanya kasus kekerasan dan semacamnya. Maafkan kami, Liam."

"Tapi kalian tidak bisa menutup kasusnya begitu saja. Bukankah begitu, Mr. Wallens?" Liam menoleh ke arah Mr. Wallens yang duduk di dekatnya. "Sudah jelas bahwa ini pembunuhan berencana dan pelakunya masih berkeliaran bebas di luar sana. Kita harus melakukan sesuatu--"

"Liam," potong Mr. Wallens hingga laki - laki muda itu langsung menutup mulutnya. "Sebaiknya kita tutup saja kasus ini seperti yang dikatakan oleh mereka."

"Tapi bagaimana dengan Wayne? Dia seharusnya mendapat keadilan."

"Liam, menjadi pahlawan mungkin terdengar mengesankan. Tapi mengambil risiko? Kau bukan hanya akan membahayakan posisi ayahmu, tapi kau juga akan membuka luka baru bagi keluarga Wayne." Mr. Wallens menatap Liam intens. "Kau harus bijak dalam mengambil keputusan mulai sekarang."

Laki - laki bertubuh tinggi itu segera beranjak dari sofa karena tidak ingin lebih lama berada dalam suasana yang memuakkan. Ia mengepalkan kedua tangannya dan keluar dari ruangan Mr. Wallens dengan membanting pintu.

"Sial. Percuma saja aku membayar polisi itu! Mereka tidak berguna!" Liam tidak bisa berhenti menggerutu di sepanjang perjalanannya, bahkan ia masih terus mengumpat dan mengeluh ketika melewati lapangan utama. "Kenapa mereka harus memilih untuk pura-pura tidak tahu padahal mereka--"

"Liam, awas!"

Tubuh Liam terjungkal ke belakang ketika seseorang berteriak dan menarik kerah kausnya hingga tubuhnya jatuh menghantam aspal. Liam kaget bukan main.

Namun laki-laki itu tidak terkejut karena seseorang menariknya secara mendadak hingga punggungnya terasa linu, melainkan karena tubuh seseorang yang berlumuran darah tergeletak di hadapannya.

Liam tampak syok untuk beberapa detik sebelum akhirnya tersadar dengan apa yang ada di depan matanya, "A--apa ini?!" dan wajahnya mendongak, mencoba mencari sesuatu di atap sana. "Kenapa dia ... melompat di tempat yang sama dengan Wayne?"

Terpampang jelas di hadapannya, sosok Louis yang biasa tampil prima bersama bola basket kini justru terbujur kaku dengan kepala yang hancur dan darah mengalir deras dari hampir seluruh bagian tulangnya yang patah. Liam memandangi jasad Louis dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan pandangan ngeri sebelum seseorang kembali menarik tubuhnya hingga ia berbalik ke belakang.

"Jangan menatapnya," kata Alex sembari mengguncangkan kedua bahu Liam. "Sadarlah, Liam! Apa kau bisa mendengarku?"

Namun laki-laki bertubuh tinggi itu hanya diam mematung dengan pandangan lurus ke arah netra biru milik Alex.

"Liam? Apa kau mendengarku?" Sekali lagi, Alex menggoyangkan kedua bahu Liam yang masih dalam genggamannya. "Apa kau baik - baik saja? Liam, jawab aku!"

"A--alex?" Suaranya terdengar lirih dan tak yakin. "Apakah yang kulihat barusan adalah--"

"Ya, Liam. Kau, kita, baru saja melihat Louis melompat dari atap," potong Alex, mencoba menjawab pertanyaan yang bahkan belum diucapkan oleh Liam sepenuhnya. "Dia baru saja mati di hadapan kita." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro