Keisha Lugonio

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah jam pelajaran ketiga, Ayi mengundurkan diri diam-diam dari kelas setelah sebelumnya dia melemparkan tasnya lewat jendela. Kebetulan yang indah, kelas Ayi bersebelahan dengan taman dan di bawah jendela kelasnya terdapat semak belukar.

Tidak ada yang menyadari gerak-gerik Ayi, karena gadis itu duduk di pojokkan kelas paling belakang, tempat yang tidak akan menjadi daya tarik siswa rajin seperti kelasnya. Ayi keluar dengan leluasa sesaat sang guru meninggalkan kelas. Tidak lupa anak itu menitipkan pekerjaan rumahnya pada teman di depannya.

"Takutnya gua telat masuk, jadi entar tolong kumpulin, ya." Alasannya.

Dia memang tidak akan kembali ke kelas, juga tidak akan ketinggalan materi hari ini. Sebuah kamera kecil telah dipasang gadis itu di bangkunya dan meletakkan bangkunya menyender pada dinding. Dari sudut itulah, papan tulis beserta meja guru terlihat sangat jelas. Hasil rekamannya terhubung langsung pada ponselnya.

Bokongnya tertempel rapi di jok motor milik rekan setimnya. Dia hanya butuh satu orang dalam kelompoknya untuk mendatangi rumah Keisha. Rekan setimnya yang akan membawanya dengan mudah memasuki kediaman keluarga Lugonio memberikan keuntungan sendiri bagi gadis itu.

Jam nyaris menunjukkan pukul setengah sepuluh, rekannya tak kunjung datang. Memperkeruh suasana hati gadis cantik berperawakan tegas dan mengalirkan energi tak bernama yang membuat gadis itu ingin meninggalkan begitu saja rekannya.

"Sorry telat." Akhirnya rekannya datang dan segera memakai helm. Menyalakan mesin kendaraannya dan melaju cepat meninggalkan pekarangan sekolah. Tidak ada rasa takut terkena hukuman.

"Lo dari mana aja sih, Va?" Ayi sedikit berteriak dikarenakan kencangnya angin dan sedikit terhalangannya telinganya akibat helm.

"Guru gua tadi ceramah dulu gara-gara si Cakka sama Rio ribut." Bukan berita yang mengagetkan bagi Ayi. Kelompok kecilnya ini dibuat secara paksa. Orang-orang yang tidak pernah akur diharuskan bersatu secara sepihak, maka akan terisi perselisihan baik kecil maupun besar nantinya. Dan itu mulai terjadi sedikit demi sedikit.

Keheningan terulang kembali selama sisa perjalanan mereka. Ayi memikirkan secara matang apa yang akan dia tanyakan untuk menguak masa lalu anak bungsu keluarga Lugonio tanpa membangkitkan rasa trauma dan tanpa membuat pihak keluarga bungkam, sekaligus menyusun serentetan kalimat agar pertanyaan itu tepat tanpa berbelit-belit.

Perumahan elit khusus para pebisnis menjadi langkah awal mereka menyambangi rumah Keisha. Deva menambah laju kecepatannya agar bisa sesegera mungkin mengeluarkan segala pertanyaan dari mulutnya dan hal itu jugalah yang dirasakan Ayi. Keduanya sangat tidak sabar untuk segera menemukan fakta-fakta lain yang mungkin mengejutkan dan ingin segera mereka bongkar identitas Refisa White agar mereka bisa segera berfokus pada identitas suaminya.

Dua orang satpam yang menjaga rumah Keisha membukakan pagar mempersilahkan Deva dan Ayi masuk. Kemudahan itu mereka dapatkan berkat Deva yang lebih dulu menghubungi Keisha dan ketersediaan Keisha untuk diberi sejumlah pertanyaan mengenai peristiwa berdarah di sekolahnya.

"Pasti cabut?" Keisha menyambut kedua kakak kelasnya dengan pertanyaan menohok. Deva dan Ayi hanya tersenyum. "Ayo kak, masuk. Bunda sama Ayah udah nungguin di dalam."

Sesuai permintaan keduanya, keluarga Keisha memang harus berkumpul untuk mempersingkat waktu dan memperlebar tikar fakta yang sudah mereka gelar.

*****

Ayi sudah berada di kamar Keisha sementara Deva bertugas menanyai masa lalu Keisha pada kedua orangtuanya.

Ayi memperhatikan kamar adik kelasnya. Sangat rapi, seperti kamar kakaknya. Semua barang berada pada tempatnya, terdapat nampan berisi sisa minuman dan makanan terletak di atas meja belajar, televisi yang menyala mempertontonkan sebuah acara mengenai penyelidikkan sekumpulan profiler dan polisi, komputer juga menyala menampilkan slide Deface yang sedang dibuat, mesin pendingin ruangan di matikan berganti kipas angin. Poster-poster tokoh gangster dalam serial anime Jepang dan bendera Jepang bersanding Indonesia tertempel di atas televisi.

Lantai kamar bagian tengah bergambar Mandala dengan permainan warnanya yang indah, di balik televisi di bawah tempelan dua bendera juga bergambar Mandala, sepanjang bagian tengah dinding berhiaskan gambar-gambar kecil aliran Surealisme, pintu penuh dengan gambar buatan Keisha. Benar-benar anak seni, pikir Ayi. Gadis itu sangat mengagumi kamar Keisha. Selain itu, di pojok kanan ruangan terdapat beberapa alat musik : Gitar, biola, piano dan bass. Kekaguman Ayi bertambah tinggi.

"Kak, minum dulu." Kedatangan Keisha menyadarkan rasa kagum Ayi terhadap kamar adik kelasnya dan mengembalikan gadis itu pada kenyataan yang harus segera dihadapinya. "Duduk sini aja, kak." Keisha menyuruh Ayi duduk di atas tempat tidurnya, didepannya.

Gadis itu mengambil sekaleng susu kedelai dan meneguknya sedikit. "Kei, kedatangan gua sama Deva kesini‒" Omongannya terpotong ucapan Keisha. "Gua tau kok, kak. Langsung aja."

Ayi tersenyum, sepertinya tugasnya cukup mudah. "Lo masih inget awal kejadian di kamar mandi itu?"

Sebenarnya, Keisha masih mengingat kejadian itu, bahkan sangat detail. Tapi dia takut untuk mengungkapkannya, takut untuk menceritakannya karena dengan begitu, dia kembali memasuki alam imajinasinya, kembali membawanya ke masa sekarat itu, sedangkan dia masih berusaha bangkit dari masa seram itu.

"Tenang aja, dek. Gua kesini bukan buat bikin lo kembali ke masa itu, gua cuma pengen nemuin pelakunya lewat ingatan lo."

"Waktu itu..." Keisha mulai memberanikan diri bercerita. "Gua baru nyampek gerbang kompleks pas Angelo nelpon." Angelo adalah korban ketiga yang merupakan sahabat karibnya. Kematian Angelo menambah duka Keisha atas peristiwa kelabu yang menimpa dirinya. "Dia teriak minta tolong, dia ngucapin beberapa kalimat tapi gak jelas. Kalimat yang gua tangkep cuma kakak kelas, selebihnya gak ada. Jadi, gua buru-buru kembali ke sekolah dan yang gua temuin..." Keisha menundukkan kepala, beban kembali datang menghampiri. Namun kali ini sedikit berbeda, ada perasaan sedikit lega karena cerita terbagi pada orang lain.

"Empat orang tergeletak sekarat."

Tidak mungkin, pikir Ayi. Dia mengingat betul jumlah korban tewas di kamar mandi: tiga orang. Ditambah Keisha, menjadi empat. Tapi, pernyataan Keisha tadi membuatnya tercengang. Korban ada lima. Kemana yang satunya lagi? Sedangkan di sekolah tidak ada pemberitahuan kehilangan siswa.

"Salah satunya kakak kelas. Wajahnya gak begitu jelas, soalnya tertelungkup."

"Lo tau siapa pelakunya? Ciri-cirinya mungkin."

Anak itu mengangguk. "Tingginya agak sedikit lebih tinggi dari kak Ray, kulitnya sawo matang. Selebihnya gua gak tau, dia make pakaian serba hitam dan wajahnya ditutup masker, badannya sedikit lebih berisi dari Ray, bukan berarti dia gemuk." Keisha terlihat sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

"Terus kenapa lo bisa... Pingsan gitu?"

"Gua phobia darah, kak." Keisha menunduk. Laki-laki itu merasa seperti seorang pengecut sebab memiliki phobia yang demikian. "Gua juga gak pingsan, Cuma agak sedikit pusing aja. Makanya keseimbangan gua hilang dan si pelaku dengan mudah ngegores leher gua." Pemuda itu menunjukkan jahitan yang ada di samping lehernya menjalar hingga kebelakang.

Ayi bisa merasakan penderitaan adik kelasnya malam itu.

"Temen-temen lo... apa masih hidup pas lo datang?"

Keisha menutup matanya sesaat, membenamkan wajahnya pada telapak tangannya dan membuang nafas pelan. "Gua gak bisa inget, kak. Gua cuma tau kakak kelas itu masih selamat, soalnya pas si pelaku mau nusuk leher gua... Dia ngelempar pisau ke arah pelaku, bahunya kena, kak." Jelas Keisha.

"Lo tau siapa kakak kelas itu?"

*****

Deva mendengarkan dengan khidmat segala keterangan yang diberikan orangtua Keisha. Dirinya tidak menyangka akan mendapatkan penjelasan begitu lengkap. Karena menurutnya, pebisnis biasanya hanya akan memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan. Ternyata dia salah dan dia puas telah mengantongi banyak informasi mahal.

"Apa tante tau, pelakunya saat ini ada di Indonesia?"

"Sebelumnya kami gak tau, tapi kemudian CNN News menyiarkan berita bahwa pelaku melarikan diri ke negara lain dan seseorang yang identitasnya dirahasiakan memberitahukan pihak berwenang disana kalau... pelakunya ada di Indonesia, disitulah kami takut Keisha kembali menjadi korban. Kakak-kakaknya meminta kami agar Keisha Homeschooling saja." Tutur Leina, ibunda Keisha.

"Anak kami yang pertama bahkan menurunkan personelnya untuk menjaga rumah ini saat kami bekerja." Anak pertama keluarga Lugonio merupakan seorang marinir muda yang memiliki wewenang kuat di distriknya, sebab kepintaran dan kelebihannya yang luar biasa.

Ayi turun bersama Keisha membawa nampan berisi piring kotor. Proses kedatangan mereka diperhatikan tiga orang di bawahnya. Deva memberikan kode bahwa tugas mereka telah selesai di rumah ini dan harus segera pergi untuk menyatukan kelengkapan informasi yang berhasil mereka kumpulkan.

"Om, tante, Keisha, kami pamit pulang dulu dan terima kasih atas kerjasama kalian. Permisi." Izin Deva disertai senyuman. Keduanya melesat pergi meninggalkan pekarang rumah mewah. Berganti tujuan menuju sebuah cafè terdekat. Mereka ingin segera mendiskusikan semuanya.

*****

Mereka duduk merenung memainkan minuman yang telah di pesan. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Mereka tahu, saat ini kehidupan mereka bergantung pada sukses atau tidaknya misi mereka. Ah, bahkan misi ini lebih sulit bila dibandingkan dengan soal olimpiade matematika tingkat nasional.

Keduanya beranjak mengambil buku di dalam tas, gerakan mereka serentak bak melodi kesengsaraan. Desahan nafas berkali-kali keluar dari mulut masing-masing, lebih sering dari mulut Ayi. Frustasi, bingung, menyerah, itulah yang mereka rasakan. Tak sengaja Ayi membanting bukunya, menarik perhatian pengunjung cafè lainnya.

"Gua capek!!" Keluh Ayi, nadanya sedikit meninggi.

"Gua apalagi, belum lagi si Rio nambahin beban gua."

Seketika mata Ayi memincing tajam. "Masalah kalian dekat sama gua dan kak Ray? Kenapa kalian benci sama kak Ray sih? Dia 'kan Cuma bersikap tegas."

"Tegas jarang pada tempatnya, kakak lo perlu di ajak refreshing biar bisa bedain mana waktu bercanda mana waktu serius." Ayi sedikit tersinggung. Kalimat dengan bunyi yang mirip seperti yang dikatakan teman kelasnya pada dirinya.

"Tapi, emang kak Rio segitu bencinya sama kak Ray?" Deva mengangkat kedua bahunya sambil menyeruput minuman yang lama dianggurinya. "Gabriel penah liat di kamar Rio, foto kakak lo di tempel di tengah papan bidikkan." Ayi manggut-manggut memahami hal itu.

"Apa yang lo dapetin?" Gadis itu mengembalikan jalan cerita hidupnya yang sudah diatur oleh para The L Maskman.

"Intinya, Keisha diculik saat dia lagi belajar skate depan rumahnya. Kejadian berlangsung selang tiga menit setelah kakaknya masuk ke rumah ngambil pelindung kaki buat Keisha. Waktu gua nunjukkin foto Katya ke nyokapnya, beliau langsung bilang 'benar dia pelakunya', padahal seharusnya orang yang nyulik Keisha itu Lena, berdasarkan info yang kita dapet." Terang Deva.

"Lo nanya gak soal pekaranga rumah mereka?"

Pemuda itu mengangguk. "Mereka bilang, si tukang kebun itu nyuruh mereka buat nanem bunga kertas, karena bunga itu paling cocok untuk konsep taman bunga yang diusung keluarga Lugonio, jadi ya mereka setuju aja." Deva memasang raut wajah yang dibaca Ayi sebagai; 'Ini yang penting, tapi ragu buat diucapin.' Gadis itu mengangkat wajahnya mengisyaratkan agar Deva mengatakan seluruhnya.

"Tukang kebun itu juga dipake sama ketiga keluarga korban lainnya yang berada satu kompleks dengan keluarga Keisha... dan dia punya riwayat kriminal. Gua udah megang nama dia, tinggal dicari aja daftar kejahatannya di internet."

Ayi berdecak kesal. "Setiap kali kita ketemu gerbang surga, pas dibuka yang muncul malah neraka, bukan jalan setapak menuju taman, ck."

"Bahasa lo puitis banget sejak pacaran sama Aiden." Ayi sontak kaku. Apa kabar kekasihnya yang belum dia temui sejak pagi, dia pun belum sempat memberinya kabar. Buru-buru Ayi mengetikkan sederet kata mengabari kekasihnya bahwa dia sedang tidak di sekolah dan sedang bersama Deva di sebuah cafè. Setelahnya, dia kembali menyimpan ponselnya di atas meja, di samping minuman yang embunnya mulai menembus dinding gelas, melelah dan membasahi meja di sekitaran gelas.

"Gua lebih mencurigakan dan pikiran gua mulai melukiskan wajah di pelaku." Ucap Ayi cepat sebelum Deva menuturkan kata lain.

Laki-laki itu merasa bingung. "Bukannya kita emang udah tau wajah si pelaku?"

"Kan cuma yang cewek, si Steven Jigsaw, lo lupain?" Deva menepuk keningnya. Bagaimana bisa dia melewatkan identitas pelaku kedua? Ini pasti karena sedikitnya informasi yang mereka genggam mengenai anak itu. "Gua mulai bisa terka seperti apa wajah Steven dan semakin takut juga gua buat mengetahui kenyataannya."

Deva tidak paham.

"Lupakan." Ayi sedang tidak ingin membahas kekhawatirannya. "Keisha bilang ke gua, kalo dia datang ke kamar mandi itu setelah mendapatkan panggilan telepon dari temannya yang tewas dalam peristiwa itu, si korban ketiga. Dia nyaris pingsan karena phobia darah. Dan lo tau, korbannya bertambah satu. Menurut dia, korban yang gak ada di kamar mandi itu, dalam artian berhasil kabur adalah seorang kakak kelas. Artinya, sosok kelima itu, antara angkatan gua sama angkatan lo. Keisha selamat sebab korban kelima berhasil ngelempar pisau dan mengenai bahu pelaku. Ciri-ciri pelaku tertuju pada kak Ray, badan mereka hampir sama, tapi pelaku lebih unggul beberapa jarak dari kak Ray. Kulitnya aja yang beda, pelaku berkulit sawo matang. Jadi, kak Alvin dan Kefan kita coret dari daftar kecurigaan kita, ciri-ciri gak menjerumus ke mereka." Ayi menjelaskannya cukup rinci. Meski ada beberapa hal yang di simpan olehnya sebagai informasi pribadi.

"Yaudah, mending pulang. Gua ngerasa was-was disini."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro